x

Putri Indonesia 2015 Anindya Kusuma Putri, menggunakan kaos bergambarkan palu arit saat berada di Vietnam. Instagram.com

Iklan

Joyce Rodwina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Palu Arit yang Menuai Rasa Takut

Sebuah opini yang mendiskusikan rasa takut terkait munculnya beberapa simbol yang berkonotasi negatif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang akan pertama kali muncul di benak sebagian besar kita jika mendengar atau melihat gambar ‘palu arit’?

Mendengar kata ‘palu arit’, akan langsung teringat sebuah titik peristiwa yang mencoreng perjalanan sejarah negeri ini. Partai Komunis Indonesia atau PKI menempel erat dengan gambar itu. Gambar yang sangat erat terasosiasikan dengan perasaan mencekam dan ngeri, dan pada masa jayanya di masa lampau, di mana ada gambar palu arit di situ rasa takut dituai. Pada waktu itu, gambar palu arit sangat identik dengan peristiwa-peristiwa yang sampai sekarang masih misteri besar; pembunuhan, orang hilang, banyak peristiwa sadis. Terlalu banyak hal mengerikan mengikuti simbol ini.

Sesuatu yang berada di luar pemahaman dan jangkauan tangan akan selalu menakutkan dan tidak nyaman bagi sebagian besar orang. Seperti hal kematian, hantu atau memasuki ruangan gelap, luas, tanpa tahu ada apa di sana atau monster apa yang siap menerkam, apakah ada lubang yang siap menelan kita, demikian pula kebanyakan orang berpendapat betapa ngerinya ‘PKI’ dan palu arit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah kemunculan simbol palu arit yang menimbulkan kegemparan beberapa waktu terakhir ini serta-merta menandakan kebangkitan kembali paham ideologi komunisme di Indonesia, yang diasosiasikan dengan PKI? Ataukah simbol tersebut sebetulnya hanya sebuah bentuk ekspresi seni, namun oleh pihak-pihak tertentu secara sengaja diletupkan, memanfaatkan celah ketidaktahuan tersebut? Ketidaktahuan yang kemudian membawa kepada ketakutan yang mengkonsumsi pikiran orang termasuk para aparat yang melakukan sweeping atribut-atribut serupa palu arit. Lebih disayangkan lagi karena isu rehabilitasi dan rekonsiliasi korban 1965 sedang hangat dibincangkan sehingga ini seolah terkait erat dengan bangunnya kembali PKI. Ini seolah memuaskan rasa takut itu dan menjadi pembenaran.

Kita perlu mengidentifikasi rasa takut tersebut, apakah karena alasan jelas ataukah semata-mata karena ketidaktahuan kita, lalu ada pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan celah tersebut dan membentuk persepsi publik sehingga kemunculan hal-hal yang simbolik akhir-akhir ini menjadi besar dan menimbulkan kegemparan. Misalnya kostum Nazi yang dikenakan musisi Ahmad Dhani. Kaos band anak muda bergambar palu arit. Banyak orang kemudian langsung preventif. Alih-alih berusaha mengenali rasa takut mereka lebih jauh – apakah simbol pada kostum tersebut hanyalah sekedar fashion statement ataukah ada makna lebih jauh di baliknya, produk dari rasa takut tersebut adalah sikap menutup diri dan membuat benteng pertahanan sendiri, padahal justru dengan keterbukaan pikiranlah kita dapat menyikapi dan memutuskan ke mana rasa takut tersebut mau kita bawa.

Kita juga perlu mengerti fakta untuk dapat memetakan ketakutan tersebut, misalnya bahwa di seluruh muka bumi ini hanya tinggal China, Korea Utara, Vietnam dan Kuba yang masih berlandaskan paham komunisme. Dua negara hebat yang dulu menganut ideologi tersebut telah berganti haluan; hancurnya Tembok Berlin disusul keruntuhan Uni Soviet. Dunia internasional tidak lagi mempertimbangkan komunisme.

Kini dengan peta ekonomi dan politik global di mana satu sama lain saling terhubung, sangat kecil kemungkinan ideologi tersebut muncul lagi. Kini, saat kapitalisme merajalela untuk mendapatkan keuntungan terbesar bagi diri sendiri, sangat sulit bagi paham komunisme yang ingin menyamaratakan perekonomian untuk berkembang. Jadi, kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah perlu takut dengan ideologi ini, terlebih dengan simbol palu arit. Jika memang ada pihak-pihak yang ingin membangkitkan kembali ideologi ini, simbol palu arit hanyalah bagian yang sangat sepele. Dengan semakin majunya peradaban manusia, harusnya pihak-pihak tersebut cukup cerdik untuk melakukan gerakan yang sangat samar namun bernilai magnitud besar.

Pada masa orde baru, Franz Magnis Suseno pernah dianggap sebagai PKI karena bukunya, dan ia pun mengajar soal Marxisme dan menerbitkan sebuah buku. Di masa kini, banyak diskusi dilakukan untuk mempelajari dan memahami makna di balik simbol palu arit – yang ironisnya sebetulnya mengandung arti perbaikan taraf hidup, dan bukan untuk menakuti sebagaimana pola pikir yang sudah terbentuk sekarang. Melalui media-media semacam itulah pembelokan makna ini semestinya dapat diluruskan, bukannya malah dihindari dengan menganut falsafah ‘apa yang tidak diketahui tidak akan mencelakakanmu’. Saat kita mengetahui dan mengerti, akan lebih mudah untuk menentukan langkah antisipasi dan strategi yang efektif untuk menyikapi isu. Perlu diingat bahwa mempelajari sesuatu bukanlah menganut pahamnya.

Terbelenggunya keterbukaan pikiran juga ditampilkan melalui kesibukan para aparatur negara melakukan proses ‘pembersihan’ atribut-atribut tersebut termasuk membubarkan acara-acara diskusi, dan tidak banyak menawarkan rasa aman kepada orang banyak dan rakyat Indonesia pun sebetulnya merupakan produksi dari rasa takut mereka sendiri. Kesadaran mereka akan fokus masalah menjadi tertutupi oleh phobia tersebut: pemikiran secara sederhana adalah bahwa paham komunisme pernah membawahi sepertiga umat manusia di dunia pada masa keemasannya. Jika memang kini ideologi tersebut akan hidup kembali, kemunculan simbol ‘hanya’ hal kecil saja. Yang seharusnya diwaspadai (bukan ditakuti) adalah jika ada perubahan pola pikir terkait dasar-dasar ideologi.

Fakta-fakta dasar inilah yang perlu dipikirkan bersama secara terbuka, didiskusikan secara kritis, dibahas dan dikaji setiap aspeknya. Ketidaktahuan, ketakutan dan pembodohan, ketiganya adalah lingkaran setan yang bukan menjadi solusi dan pemecahan atas kekhawatiran munculnya simbol palu arit. Ruang publik yang mendiskusikan ini justru harus dibuka seluas-luasnya dan bukan dibungkam. Diperlukan kesepahaman dan kekompakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk menyikapi hal ini, bukan dengan sontak menutup diri, namun dengan mempelajarinya, memahami setiap celahnya dengan baik sehingga bisa kita lawan (jika memang bahaya bersifat laten). 

Pemerintah dan aparatur sebagai pembuat kebijakan juga harus menjadi panutan. Kesepahaman dan kekompakan di level internal aparatur negara juga tidak kalah penting dengan edukasi dan pemahaman eksternal melalui berbagai hal seperti diskusi, buku, makalah, jurnal. Sangat penting bagi rakyat untuk memiliki rasa aman, nyaman, hidup tanpa ketakutan, dan ketidak-kompakan pemerintah dan aparatur adalah hal terakhir yang diinginkan. Sebaliknya, pemerintah yang solid, konsisten, informatif, dapat dipercaya akan dapat memunculkan rasa aman.

Ikuti tulisan menarik Joyce Rodwina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu