x

Iklan

Muhammad Iqbal Birsyada

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membelajarkan Sejarah dengan Kritis

Pembelajaran sejarah adalah salah satu pondasi menanamkan nilai-nilai karakter kebangsaan pada peserta didik. Membelajarkan kritis adalah salah satunya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tulisan ini yang ingin disampaikan adalah  pengembangan penanaman kesadaran kritis pada pembelajaran sejarah  (critical pedagogy). Model pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy dianggap oleh beberapa ahli dapat mengantarkan peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kesadaran kritis terhadap persoalan-persoalan lingkungan sekitarnya. Dalam menanamkan kesadaran kritis, guru dalam membelajarkan sejarah di sekolah haruslah mampu mendekatkan peserta didik dengan isu-isu masalah sosial yang sedang aktual terjadi. Dengan model pembelajaran seperti ini siswa dapat secara bebas dan kritis memaknai gejala fenomena sosial tanpa dominasi dari pihak guru maupun siapapun yang bersifat doktrinasi. Peserta didik sejak dini diperkenalkan dengan mekanisme kerja ilmuwan sosial dalam memandang problem sosial untuk mencoba di pahami dan di pecahkan secara kritis sesuai pengalaman belajarnya.

                        Pembelajaran kritis atau critical pedagogy berusaha mengkonstruksi nilai-nilai kritis dari dominasi siapapun. Dengan berpikir kritis maka peserta didik diharapkan dapat menemukan konstruksi pemikiranya sendiri tanpa didoktrinasi oleh siapapun sehingga peserta didik dapat menemukan dan menentukan jalan pikiranya sendiri secara sadar, tanggungjawab dan kritis. Bertolak dengan hal tersebut, peserta didik dalam melaksanakan proses pembelajaran sejarah  seharusnya terbebas dari dominasi ideologi ataupun kepentingan guru kelasnya. Dalam konteks ini, pembelajaran kritis atau critical pedagogy dalam sejarah menolak guru pasif di kelas. Guru sejarah harus dapat membebaskan pikiran peserta didik untuk dapat bangkit menghadapi tantangan-tantangan masalah sosial seperti ketidak adilan, kesetaraan, kemiskinan, demokrasi, humanisasi dan lainya. Dengan demikian peserta didik mencapai pada tahapan kesadaran kritis.

               Fredericks (2000:3) memberikan pandangan bahwa dalam proses pembelajaran di kelas seyogyanya siswa harus diberi banyak kesempatan untuk menyelidiki lingkungan sosial mereka baik sekeliling tempat tinggalnya harus memberikan kebebasan berpikir siswa dan bukan menghafal materi pelajaran. Tiap-tiap pembelajaran terutama rumpun ilmu sosial harus merangsang siswa untuk menemukan pengalaman dan ide-ide baru lewat proses pembelajaran secara kritis. Pandangan Freedericks di atas menyebutkan bahwasanya proses pembelajaran studi sosial terutama sejarah,  harus di ajarkan dengan terintegrasi dengan ilmu-ilmu sosial lainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

It means that students must be given a multitude of opportunities to probe, poke, and peek into themysteries of their world, whether that world is their own backyard or a country far away. Social studies should also give children a host of opportunities to think, instead of just memorize (Fredericks, 2000:3).

Singkatnya, dengan pola berpikir pembelajaran sejarah berasis Critical Pedagogy adalah menempatkan peserta didik  untuk mampu menghadapi dominasi. Peserta didik di ajarkan untuk dapat mengaitkan antara peristiwa sejarah dengan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Guru memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menggali dan menemukan makna terhadap kajian historis yang  telah di kontekstualkan dengan kehidupan sehari-hari. Jika dalam pandangan konservatif pembelajaran bertujuan menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam struktur pembelajaran dan pendidikan.

            Dalam proses pembelajaran critical pedagogy materi pembelajaran lebih di tekankan pada penguatan analisis isu-isu kontekstual sehingga siswa diberi kebebasan  untuk  menilai atas isu tersebut. “How do we instill in our students the ability to be effective judges over their own learning? Part of that process for me means supporting a shift in student’s thinking about conventional traditional ways of grading. The teacher keeps  record of assignments completed and assign a grade based on that criteria. As most at as know, grades do not accurately ref lect back to students what they have learned or acquired throughout a given course. As a liberatory educator (Freire, 1970) in English education, one who attemps to create equanimity throught out all elements of classroom practice, I Strive to empower students to act on and transform their worlds throuhght acts of cognition and action. This means that I must also reconsider the grading process and how I acsess student learning”. Dengan demikian, pembelajaran critical pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk mendekonstruksi struktur  hirarkis  yang  melemahkan demokratisasi dalam kelas, dan melakukan redefinisi atas pengetahuan, dan memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat dan mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale,2008:1).

Henry Giroux yang dikutip Monhinski (2008:2) menyatakan bahwa critical pedagogy sama dengan polical pedagogy , artinya adalah critical pedagogy menyatakan  bahwa  proses pendidikan pada dasarnya bersifat politik, yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah keterhubungan, kesepahaman, dan keterpautan secara kritis dengan berbagai isu-isu social dan bagaimana memaknainya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya melakukan sebuah sikap yang kritis tetapi juga cukup tanggap untuk “bertarung” dengan kondisi politik dan  ekonomi sehingga mampu mewujudkan  sebuah  demokratisasi. Bertitik tolak dari pandangan tersebut apabila dipakai dalam pembelajaran sejarah maka posisi peserta didik harus mampu menganalisis secara kritis setiap peristiwa dalam teks-teks sejarah yang mengandung banyak muatan politik. Serta teks-teks sejarah manakah yang sejatinya mendapat sokongan dari penguasa dan mana yang benar-benar realitas historis yang sejati. Peserta didik harus mampu terbebaskan dari dominasi teks-teks sejarah yang bersifat politis. Guru tidak boleh mendikte apalagi menghegemoni peserta didik untuk mengikuti pendapat pemikiranya tentang suatu teks sejarah.

Sedangkan Kincheloe (2008:3) menjelaskan critical pedagogy merupakan  suatu pemahaman masyarakat melihat lingkunganya yang telah dalam kondisi dominasi kelas. Dominasi ini  meliputi ideology, pendidikan yang dipergunakan penguasa untuk menindas masyarakat lemah.  “Akey task of critical pedagogy involves helping people understand the ideolpgy cal and epestimological inscription on the ways of seeing promoted by the dominant power bloes of the west. In such work, criticalist uncover both old and new knowledges that stimulate our ethical, ideological, and pedagogical imagenation to change our relationship with the world and other people . Concurrently, such critical labor facilitates the construction of a new mode of emancipation derived from our understandings of the successes and failures of the past and the present . The first decade of the twenty . First century, the hegemonic politics of knowledge and the crypto positivistic epistemology that is its conjoined twin are destroying the world”. Oleh karena itulah critical pedagogy merupakan sebuah alat dalam dunia pendidikan  untuk perjuangan kaum tertindas. Karena peserta didik akan dibangun kesadaran  kritis  untuk melihat  fenomena serta fakta-fakta disekitar  lingkungan  peserta didik.

Bertolak dari pandangan di atas kemudian disimpulkan bahwa hal penting yang dibangun dalam critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah adalah tercapainya kesadaran kritis peserta didik agar mereka mampu mendemestifikasi kepentingan ideologis yang  menyelimuti  realitas. Artinya adalah bahwa manusia tidak hanya di dunia, tetapi didalam dunia dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri terhadap realitas dan memiliki kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas. Kesadaran ini mengalami peningkatan dimana setiap individu atau peserta didik mampu melihat sistem sosial secara kritis. Mereka memahami akibat-akibat yang saling kontradiktif dalam kehidupan mereka sendiri, dapat menggeneralisasikan kontradiksi-kontradiksi tersebut pada lingkungan lain di sekelilingnya dan dapat mentransformasikan masyarakat secara  kreatif  dan bersama-sama. Mereka mampu menganalisis secara mendalam dan kritis pada masing-masing teks-teks sejarah terutama yang banyak mengandung nuansa politis dan kontroversial.

Apabila ingin mencapai kesadaran dibutuhkan adanya proses yang disebut penyadaran atau conscientization. Penyadaran diartikan adanya proses belajar memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut (Freire, 2008:1). Senada dengan itu, Leistyana (2004:17) menjelaskan bahwa penyadaran adalah “ability to analize, problematize (pose questions), and affect the sociopolitical, economic, and cultural realities that shape our lives”, yaitu kemampuan untuk menguraikan, mempermasalahkan (menyikapi pertanyaan-pertanyaan), dan memberikan suatu sentuhan perasaan terhadap keadaan sosiopolitik, ekonomi serta relitas kebudayaan yang melingkupi hidup kita. Proses penyadaran ini menurut Paulo Freire (2008:2-3) memungkinkan seseorang untuk memasuki proses sejarah sebagai subjek-subjek yang bertanggung jawab, dan mengantarkan mereka masuk kedalam pencapaian afirmasi diri sendiri sehingga menghindarkan fanatisme.

Critical Pedagogy Dalam Pembelajaran Sejarah

Secara teoritik, posisi guru sejarah dalam proses pembelajaran critical pedagogy harus mampu mengarahkan peserta  didik  untuk  memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:7). Program yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical languages untuk menjelaskan dunia yang  melingkupi  kehidupan keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanannya, ada pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”, “bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson,2004:8). Menurut perspektif critical pedagogy sejarah tidak bersifat unidimensional (Carr, 2008:86). Bertolak dari konsep pemikiran di atas telah jelaslah  bahwasanya penerapan model pembelajaran sejarah dengan pendekatan  critical pedagogy  mampu  mengantarkan  peserta didik  dapat mencapai tahap mengkonstruksi pengetahuan yang didapatnya secara kritis. Kesadaran kritis inilah yang mengantarkan peserta diri dapat mengenal jatidiri sebenarnya sebagai warga negara Indonesia yang memiliki karakter kepribadian berkebangsaan yang kuat.

 

Membelajarkan Sejarah Dengan Kritis

Oleh. M. Iqbal Birsyada

Pengamat Pendidikan

Ikuti tulisan menarik Muhammad Iqbal Birsyada lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler