x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Abad XXV (2)

Indonesia adil makmur. Maka GNP Indonesia per kapita hari ini 1000 rupiah. 1 rupiah = 189878989 dolar = 15432 euro = 28 yen = 320456789 real.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: kaskus.co.id)

 

D U A

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Perjalanan dan lika-liku hidup Kotir biasa-biasa saja dan umum-umum saja sebagaimana umumnya manusia Indonesia  yang hidup di jaman adil makmur. Kotir lahir di rumah sakit  milik pemerintah. Tak bisa lain. Semua  sektor kehidupan yang akibatnya menyangkut hak azasi – seperti Rumah Sakit Umum atau RSU – dikuasai negara. Semua sekolah milik negara. Pengelolaan hutan dikuasai negara. Perusahaan Air Minum, angkutan umum, urusan listrik dan minyak, pembudayaan sandang dan pangan serta obat-obatan dikelola negara.

 

Artinya, sejauh menyangkut kepentingan hak azasi dan kepentingan umum, Indonesia sudah meninggalkan primitivisme politik abad XXI manakala sektor swasta dimanjakan sebagai tiang tanah air, ekonomi nongkrong di tahta paling tinggi, seolah-olah negara hanya bisa hidup dengan uang dan uang saja. Begitulah pertimbangan kebijaksanaannya, sehingga banyak di antara pelayanan kepentingan umum yang dilakukan badan-badan negara, bisa diperoleh tanpa biaya.

 

Nah, Kotir memang lahir gratis dari sebuah RSU.

 

“Anak anda akan lahir sungsang,” kata dokter spesialis kandungan, melaporkan hasil pemeriksaannya pada Piah – calon ibu si Kotir.  Kandungan Piah berumur enam bulan.

 

“Kapan lahirnya, dok?”

 

“Terserah. Mau sebulan lagi, boleh. Besok juga boleh. Sesuka andalah. Kami bisa memperlambat atau mempercepat.”

 

“Yang normal saja, dok.”

 

“Tiga bulan lagi?”

 

Piah mengangguk.

 

“Mau lahir alamiah atau ditolong alat-alat?” tanya dokter.

 

“Alamiah.”

 

“Dibiarkan sungsang?”

 

“Yak!”

 

“Ini anak pertama?”

 

“Betul.”

 

“Dengan ditolong alat-alat, kelahirannya bisa diatur menjadi tidak sungsang lho! Tidak merasa sakit,” dokter menjelaskan permasalahannya.

 

“Alamiah saja!” sahut Piah mempertegas.  Dia berpikir. Melahirkan anak kok tanpa merasakan sakit, bukan melahirkan namanya. Itu namanya makan enak. Dia tidak mau hal sebodoh itu terjadi pada dirinya. Dia ingin mengalami peristiwa bersejarah itu – melahirkan anak pertama – dalam bentuk paling murni.

 

Dokter masih ragu-ragu. Lalu menatap wajah Halo, suami Piah, untuk meminta persetujuan. Halo mengangguk. Dua sejoli suami istri itu lalu menandatangani surat pernyataan . Bahwa, pertama, mereka telah memilih cara kelahiran alamiah buat anak mereka.  Kedua, dalam melakukan pilihan, mereka tidak dipaksa pihak luar serta dalam keadaan badan dan jiwa sehat sentosa gembira ria tiada tara.

 

Tiga bulan kemudian Kotir lahir. Lahir sungsang. Piah kesakitan luar biasa. Mula-mula masih bisa meraung-raung. Tapi akhirnya Piah tak bisa merasakan apa-apa lagi. Piah gugur sebagai mutiara keluarga! Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi. Dengan sepele peralatan yang ada di RSU bisa menangkal musibah itu.

 

Memang. Kejadian di atas bisa menjadi problem moral sosial beku agamis fanatikus. Tapi Indonesia abad XXV adalah Indonesia yang menempatkan moral individual rasional masuk akal di tahta tertinggi dalam menjawab segala soal

 

Apalagi, sejak semula Piah telah menolak alat-alat macam itu. Dia mendambakan proses kelahiran alamiah, sesuatu  yang mendapat tempat dalam dunia kedokteran Indonesia. Sikap yang tetap ingin mewarisi kesakitan saat melahirkan sebagai ibu  sejati. Dan mati dengan cara itu diterima masyarakat sebagai sesuatu yang wajar dan terhormat. Pada abad XXI,  barangkali Piah akan disebut sebagai pahlawan kelahiran alamiah. Tapi Indonesia abad XXV adalah zaman saat kata “pahlawan” tidak diobral. Jadi, orang-orang hanya mengatakan: Piah meninggal dunia saat melahirkan anaknya.

 

***

 

Halo sedih dan senang. Sedih sebab istrinya meninggal dunia.  Senang karena punya anak. Dalam keadaan antara sedih dengan senang, ia menemukan sebuah nama bagi anaknya: Kotir.

 

Karena peristiwa kelahiran dan kematian yang berlangsung serentak itu,  Halo mendapat sejumlah uang dari pemerintah. Tunjangan berantai. Kelahiran sungsang, dianggap tidak normal, tersedia tunjangan. Ditinggal mati pasangan teman hidup, mendapat ganti rugi. Dus, memperoleh tunjangan ganda.

 

Halo puyeng.

 

Sebenarnya dia lebih senang mati lebih dulu. Istrinya akan memperoleh tunjangan lima kali lipat. Tapi tunjangan lipat  itu samasekali tidak penting bagi Halo. Yang lebih penting, dia akan bebas tidak perlu pusing memikirkan pemanfaatan uang itu. Sebagai saudagar  barang-barang kelontong, dia sudah kaya. Sekarang ditambah uang tunjangan pula. Kekayaannya jauh dari cukup untuk hidup menganggur 25 tahun. Lalu buat apa ini semua?

 

Nyatanya, takdir  menentukan Piah mati lebih dulu. Mau tidak mau Halo terpaksa berusaha sekuat tenaga untuk memanfaatkan uang  berlebihan itu. Ini bukan main.  Halo makin puyeng memikirkannya.  Apalagi, tugas lain masih menanti.

 

Piah, belum lagi diurus tatacara upacaranya.

 

Tapi sebab diurus, kremasi Piah terurus juga. Di Rawapening. Upacara pelarungan abu jenasah baru saja selesai. Doa-doa. Halo ikut, amin dan amin. Upacara berlangsung di atas perahu saat pelarungan abu dan ditutup di Taman Alam di tepian Rawapening.  Matahari bersinar terang. Cahayanya berloncatan di pohon-pohon yang berjajar rapi di Taman Alam yang elok dan asri.

 

Rawapening abad XXV adalah rawa yang bening dan telah kembali ke habitat alami. Sejauh mata memandang hanya air dan air. Meluas sampai jauh. Jernih sebening kaca. Di bagian-bagian dangkal tampak dasarnya. Kehidupan margasatwa dalam air, ganggang, lumut, aneka jenis ikan hilir mudik, warna warni surgawi.

 

Bahwa Rawapening menjadi semacam itu, pantas disyukuri. Sejarah mencatat, sekitar empat abad sebelumnya, di abad XXI saat Indonesia Reformasi dirusak oleh antek-antek Orbaisme Diktator menjadi Indonesia Reformasi-reformasian, Rawapening hancur-hancuran. Pemandangannya  jelek menyebalkan mata pencinta lingkungan hidup.  Yang disebut Taman Wisata  tidak lebih industri dan pasar  campur aduk. Wisatawan,  kios-kios bisnis, knalpot, tukang parkir, dan aparat-aparat kampung bercampur aduk karena beleid kekuasaan bodoh yang hanya kejar akumulasi dolar belaka. Segala keindahan alami Rawa Pening ditelantarkan. Rawa berlimpah air itu berubah menjadi mirip bercak-bercak parit-parit. Tanaman enceng gondok merajalela di mana-mana.

 

***

 

Para pelayat beriringan berbondong bondong meninggalkan Taman Alam. Halo menatap ke angkasa. Udara jernih. Di atas Rawapening yang airnya jernih putih membiru, orang-orang beterbangan, bersantai menikmati suasana mega-mega putih, dengan kendaraan-kendaraan udara masing-masing. Terbanyak naik sepeda  terbang. Ada juga yang bergelantungan di helikopter-helikopter berbasis ketiak.

 

Halo kembali menatap sekeliling. Para pelayat masih beriringan satu demi satu atau dua demi meninggalkan Taman Alam. Sambil memandangi gerak mereka, ia segera teringat pada uang tunjangan yang mengganggunya. Uang itu  sekarang  meringkuk di dalam tas yang tercangklong di pundaknya.

 

Halo melihat seseorang. Ia segera mulai menjalankan agendanya. Duduk  di salah satu bangku taman, ia melihat sasarannya.  Holi, adik kandungnya, tinggal di kota lain, pegawai negeri. Halo mendekat dan Holi tiba-tiba berdiri.

 

“Ikut belasungkawa, bang,” kata Holi sambil merangkul Halo. “Maaf, aku baru bisa datang hari ini. Abang maklum, pekerjaanku tak bisa ditinggalkan begitu saja. Aku pegawai negeri. Tugas-tugas harus selalu didahulukan daripada kepentingan-kepentingan pribadi macam ini. Lagi pula, di musim liburan begini agak susah booking pesawat.”

 

“Ah, sudahlah. Aku tahu. Tidak apa-apa.”

 

Mereka kemudian duduk di bangku. Memperhatikan para pelayat. Serombongan pelayat yang terakhir sudah tampak memasuki mobilnya di gerbang taman.  Saat mobil itu beranjak, Halo berkata: “Ada satu hal penting yang perlu kita bicarakan.”

 

“Apa bang?”

 

 Halo menatap sekeliling. Sepi. Hanya mereka berdua di Taman Alam tepian Rawapening itu. Halo membuka tasnya.

 

“Aku mau memberi kamu uang,”  kata Halo langsung tanpa basa-basi.

 

“Uang?” Holi keheranan melihat tumpukan uang yang diperlihatkan Halo padanya. Nerkilat-kilat dalam pantulan sinar matahari.

 

“Abang baru saja dapat tunjangan dari negara. Jumlahnya, tuh, banyak. Bisa lihat sendiri. Berapa jumlahnya? Aku rasa kau lebih tahu mengenai hal-hal macam ini.”

 

“Mengapa mesti diberikan padaku?”

 

“Lalu mesti diberikan pada siapa?”

 

“Itu uang abang. Aku tidak berhak.”

 

“Ayo, ambillah,” Halo memaksa.

 

“Ei, jangan,  jangan!”  Holi terbelalak dan ketakutan.

 

“Uang abang ini seratus persen uang halal.”

 

“Percaya seratus persen, bang.”

 

“Kenapa. Ada apa soalnya?”

 

“Pokoknya tidak. Saya tidak mau.”

 

“Kau pasti memerlukannya. Kau miskin.”

 

“Abang jangan menggoda abdi negara. Ingat. Adikmu ini pegawai negeri.”

 

“Kau miskin,” ulang Halo.

 

“Bukan miskin. Sederhana.”

 

“Apa bedanya?”

 

“Pegawai negeri terikat sumpah jabatan. Sumpah melarang kami menjadi kaya. Kaya itu berbahaya.”

 

“Aneh betul!”

 

“Aneh bagi abang. Bagiku, itu prinsip harga mati.”

 

“Jadi ... kau ... tidak berhak menjadi kaya?”

 

“Justru kewajibanku untuk menghindarinya. Kekayaan, bagi pegawai negeri, berbahaya. Kekayaan pegawai negeri adalah ancaman bagi kekayaan negara. Di suatu negara para pegawai negerinya kaya-kaya, bakal miskin-miskin rakyatnya. Kesempatan rakyat untuk menjadi kaya telah dipersempit. Atau bahkan direbut. Maka, menjadi pegawai negeri, harus menghayati hal-hal seperti  ini. Nah, inilah inti dari prinsip pegawai negeri sebagai abdi rakyat.”

 

Halo mengangguk-angguk. Tapi  penasaran.  Mau dikemanakan uangnya? Memang, bisa saja dia berbuat gila-gilaan. Menyebarkan saja uangnya di jalan raya. Tapi dia belum gila.  Dia ingin memanfaatkan uangnya semaksimal mungkin, dengan cara bijaksana, yang tidak membuat sakit hati rakyat di negara-negara bangkrut seperti Rikamia Serikat, Cètviu dan beberapa negara-negara Aporé Barat yang masih berjuang menegakkan kehidupan sandang-pangannya.

 

Apalagi, kalaupun ia menyebarkan uangnya di jalan raya, orang-orang toh tidak akan peduli. Mereka tidak akan sudi memperebutkan uang yang bukan haknya. Di jaman Indonesia  makmur di abad XXV  akan setengah mati dijumpai orang-orang tidak jujur. Semua orang jujur, selain orang-orang yang mempunyai kelainan jiwa. Dengan menyebar-nyebarkan uangnya di jalan raya, berarti polisi lalu-lintas akan sibuk. Mereka terpaksa mengumpulkan uang yang tersebar itu untuk diserahkan kembali kepada yang berkepentingan. Akhirnya uang itu akan kembali lagi padanya.  Dia sudah capek, pekerjaannya sia-sia, masih merepotkan polisi lalu-lintas pula. Ini berarti dia telah melanggar semangat jaman itu. Yakni jaman, di mana orang tidak suka merepotkan orang lain. Masa itu kesukaan orang hanya menolong orang lain.

 

Halo puyeng dan masih terus berusaha bagaimana adiknya mau menerima pemberiannya. Holi pucat pasi ketakutan karena mau diberi uang dan berpikir keras bagaimana bisa menghindari malapetaka pegawai negeri.

 

“Lalu bagaimana dengan uangku ini?” akhirnya Halo  bertanya dengan nada sangat memelas pada Holi.

 

“Abang seorang pedagang. Uang itu akan lebih berguna bagi abang. Tentunya abang lebih paham memanfaatkan uang daripada saya.”

 

“Kalau saja aku tahu, tentu tidak akan menjadi bingung macam ini.”

 

“Toko abang memerlukan tambahan modal!” seru Holi tiba-tiba setelah jalan pikirannya terbuka. Wajahnya berseri-seri mendapat gagasan itu. “Ya betul! Kurasa ini bijaksana! Perbesar saja toko abang!”

 

“Sudah kuduga kau akan mengajukan usul ini,” sahut Halo dengan kecewa. “Toko diperbesar, berarti tambahan pikiran dan tenaga. Padahal tenaga dan pikiran abang hanya mampu untuk mengurus toko dalam kondisinya yang sekarang. Tidak! Saya tidak mau memperbesar toko! Buat apa?”

 

“Kalau toko abang makin besar,  keuntungan yang masuk makin besar juga.”

 

“Berarti aku akan menjadi semakin kaya.”

 

“Ya logis kan?”

 

“Tidak! Aku tidak mau menjadi lebih kaya lagi. Cukup kekayaanku sekian saja.”

 

“Berarti abang melanggar kodrat pedagang!”

 

“Biarin!”

 

“Abang egois!” tuduh Holi tiba-tiba-tiba.

 

Mendengar tuduhan ini Halo tidak terima. Wajahnya jadi merah, maka dia langsung ganti menuduh. “Kamu yang egois! Mengapa kamu tidak mau menerima uangku? Ayo, jawab!”

 

“Wah, sukar ngomong dengan abang. Tapi baiklah. Mari kujelaskan, mengapa aku tidak mau menerima uang abang.”

 

Selanjutnya dengan panjang lebar Holi memberi penjelasan. “Bang Halo, sebagai pegawai negeri segala kebutuhan dan keluarganya sudah dicukupi pemerintah. Memang, soal cukup itu relatif. Tapi kerelatifan bagi pegawai negeri ada aturan mainnya. Yakni diselaraskan dengan penghasilan negara per kapita. Menurut aturan keselarasan, maka gaji pegawai negeri tidak boleh melebihi penghasilan itu. Demikian pula gaya hidup kami pun harus selaras dengan gaji kami supaya tidak menimbulkan teka-teki. Sebab menurut sumpah jabatan pegawai negeri, kami dilarang keras menimbulkan teka-teki. Teka-teki, dalam bentuk yang bagaimana pun, bisa berbuntut panjang akibatnya.”

 

Sejenak Holi menatap Halo. Di udara sepasang remaja asyik berpacaran. Mereka bergoncengan naik sepeda terbang melintasi pekuburan. Matahari mulai condong ke barat. Dan sebab Halo diam saja, maka Holi melanjutkan omongannya.

 

“Sekarang penghasilan Indonesia per kapita, hmm, ah, saya lupa jumlahnya. Yah, sekian puluh rupiah tiap tahun, ini sama dengan sekian juta dolar. Dan ... “

 

Tingtong!

 

Bandul kalungnya berbunyi. Bandul itu mirip arloji bundar. Bandul pengingat dan korektor. Jika sang pemilik lupa sesuatu atau keliru mengatakan sesuatu, bandul itu berbunyi. Halo segera meraih bandul itu, membaca yang tertera di dalamnya:

 

GNP  Indonesia per kapita hari ini 1000 rupiah.

1 rupiah = 189878989 dolar  = 15432 euro  = 28 yen = 320456789 real.

 

“Ah ya! GNP kita hari ini 1000 rupiah,” kata Halo. “Dengan jumlah itu setiap orang cukup segalanya. Rata-rata rakyat Indonesia mempunyai rumah sendiri dengan peralatan rumah-tangga yang lebih dari cukup. Rata-rata setiap keluarga memiliki mobil terbang dan sepeda terbang. Tiap keluarga mempunyai tevepon yang memudahkan mereka berkomunikasi secara cepat dengan sanak-famili atau teman dan siapapun  di kota yang berlainan. Rata-rata rakyat biasa bisa leluasa setiap akhir minggu berpesiar untuk melemaskan urat dan syaraf setelah bekerja sepekan. Tetapi kami para pegawai negeri, berdasarkan keinsafan  sendiri, sudah puas dengan gaji yang  tidak lebih dari 5%  pendapatan negara per kapita.”

 

“Mengapa hanya  5%?” tanya Halo melongo.

 

“Yang 95%  untuk kepentingan umum. Istilahnya menurut ilmu-ilmu di universitas: biaya operasional negara. Biaya  ini antara lain untuk membantu negara-negara lain yang sengsara.  Kita maklum, menjadi negara makmur juga tidak gampang. Sekarang ini setiap negara yang menderita larinya selalu ke  Indonesia untuk minta bantuan. Apa boleh buat. Sebagai negara makmur dan maju, Indonesia juga terkenal sangat murah hati karena memang dasarnya kita berperasaan halus. Apalagi jika mereka merengek-rengek, kita akan kontan iba dan tidak tega. Nah, begitulah keterangannya mengani persen-persenan tadi.”

 

“Seluruh gaji pegawai negeri  di negara kita tidak boleh lebih dari  5% pendapatan negara per kapita, katamu?”

 

“Betul.”

 

 “Apa cukup?”

 

“Sudah kukatakan tadi. Soal cukup itu relatif. Tapi bagiku cukup. Pangan dan sandang aku tidak kekurangan. Rumah ada. Mobil? Aku tidak perlu punya. Aku cukup pergi ke kantor dengan sepeda biasa saja. Badanku sehat. Apalagi, saat ini ahli-ahli kita masih sibuk untuk menemukan mobil terbang dan sepeda terbang tanpa bahan bakar.  Dengan demikian, aku ambil bagian dalam spirit mereka, anti pemborosan bahan bakar.”

 

Halo mengangguk-angguk.

 

“ Jadi,  aku tidak perlu punya mobil. Membuang-buang bahan bakar saja. Ini  merusak  lingkungan hidup. Sebagai pegawai negeri, termasuk tugaskulah untuk meringankan para petugas lingkungan hidup. Yah, memang, lingkungan hidup di negara kita paling berhasil di dunia. Tetapi bukankah keberhasilan ini harus kita jaga ketahanannya? Juga apa gunanya punya mobil. Aku bisa pergi dengan kendaraan umum. Transportasi di negara kita terkenal di mana-mana: nyaman pelayanannya dan serba tepat jadwal-jadwal pemberangkatan dan sampainya ke tempat tujuan. Lapipula dengan menunjukkan kartu pegawai negeri, aku cukup membayar 10%.  Gaji dan penghasilanku relatif cukup. Asal tidak berniat hidup gaya mewah. Gaya hidup tak pernah melewati gaya hidup masyarakat kebanyakan ini, mendatangkan rasa puas dan kebanggaan tersendiri. Rasa puas dan bangga ini tidak bisa dibayar dengan apa saja. Apalagi hanya dengan uang.”

 

 

Halo mengangguk-angguk. Kepalanya mulai tertunduk. Takluk.

 

Semua yang dikatakan Holi benar belaka. Dengan mata kepala sendiri dia melihat semua pegawai negeri bergaya hidup sangat sederhana. Di mana-mana dia melihat hal itu. Ke kantor mereka selalu bersepeda. Dalam menyelenggarakan pesta-pesta, mereka tidak pernah berpora-pora. Begitu sederhana dan sangat mengharukan siapa saja yang kebetulan memperoleh undangan. Kesederhanaan mereka habis-habisan. Itu membuat rakyat swasta  di luar lingkungan pegawai negeri sering menjadi tersipu-sipu dibuatnya.

 

“Sungguh bang,”  Holi melanjutkan,  “gaya hidup jauh dari mewah ini membuat tentram.  Aku merasakan masyarakat menghormati sikap hidup semacam ini. Aku dihormati di mana-mana secara tulus. Kebetulan belanja di toko, seringkali yang punya toko tidak mau dibayar, mereka tahu aku pegawai negeri. Kemudahan aku peroleh di mana-mana. Kesempatan untuk kaya terbuka lebar. Itu kalau aku mau rakus. Memanfaatkan setiap kesempatan dan kemudahan  yang begitu menganga lebar tersebut. Ini berbahaya! Sebab begitu aku mulai mau mencicipi kemudahan dan kesempatan itu, saat itu juga aku akan terdorong untuk mencicipi dan mencicipi lagi. Tidak ada habisnya. Misalnya dengan mulai menerima pemberian abang ini. Tidak! Aku tidak mau!  Habislah sudah kebanggaan dan jati diriku sebagai abdi rakyat dan abdi negara!”

 

Halo termangu-mangu. Semua yang dikatakan adiknya itu benar . Tetapi ia tetap penasaran. Ia tetap tidak mau dicap egois! Halo berkata dengan gusar.

 

“Oke! Terserahlah! Itu urusanmulah tidak mau menerima uangku! Tapi jangan lalu menyebut-nyebut aku egois segala!”

 

“Bagaimana tidak egois?” bantah Holi. “Abang pedagang. Tapi menolak menjadi kaya. Bagaimana ini? Padahal dengan semakin kaya, abang akan semakin bisa membantu negara.”

 

“Membantu negara?” tukas Halo penasaran. Hatinya tiba-tiba berdebar.

 

“Ya, betul. Abang akan bisa membayar pajak dalam jumlah yang semakin besar. Akibatnya, pemasukan negara semakin besar juga. Dengan pemasukan lebih besar itu pemerintah akan lebih longgar pula kesempatannya dalam berbuat baik. Pemerintah, antara lain, akan lebih bisa membahagiakan mereka yang jompo, cacad atau anak-anak yatim piatu.”

 

Holi sejenak ragu-ragu. Tapi akhirnya dia melanjutkan juga dengan nada yang lebih hati-hati. “Atau, hmm, sebenarnya abang ogah atau sengaja menghindari pajak yang lebih besar?”

 

Halo terpana. Melongo lama. Kata-kata Holi terakhir membuatnya benar-benar terhenyak. Kata-kata itu menembak begitu telak jantung jiwanya. Rasa marah dan kecewa dan terharu bercampur. Dia terdiam sempurna. Badannya serasa mendapat guyuran air suci. Dia merasa menemukan sesuatu. Sesuatu yang selama ini ia miliki tanpa ia sadari. Tiba-tiba dia merasa sangat berbahagia mempunyai adik semacam Holi. Jiwa luhur  pegawai negeri yang dimiliki adiknya itu langsung mendapat tempat tersendiri dalam relung hatinya.

 

Halo memeluk Holi dengan mata berlinang. Holi melongo. Di udara beberapa sepeda terbang membelah angkasa. Semakin banyak saja para remaja berpacaran di sore cerah itu.

 

Akibat diskusi di Taman Alam di tepian Rawapening, Halo terkesima dan kagum pada Holi. Ia lalu berjanji dalam hati.  Kotir, anaknya yang baru lahir sungsang dan menewaskan ibunya, kelak harus menjadi pegawai negeri!

 

(Bersambung)

 

Gunung Merbabu, Mei 2016

 

________________________________________________________________

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler