x

Iklan konser degan sponsor rokok

Iklan

Wahyu Aning Tias

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mampukah Mereka Meneriakkan Kata #Cukup?!

Saat setiap jengkal aspek kehidupan kita dikuasai oleh industri rokok, akankah ada yang berani melawan dan berteriak #cukup?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merupakan sebuah tantangan tersendiri ketika tergerak untuk menuliskan ini. Tulisan ini seperti urun rembug rakyat Indonesia yang prihatin terhadap nasib bangsanya. Khususnya nasib masa depan generasi penerus bangsa. Rasa itu selalu muncul setiap kali melihat papan reklame besar-besar iklan rokok, lebih sering lagi iklan konser musik dengan fully sponsored by industri rokok. Saya teringat dulu sekali, ketika masih jaman SMA dan industri musik Indonesia merangkak naik, seorang perwakilan dari sebuah label rekaman dengan terang-terangan memberikan pernyataan pada media bahwa tanpa sponsor rokok, mereka tidak akan semaju sekarang. Tidak ada industri yang mampu menopang kebutuhan anggaran mereka selain industri rokok. Itu benar-benar terjadi, dan saya miris mendengarnya.

Tidak cukup hanya itu, saat konser berlangsung, pasti "tiket" yang didapatkan penonton berupa sebungkus rokok, ya bagaimana teman saya tidak kenal rokok kalau seperti itu. Lalu, di belakang panggung, para penjaga keamanan berbagi rokok dalam kemasan kardus isi 12 bungkus. Ya, saya ingat betul karena mereka melakukannya dengan santai di hadapan saya yang masih berusia 16 tahun. Hanya bisa melihat dan mengingat serta menuliskannya disini sekarang. Awalnya, saya merasa kasihan pada diri sendiri, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat semua terlihat wajar dan biasa saja, saya merasa buruk saat itu. Tapi, sekarang saya yang kasihan pada mereka, pada teman-teman saya yang dulu senang dapat rokok dan sekarang dengan susah payah berusaha untuk berhenti merokok setelah sadar kalau mereka jadi kecanduan. Saya hanya bisa mendoakan, semoga mereka masih punya umur saat berhasil berhenti merokok.

Jadi, sudah sangat lama sekali industri rokok menggenggam erat dunia musik dan bahkan film Indonesia. Bukan...semuanya mereka kuasai, seni, olahraga, musik, film, pendidikan. Semuanya dirangkul, dibuat diam bahkan tidak hanya diam, saya berani jamin merekalah yang akan berdiri paling depan untuk membela eksistensi industri rokok. Seperti monster yang memberi makan hasil buruannya sampai gemuk. Setelah itu, mereka bisa melahap buruannya kapan saja, sesuka hati. Tahu kenapa? Karena kita, buruannya, adalah makhluk-makhluk lapar, yang setiap saat berani mengesampingkan pikiran sehatnya, asal perutnya kenyang. Mereka pandai memperdayai kita semua dengan mekanisme-mekanisme yang masif, terstruktur dan sistematis. Hampir seperti Orde Baru, mereka membungkam dan mengendalikan suara. Mereka mahir memainkan emosi publik melalui jalur-jalur strategis yang selama ini seringkali dikesampingkan oleh negara. Mungkin, industri rokok patut berterimakasih pada Orde Baru yang memberikan mereka kesempatan besar untuk merebut aspek-aspek kehidupan rakyat yang diterlantarkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin hari ini, tidak cukup hanya hari ini, butuh seribu tahun lagi untuk mengembalikan seribu tahun yang hilang, tetapi tulisan ini adalah bagian penting dari setiap jengkal upaya untuk mengetuk hati rakyat Indonesia, kami bersuara untuk membebaskan kita semua dari kekangan dan doktrin asap rokok. Setiap kali asap rokok terlihat menari di udara, saya seperti menghitung satu nyawa mengabdi pada tirani lalu menghitung mundur kehidupannya dengan cara yang aroga, tanpa rasa bersalah sama sekali.

Lagu dan nyanyian itu indah, tetapi jika hanya sebuah lullaby pengantar kematian, masihkah kalian bangga memilikinya? Seakan kehidupan terlalu berharga untuk disesali, kalian lebih memilih berprestasi dengan jaminan setor nyawa, jiwa, kehidupan, rejeki yang tentunya bukan hanya milik kalian semata, tetapi juga milik orang-orang miskin yang bekerja sebagai petani tembakau, orang miskin sekarat terkena penyakit paru obstruktif kronis, anak-anak miskin yang menyortir daun tembakau biar bisa makan atau beli seragam sekolah baru, karena yang lama terlalu sering dipakai kerja sampai lusuh, atau ibu-ibu pekerja yang melambai tiap pagi dan sore kearah rekan kerjanya yang sama-sama bekerja di pelintingan rokok. Tidak lama lagi mereka akan di-PHK karena sudah digantikan oleh mesin dengan biaya yang lebih murah dan hasil lebih banyak. Dengan dalih cukai rokok yang semakin naik dan mencekik, mereka harus memikirkan cara untuk tetap mendapatkan profit berlimpah. Percayalah, setiap jengkal kebijakan yang menjerat mereka, pasti ada seribu jalan menuju bebas, percayalah...

Industri rokok adalah sebuah mega aset yang bernilai mungkin sama dengan nilai negeri ini. Jadi, tidak perlu gusar industri rokok bangkrut, apa itu bangkrut? Yang ada kalian yang bangkrut...kehabisan modal buat berobat karena tobacco related illness. Jika ada yang perlu sangat dikhawatirkan nasibnya, itu adalah nasib kalian sendiri, nasib anak cucu kita semua. Ayoo, bangun! Sadar...melek...yang lebar...

Prestasi musik dan film Indonesia terlalu mahal jika ditukar dengan uang hasil penjualan sekian ratus milyar batang rokok per tahunnya. Gemilang, berdikari, independen dan berkarakter. Tidak ada yang bisa menyentuh kalian kecuali orang-orang yang mengerti nilai sebuah seni. Ah, apa bisa ya? Apa bisa berkata #cukup sebelum sebuah katastrofi datang membenarkan semua yang saya katakan tadi?

Ikuti tulisan menarik Wahyu Aning Tias lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB