x

Guru membimbing sebagian dari 38 murid kelas 6 SDN Dayeuhkolot VII bersekolah di ruang tamu salah seorang guru di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 10 Mei 2016. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Muhammad Iqbal Birsyada

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Guru dan Komoditas Kekuasaan

Guru tersudut, Guru terpojokkan oleh realitas kekuasaan. Bahkan Guru banyak dihimpit oleh segudang beban ganda dalam kehidupannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Selama ini kita berpandangan bahwasanya menjadi guru itu haruslah mampu menjadikan siswa-siswa kita dari yang semula belum cerdas menjadi cerdas, dari yang semula tak paham baca tulis menjadi paham membaca dan menulis. Begitu pula dari sebelumnya tak dapat menghitung kemudian bisa menghitung. Lantas, tatkala kita temui anak didik kita yang tak bisa baca tulis hitung hati kita sontak kesal pada salah satu anak tersebut sehingga barangkali kita dikelas akan uring-uringan mengajar tatkala melihat anak tersebut yang barangkali susahnya minta ampun untuk mengajari dia belajar. Kekesalan tersebut makin diperkeruh tatkala standar KKM memang harus mewajibkan si-anak semua mapelnya menjadi tuntas. Belum lagi yang menjadi guru agama di SD. Dulu Bapak saya sebagai guru agama SD sering curhat soal masalah KKM yang harus menuntut anak-anak bisa baca tulis arab, padahal realitanya anak belum juga mampu.

            Kadang-kadang memang persoalan standarisasi menjadi pemicu keresahan guru-guru selama ini terutama pada guru yang di pelosok-pelosok desa. Tanggungjawab pendidikan sebenaernya tidak boleh sepenuhnya dibebankan pada guru. Sebab waktu anak lebih banyak di rumah dan lingkungan sosialnya ketimbang di sekolah. Artinya pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama baik itu lingkungan sekolah, sosial dan orangtua. Dan sangat tidak humanis juga, jika standar KKM terlalu dipaksakan kepada seluruh anak-anak. Seakan tujuan pendidikan sekolah hanyalah melampau standar minimal KKM. Padahal proses pendidikan memanusiakan manusia menjadi pribadi pribadi seutuhnya dengan mengembangkan segala potensinya juga perlu diperjuangkan.

            Memang kadang-kadang di situlah keikhlasan dari seorang guru diuji, lebih-lebih bagi mereka yang masih berstatus guru honorer tentunya membuat mereka harus berpikir ganda (double thinking). Di sisi lain mereka harus mengejar angka KKM, disisi lain mereka harus berjuang keras mendapatkan penghasilan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Semakin  terhimpit pula mereka dengan tambahan tugas beban, kini malah ada tes UKG bagi mereka sebagai salah satu uji kompetensi. Padahal sejauh pikiran saya tes UKG tak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan para guru-guru tersebut. Beban tutuntan terlalu besar ditujukan kepada guru sedangkan kesejahteraan belum pula meningkat.

            Akhirnya memang disini, guru dituntut terus untuk menjadi pribadi yang ikhlas bekerja walaupun terkadang dapur mereka tidak selalu berasap. Barangkali hal ini adalah dampak struktural dari kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah dari periode ke periode. Bagi guru yang berstatus PNS kebijakan yang selalu berubah tersebut tidak lain adalah sebagai upaya menertibkan dan mendisiplinkan mereka sebagai bagian abdi negara agar selaras dengan kebijakan pemerintah. Secara tidak langsung guru berstatus PNS dipaksa untuk mengikuti arah garis kebijakan negara. Padahal kebijakan negara tersebut selalu berkorelasi dengan kebijakan politik. Artinya, guru selalu menjadi pihak korban kepentingan politik secara tak langsung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Namun yang menjadi persoalan adalah apakah tiap-tiap kebijakan tersebut mengakomodir kondisi realitas lapangan yang telah dialami oleh guru-guru dari kota hingga pelosok-pelosok? Ataukah tiap-tiap kebijakan itu hanya sebagai bentuk pengkondisian sekaligus hanya menderminkan kepentingan pemerintah yang berkuasa saja. Sehingga jika kita lihat, praktis kebijakan-keijakan selama ini yang dibebankan pada aguru hanyalah mencerminkan sebagai kebijakan strategi penguasa saja ketimbang kebijakan komunikatif yang berdasarkan dialog antara kedua belah pihak, yakni guru-guru dan pemerintah.

            Ya, barangkali kebijakan tersebut masih saja bersifat top down dan tidak akan pernah bersifat buttom up. Oleh sebab itu, jika pendidikan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik pragtis, dipastikan selamanya model dan sistem pendidikan kita tidak akan pernah mencapai sebuah tatanan ideal. Sebab, pendidikan kita akan terus menerus dalam kungkungan penguasa. Dan antara pemerintahan satu dengan pemerintahan sesudahnya tak akan pernah menunjukkan korelasi atau kontinuitas program-programnya. Yang ada hanyalah pemerintahan baru selalu saja menghapus kebijakan-kebaikan lama dengan kebijakan-kebijakan baru, seolah yang lama dianggap kurang menunjukkan hasil yang signifikan. Dan sayangnya persepsi ini terus menerus dipakai dari periode pemerintahan ke periode lainya.

            Saya kemudian membayangkan, disini guru-guru terutama, hanya menjadi komoditas kepentingan-kepentingan pragmatis kekuasaan saja. Jika ada maunya, guru di puk-puk (didekati), namun jika guru tak sejalan dengan kebijakan baru mereka bermanufer untuk menundukkan serta mendisiplinkan guru lewat kebijakan. Akhirnya, saya melihat guru selalu menjadi posisi yang tersubordinasi. Guru dalam posisi tersudutkan. Guru tak lagi memiliki kebebasan pendapat untuk mengembangkan pikiran dan kreatifitasnya. Yang menjadi kasihan lagi adalah nasib siswa yang selalu menjadi korban kebijakan struktural pemerintah. Akhirnya pendidikan seakan hanya mencari secarik kertas ijazah dan nilai. Padahal proses pendidikan memanusiakan manusia dan mengembangkan potensi mereka inilah yang seharusnya diperkuat dan menjadi salah satu tujuan sistem pendidika kita.

 

Muhammad Iqbal Birsyada

Pengamat Pendidikan Nasional

Ikuti tulisan menarik Muhammad Iqbal Birsyada lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler