x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

25 Tahun Dunia Sophie

Dunia Sophie, terbit pertama kali pada 1991, telah mengajak puluhan juta orang untuk belajar filsafat secara mengasyikkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Andaikan aku menulis Dunia Sophie hari ini, adakah hal penting yang aku tambahkan? Adakah sesuatu yang akan memperoleh penekanan lebih kuat? Jawabannya, ya. Andaikan aku menulis novel filosofi hari ini, aku akan fokus lebih banyak pada bagaimana kita memerlakukan planet kita.”

Itulah penggalan dari esai yang ditulis Jostein Gaarder tahun lalu di Independent untuk memeringati 20 tahun terbitnya Dunia Sophie dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa aslinya, Norwegia, Sofies verden ditulis pada 1991—jadi, tepat 25 tahun yang lampau. Gaarder tidak begitu dikenal hingga edisi Inggris novel filsafatnya ini terbit dalam bahasa Inggris dan menjangkau khalayak pembaca yang lebih luas. Hingga kini, Dunia Sophie telah diterjemahkan ke dalam 60 bahasa dan laku terjual lebih dari 40 juta eksemplar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Prestasi itu sukar dicapai oleh buku filsafat serius. Gaarder-lah orang yang berjasa memperkenalkan pikiran dan pertanyaan manusia tentang diri maupun alam sekitarnya dengan cara yang populer, dalam sebuah novel. Ketika filsafat dipersepsikan sebagai sesuatu yang sangat mengernyitkan dahi, Gaarder justru menunjukkan betapa filsafat dapat didekati dengan cara yang lebih menyenangkan dan menghibur.

Soalnya kemudian, pentingkah mempelajari filsafat di zaman edan seperti sekarang? Dengan jitu, Bambang Sugiharto—ketika menulis pengantar edisi Indonesia novel ini, tahun 1996, ia guru besar filsafat yang mengajar di Unpar dan ITB—menggambarkan persepsi banyak orang mengenai filsafat. “Ketika dunia digerakkan oleh kesibukan mencari uang sebanyak-banyaknya, dan diramaikan oleh hiruk-pikuk memburu kenikmatan, karier, popularitas dan kekayaan,” tulis Bambang, “filsafat tampak bagai verbalisme kosong, bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya.” Filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.

Gaarder, yang pernah mengajar filsafat untuk siswa SMA, menunjukkan bahwa filsafat tetap dibutuhkan di zaman kini. Lewat tokoh Sophie Amundsen, gadis berusia 14 tahun yang serba ingin tahu dan terus berdialog dengan sosok misterius bernama Alberto Knox, kita diajak menyusuri misteri kehidupan dan berusaha menemukan jawaban filosofis atas misteri itu. Bersandarkan pada rasa ingin tahu, kita ikut berpetualang di antara dua dunia itu—berayun-ayun di antara dunia fiksi dan dunia filosofis.

Dengan mengikuti perjalanan Sophie, kita akan bertemu dengan para moyang pemikir dunia hingga ke masa Yunani kuno. Dalam bimbingan Alberto, Sophie memelajari filsafat abad pertengahan, juga menelaah gagasan Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir di sebuah kafe bersuasana Prancis. Kita akan bersua dengan eyang Karl Marx, George Berkeley, eyang buyut Rene Descarters, dan banyak lagi—walau sayangnya kita tidak bertemu dengan Umar Khayyam ataupun Ibn Rusyd. Perjalanan mengikuti Sophie sungguh menyenangkan, meski kita bisa tidak sepenuhnya bersepakat dengan Gaarder yang tidak menapaki jejak-jejak filosof besar lain di luar apa yang dikelompokkan sebagai “Barat”.

Membaca kembali Dunia Sophie, saya tetap merasakan kesegarannya. Lewat pendekatannya yang unik, Gaarder telah membuka pintu-pintu menuju ruang-ruang filsafat bagi lebih banyak orang. Kekosongan pada ruang-ruang tertentu dalam Dunia Sophie dapat kita isi dari kitab-kitab lain walau pembahasannya mungkin menuntut kita ‘lebih serius’ saat membacanya.

Andaikan Gaarder menulis novel filsafat di hari ini, boleh jadi ia tak bisa mengelak dari isu-isu besar yang berkembang sepanjang 25 tahun sejak penerbitan Dunia Sophie pertama kali. Pertanyaan-pertanyaan dasar yang sudah ribuan tahun berusaha diawab oleh umat manusia akan tetap mengusik. Pertanyaan-pertanyaan baru akan bermunculan seiring perubahan kebudayaan. Akankah robot mencapai tataran kesadaran termasuk tentang dirinya sendiri? Apa perbedaan manusia dan mesin?

Meski begitu, kata Gaarder, pertanyaan filosofis terpenting zaman kita ialah: bagaimana kita akan menyelamatkan peradaban kita dan basis eksistensi kita. (foto: Gaarder membacakan buku untuk siswa sma; sumber foto: independent.co.uk) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler