x

Iklan

Sukma Loppies

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Benarkah Ahok Bersalah atas Diskresi Reklamasi?

”Mau bikin pulau masa pemerintah harus ngeluarin duit? Ngurus banjir saja belum beres, belum lagi butuh duit untuk bangun moda transportasi LRT.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menegaskan pengembang pulau reklamasi Teluk Jakarta harus memberikan kontribusi tambahan sebesar 15 persen dari keuntungan yang mereka peroleh. Menurut dia, besaran angka 15 persen adalah diskresi yang dibuatnya. Diskresi atas kontribusi tambahan kini ramai jadi perbincangan dan perdebatan karena dianggap barter antara pemerintah DKI dengan pengembang.

 

Kontan saja, Ahok marah-marah. ”Barter itu kalau kita sama-sama tukar lalu dapat sesuatu. Misalnya, ada aturan 15 persen, lalu saya kasih izin dan 15 persen itu hilang, lalu saya dapat sesuatu. Itu baru bisa dituduh barter. Ini kan tidak. Saya nambahin 15 persen. Nambahin, loh…. Namanya kontribusi tambahan,” ujar Ahok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Diskresi itu, kata Ahok, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta. Di dua peraturan itu disebutkan ada kewajiban pengembang menyetor sebesar 5 persen. Tapi kontribusi tambahan itu tidak disebut besarannya, hanya dikatakan bahwa dana itu untuk mengatasi banjir. Ahok pun berdiskresi mengeluarkan besaran 15 persen. ”Angka tersebut melalui kajian dan ditentukan konsultan independen,” ujar dia.

 

Kata Ahok, Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tidak menguntungkan pemerintah. Soalnya, kewajiban pengembang reklamasi untuk lahan fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk lahan di pulau yang mereka bangun hanya 5 persen. ”Otak saya berpikir sederhana saja. Saya enggak bisa lawan mereka. Mau batalin reklamasi enggak bisa. Mau ambil alih juga enggak bisa. Jadi kumintain duit saja. Bukan duit pribadi, tapi duit resmi. Makanya saya naikkan 15 persen,” kata Ahok.

 

Ini bermula reklamasi berdasarkan keputusan presiden tahun 1995. Alih-alih membangun pulau reklamasi, Ahok lebih memikirkan mengatasi banjir dan membangun moda transportasi massal. ”Mau bikin pulau masa pemerintah harus ngeluarin duit? Ngurus banjir saja belum beres, belum lagi butuh duit untuk bangun moda transportasi LRT.”

 

Tapi, kadung sudah ada keputusan presiden, Ahok memberi izin kepada pengembang untuk membuat pulau, sehingga tidak membebani anggaran DKI Jakarta. Tapi, kata Ahok, tetap harus ada perjanjian-perjanjian yang mengatur keuntungan pemerintah DKI. Nah, dari situlah akrobat Ahok mengeluarkan besaran 15 persen.

 

Sudah benarkah diskresi yang dikeluarkan Ahok? Diskresi itulah yang ditelisik Komisi Pemberantasan Korupsi. Soalnya, salah satu pengembang yakni kelompok Agung Podomoro Land mengaku sudah menyerahkan sebagian dana kontribusi itu untuk membiayai 13 kegiatan pemerintah DKI salah satunya penggusuran Kalijodo.

 

Ahli hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan diskresi yang diambil Ahok bisa dibawa ke ranah hukum bila ditemukan bukti adanya niat jahat. ”Kalau sejak awal berniat jahat untuk untungkan diri sendiri atau kelompoknya, ia bisa terjerat korupsi,” ujar Refly. Karena itu, KPK mesti menyelidiki ada-tidaknya niat jahat Ahok dalam diskresinya tersebut. ”Penyidik harus buktikan niat jahat itu.”

 

Ahli hukum tata negara Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Riawan Tjandra, mengatakan diskresi tidak bisa dipermasalahkan bila dilakukan sesuai prosedur. ”Hakim tidak bisa mengadili kebijakan diskresi bila kebijakan itu diambil sesuai prosedur.”

 

Ahli hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Idra Prawira, mengatakan bahwa bila diskresi melampaui wewenang dan mengakibatkan kerugian negara, bisa diadukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Di pengadilan itu, sang pejabat publik bisa membela diri dengan berbagai bukti yang dimilikinya. Terkait dengan diskresi Ahok, Indra menyarankan agar Badan Pemeriksaan Keuangan melakukan investigasi untuk kerugian negara yang terjadi pada kasus itu.

 

Dari pendapat tiga ahli hukum tersebut, mari kita telusuri aturan tentang diskresi untuk menjawab, benarkah Ahok bersalah atas diskresi reklamasi?

 

Istilah diskresi dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 butir 9 menyatakan, “Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”

 

Penggunaan diskresi harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuannya yakni melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberi kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Aturan ini bisa dilihat pada Pasal 22 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

 

Mengutip pendapat sejumlah ahli hukum administrasi negara, seperti Woodrow Wilson dan Sjachran Basah, ada dua macam diskresi, yaitu ”diskresi bebas” yaitu bila mana undang-undang hanya menentukan batas-batasnya. Dan, “diskresi terikat” yakni undang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih sebagai salah satu sebagai diskresi yang dianggap tepat oleh pejabat. Akan tetapi, dua diskresi itu tidak boleh melanggar azas yuridikitas (tidak melanggar hukum) dan azas legalitas (sesuai undang-undang).

 

Dari pemaparan ini dapat dikatakan bahwa diskresi yang dikeluarkan Ahok bukanlah sesuatu yang menabrak aturan atau melanggar hukum. Diskresi Ahok dengan menetapkan besaran 15 persen itu muncul karena ingin menambah besaran kontribusi yang awalnya hanya 5 persen seperti diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995. Dana konstribusi tambahan 15 persen itu akan dipakai untuk kepentingan umum. Bagaimana kita tahu akan dipakai untuk kepentingan umum? Jawabannya adalah akan terlihat hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan capaian kinerja Ahok nantinya.

 

Keberadaan aturan hukum sejatinya memandu hal yang benar-salah, pantas-tidak pantas, serta ada-tidaknya unsur melawan hukum. Aturan hukum bukan sebatas memenuhi keinginan politik dan kebutuhan pragmatis, melainkan menjadi pelumas bagi mekanisme mesin politik dan kemajuan kehidupan masyarakat. Namun disadari bahwa undang-undang sebagai hukum tertulis tidak cukup mampu untuk merumuskan semua aspek kehidupan masyarakat yang kompleks dengan perkembangan yang cepat. Karena itulah diskresi diperlukan untuk menerobos itu.

 

Dengan karakteristik diskresi yang begitu mulia, sangat ironis jika akhirnya diskresi justru dimaknakan sebagai breaking the laws atau tindakan yang melanggar hukum. Bila mana aparat penegak hukum ingin menjerat seorang pejabat negara atas diskresi yang dibuat seharusnya bukanlah mengadili diskresinya, melainkan motifnya.

Ikuti tulisan menarik Sukma Loppies lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler