x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hakim yang Mempermainkan Hukum

Kembali, hakim ditangkap karena suap—inilah yang terjadi manakala kekuasaan berada di tangan yang salah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
“Semakin tinggi kekuasaan seseorang, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.”

--Satjipto Rahardjo (Guru besar hukum, 1930-2010)

 

Kekuasaan itu amat berbahaya, terlebih bila kekuasaan itu untuk menetapkan yang benar dan yang salah, laiknya hakim. Begitu banyak orang berhasrat menjadi hakim karena menempati kursi terhormat—di ruang sidang, proses peradilan tidak akan dimulai apabila hakim belum memasuki ruangan. Semua orang yang hadir di ruang pengadilan—jaksa, pesakitan, pembela, panitera, saksi, dan pengunjung—menanti kedatangan sang pemutus perkara dan menyimak setiap kata yang diucapkan sang hakim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu banyak orang bangga menjadi hakim oleh sebab kekuasaannya dalam menentukan hidup seseorang: kirim ia ke penjara, sita hartanya, cabut hak politiknya, cabut nyawanya—demikian pemberani, bahkan Sang Pemberi Hidup pun tak akan gegabah memutuskan kematian makhluknya. Perintahnya begitu menakutkan mereka yang duduk di kursi terdakwa.

Bila saya tidak keliru, kata hakim bermakna adil; dan ketika menjalani tahap demi tahap hingga memutus perkara, keadilan orang hakim diuji. Sesungguhnyalah, setiap momen pemutusan perkara adalah saat bagi hakim menjalani ujian: sanggupkah ia menggunakan kekuasaan besar yang diamanahkan kepadanya secara adil dan mandiri? Ujian terbesar yang berlangsung di ruang sidang bukanlah bagi pengacara dan jaksa, melainkan bagi hakim—sang pemutus perkara, sang penentu hidup seseorang.

Apakah para hakim menyadari besarnya kekuasaan yang ada di tangannya? Apakah para hakim menyadari bahwa keputusannya menentukan hidup seseorang dan baik-buruknya masyarakat? Apakah para hakim sadar sepenuhnya bahwa keputusannya melepas penjahat sosial—para koruptor—telah menikam rasa keadilan masyarakat? Bila hakim menjual hukum demi sekantung uang, masihkah kita layak berharap untuk memperoleh keadilan bagi setiap perkara?

Siapakah hakim yang akan mengadili hakim yang menjual hukum? Jika memang ada, apakah ia akan berpihak kepada hakim atau kepada hukum? Para hakim agung, yang menghuni Mahkamah Agung—yang kerap dijuluki benteng terakhir keadilan, tak terdengar bersuara perihal persekongkolan sejumlah orang untuk mengatur perkara, bahkan ketika hal itu terjadi di rumahbesarnya sendiri. Agung adalah kata yang mengisyaratkan kebesaran, kebijaksanaan, kemuliaan, keluhuran—tidakkah para hakim agung gemetar tatkala menyandang gelar sehebat ini?

Dengan kekuasaannya yang berlimpah, para hakim mampu membalik yang benar jadi salah, yang salah jadi benar—bila tidak, untuk apa orang menyodorkan sekarung rupiah? Untuk apa para hakim, yang di dalam nama jabatannya tersimpan spirit keadilan, kejujuran, keluhuran, kebijaksanaan, rela menyerahkan palu keadilannya kepada orang yang tak berhak?

Kehadiran para hakim barangkali dimaksudkan untuk ‘mewakili Tuhan’ dalam memutus perkara sesama manusia di muka bumi. Namun, sebagian mereka telah mempermainkan kepercayaan yang diberikan Tuhan, juga kepercayaan manusia lainnya. Mereka telah mengotori jubah kebesarannya sendiri. (foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler