x

Iklan

Wiwin Suwandi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seladi, Anomali Kedua Setelah Hoegeng

Seladi adalah anomali kedua setelah Jenderal Hoegeng Imam Santoso (mantan kapolri). Kemiripan keduanya dekat, sama-sama sederhana dan bersih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian akhir-akhir ini sedikit terobati dengan munculnya sosok Bripka Seladi, seorang Polisi di Polresta Malang. Bukan status sebagai anggota Polisi yang membuatnya istimewa, tapi pilihannya untuk bekerja sampingan sebagai pemulung. Situs Koran ini beberapa kali memberitakan kehidupan Bripka Seladi sebagai polisi bersih dan jujur yang menjalani kehidupan di “dua dunia”, sebagai seorang Polisi dan sebagai pemulung. Seladi menjelma bak oase ditengah krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian.

Sepintas memang aneh, Seladi berada di dua dunia yang kontras. Sebagai penegak hukum, Polisi adalah profesi yang disegani dan dihormati, apapun pangkatnya. Sementara pemulung, adalah pekerjaan yang dipersepsikan rendah dan kotor. Pekerjaan yang sehari-hari bergelut dengan sampah. Uniknya, Seladi mewakili dua sisi yang kontras itu. Tapi bak pepatah “Anjing menggonggong kafilah berlalu” ia tak menghiraukan cibiran orang, pekerjaan sebagai pemulung ia lakoni karena menurutnya halal.

Mendiskusikan seorang Seladi sebagai sebuah “anomali”, membawa kita pada rupa kepolisian akhir-akhir ini. Berbagai isu tak sedap tak kurang dialamatkan kepada institusi penegak hukum berlambang “Tribrata” itu. Sejumlah survey integritas juga selalu memasukan Polri sebagai institusi korup bersama lembaga pengadilan. Perilaku anggota polisi yang suka memeras dan disuap saat menangani perkara, termasuk beberapa yang memiliki rekening tidak wajar,  menjadi tesis pembenar anjloknya citra Polri ditengah masyarakat. Padahal Polri punya slogan “Tribrata” yang menjadi filosofinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tribrata berarti “ikhlas melindungi dan mengayomi”, dipakai sebagai Pedoman Hidup Polri dan ditetapkan dalam upacara Bhayangkara ke 19 tanggal 1 Juli 1955 oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN) Jendral Polisi R.S. Soekanto Tjokro Diatmodjo itu berisi tiga falsafah hidup Polri: pertama, Berbakti Kepada Nusa Dan Bangsa Dengan Penuh Ketaqwaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Menjunjung Tinggi Kebenaran, Keadilan dan Kemanusiaan dalam Menegakkan Hukum NKRI yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, Senantiasa Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat dengan Keikhlasan Untuk Mewujudkan Keamanan dan Ketertiban. Seladi adalah wujud polisi yang secara sungguh-sungguh menanamkan filosofi Tribrata itu dalam hidup kesehariannya.

Anomali Seladi

Seladi adalah anomali kedua setelah Jenderal Hoegeng Imam Santoso (mantan kapolri). Kemiripan keduanya dekat, sama-sama sederhana dan bersih, dalam arti tidak menggadaikan jabatannya untuk korupsi. Jika Hoegeng pernah menolak pemberian souvenir alat rumah tangga dari seorang pengusaha, maka Seladi menolak menerima suap dari masyarakat yang membutuhkan jasanya untuk memudahkan pengurusan SIM.

Kemiripan kedua, meski berasal dari rezim berbeda, Seladi dan Hoegeng sama-sama bisa mempertahankan prinsip pada kondisi politik yang sangat korup. Hoegeng hidup di rezim Orba dengan kultur politik korup dan otoriter, sedangkan Seladi hidup di era reformasi yang kultur korupsinya juga mirip dengan era Hoegeng di Orba. Hoegeng memilih tidak menggunakan jabatannya sebagai Kapolri untuk memperkaya diri dengan korupsi, sesuatu yang juga dimiliki Seladi. Meski beda jabatan keduanya cukup jauh; Hoegeng mantan Kapolri berpangkat Jenderal, sedangkan Seladi polisi biasa berpangkat Bripka. Seladi juga bukan public figure seperti Hoegeng yang seorang Jenderal dan Kapolri. Justeru karena bukan publik figur itu yang membuat kredit Seladi lebih “tinggi”dari Hoegeng. Ia bukan media darling yang sebetulnya bisa leluasa membuatnya bebas memungut uang pelicin dari masyarakat yang memanfaatkan jasanya.

Sebagai anomali, Seladi menyimpang dari perilaku anggota polri yang selama ini dipandang mainstream; korup. Padahal, sebagai anggota polisi yang sehari-harinya mengurusi SIM, Seladi bisa mendapatkan “penghasilan tambahan” yang membuatnya tidak harus menjadi pemulung. Ia bisa saja mempersulit masyarakat untuk mendapatkan SIM dengan meminta imbalan. Ia bisa mengikuti jejak seniornya Irjenpol Djoko Soesilo yang memiliki rekening gendut, sebelum menjadi tahanan KPK karena tersangkut kasus korupsi Simulator SIM. 

Seladi dan Hoegeng adalah antitesa dictum Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup. Saat kebanyakan polisi memilih jalan pintas untuk kaya dengan korupsi, Seladi masih konsisten dengan jiwa Tribrata yang menjadi idealismenya sebagai seorang polisi. Jika kebanyakan polisi kekantor dengan mengenderai mobil merek terbaru, Seladi memilih setia dengan sepeda onthel tua yang juga dipakainya saat memulung. Seladi adalah rupa polisi otentik yang menjiwai filosofi Tribrata dengan sungguh-sungguh.

Mantan Presiden Abdurrahmahn Wahid (Gus Dur/alm) pernah menyebut jika hanya ada 3 polisi jujur; patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri). Seandainya Gus Dur masih hidup dan melihat anomali Bripka Seladi, ia akan menambahkan Seladi dalam daftar polisi jujur.

Oleh: Wiwin Suwandi (Pegiat Anti Korupsi di ACC Sulawesi) http://www.acc-sulawesi.or.id/ 

Ikuti tulisan menarik Wiwin Suwandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler