x

Iklan

Eskaning Pawestri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Darurat Rokok, ke mana Saya Harus Mengadu?

Disclaimer: tulisan ini sudah tayang di blog pribadi www.eskaningrum.com pada 28 Mei 2016

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Panen dengan Darah Kami”, itulah rangkaian-empat-kata yang beberapa hari terakhir memenuhi lingkup timeline media sosial yang saya ikuti. Selengkapnya, tajuk yang berbunyi “Panen dengan Darah Kami: Bahaya Buruh Anak di Pertanian Tembakau di Indonesia”, adalah hasil penelitian Margareth Wurth, peneliti hak-hak anak Human Rights Watch (HRW), yang dipaparkan di Jakarta pada Rabu 25 Mei 2016.

Dalam laporannya tersebut, digambarkan bahwa buruh anak yang bekerja di lahan tembakau akan terkena risiko parah akan kesehatan dan keselamatannya. Risiko ini termasuk keracunan nikotin akut karena bersentuhan langsung dengan tanaman dan daun tembakau, serta paparan racun pestisida dan bahan kimia lain. Mari simak sejenak video berikut ini: are you smoking child-labor tobacco?

Sumber: Human Rights Watch

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Rasanya artikel-artikel, hasil penelitian, kampanye, dan seruan-seruan antirokok bukan hal baru untuk diperbincangkan. Video di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak fakta tentang betapa berbahayanya racun nikotin yang terkandung di dalam rokok.

Berbicara tentang rokok,  saya tidak akan lagi menggurui para pecandunya dengan pelajaran “Merokok dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin”. Saya yakin warning tersebut sudah di luar kepala. Bahkan mungkin sudah sangat jauh berada di “luar kepala” para penyesap racun nikotin yang tak kunjung bertobat. Atau justru hal itu hanya menjadi semacam atribut-tak-kasat-mata yang sudah sepatutnya melekat pada setiap tayangan iklan rokok?

Berbicara tentang rokok, kita akan bicara soal terancamnya keselamatan dan masa depan para generasi muda. Dalam dokumen internal industri rokok, kaum muda dikatakan sebagai ‘perokok pengganti’ yang artinya jika para remaja tidak merokok, industri rokok akan bangkrut sebagaimana akan punahnya sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus (Perokok Remaja: Strategi dan Peluang, R.J Reynolds Tobacco Company, Memo Internal 29 Februari 1984).

Ke mana saya harus mengadu?

Kebijakan di Indonesia merupakan surga bagi para industri rokok. Produksi rokok akan terus ditingkatkan seperti yang telah ditetapkan di dalam Permenperin tentang Roadmap produksi industri hasil tembakau 2015-2020 yang akan ditingkatkan dari 398,6 milyar hingga mencapai 524,2 milyar. Hal ini seharusnya diimbangi dengan aturan semacam dinaikkannya cukai rokok. Seperti diketahui, banyak negara yang membuat aturan pajak dan cukai sangat tinggi. Bahkan, di New Zealand harga rokok kini sudah mencapai sekitar Rp 250.000 per bungkusnya dan rencananya akan dinaikkan lagi menjadi Rp 1.000.000 di tahun 2025.

Indonesia sudah punya peraturan tentang pengendalian tembakau, koq! Tengok saja PP No 109/2012 Pasal 2, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37. Bahkan sanksi pelanggaran terhadap peraturan ini pun sudah diatur di  PP No 109/2012 Pasal 47 dan Pasal 60. Permasalahannya adalah ketika peraturan ini tidak dipatuhi, siapa yang akan bertindak tegas sebagai ‘wasit’nya?

Kenyataannya, Indonesia menjadi satu-satunya negara di regional Asia yang belum menandatangani dan mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang merupakan perjanjian internasional kesehatan-masyarakat pertama sebagai hasil negosiasi negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO). FCTC bertujuan untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi. Sebenarnya hal ini sangat disayangkan karena FCTC sebenarnya dapat memberi peluang kepada pengembangan kebijakan lintas sektor untuk pengendalian masalah konsumsi tembakau.

Oleh karena regulasi di Indonesia yang hanya bersifat ‘pembatasan’, Industri rokok di Indonesia memiliki kebebasan hampir mutlak dalam hal Iklan, Promosi, dan Sponsor (IPS). Pembolehan ini sungguh menyenangkan hati para industri rokok yang bisa dengan bebasnya mengembangkan kreativitasnya menciptakan cara-cara IPS baru. Kita bisa lihat sendiri tayangan iklan rokok di berbagai media TV, internet, koran, majalah, film, radio, dll. Iklannya unik-unik dan kreatif sekali, bukan? Iklan yang seolah mengemukakan kebaikan dan manfaat rokok ini sangat mengena di hati para pemirsa, terutama bagi kaum remaja yang sudah diklaim sebagai perokok pengganti.

Promosi dan sponsorhip bernilai ratusan milyar tiap tahun digelontorkan ke berbagai kegiatan positif seperti musik, budaya, bantuan sosial, olahraga, kegiatan agama, pendidikan/ beasiswa, kompetisi, film, seminar/ konferensi, munas, dll. Untuk menyasar target utamanya yaitu para remaja, intervensi industri rokok masuk melalui acara-acara musik. Menurut Phillip Morris dalam Penelitian Gaya Hidup Anak Muda di Hongkong (1989), musik adalah bahasa, sumber, ide, dan trend anak muda.

Strategi iklan dan promosi rokok banyak menggunakan subliminal advertising pada remaja. Subliminal adalah pesan atau stimulus yang diserap oleh persepsi dan alam otak bawah sadar, yang diterima melalui medium gambar yang diulang-ulang. Pesan atau stimulus ini cepat melintas sebelum individu dapat memprosesnya. Pesan-pesan subliminal ini perlahan-lahan akan mempengaruhi dan mengubah pikiran sadar dari otak seseorang. Remaja, adalah individu dengan pola pikir yang belum terlalu matang dan cenderung labil sehingga masih mudah sekali untuk dipengaruhi.

Industri rokok menyasar remaja melalui musik karena remaja sangat dekat dengan musik. Dapat dikatakan, musik memegang peranan sangat penting dalam kehidupan seorang remaja karena musik dapat membantu remaja menjalin interaksi sosial dengan sesamanya dan musik bahkan membantu remaja berkomunikasi dengan orang tuanya. Temuan-temuan di lapangan bahwa industri rokok getol mendekati remaja melalui event-event musik bisa dilihat di http://sudahcukup.com/temuan.

Di tengah upaya seluruh dunia untuk menekan konsumsi dan produksi rokok, saya pribadi miris melihat kenyataan di Indonesia yang masih menganggap bahwa rokok adalah barang yang normal beredar dan dikonsumsi. Peraturan tentang pengendalian tembakau yang kurang tegas diimplementasikan dan belum adanya peran ‘wasit’ dalam mengawal berbagai kebijakan yang sudah diberlakukan membuat saya berpikir untuk bertahan dengan sisa keoptimisan akan kondisi Indonesia yang lebih baik. Segala fakta yang ada ditambah dengan pembiaran iklan, promosi, dan sponsor industri rokok pada berbagai event musik bagi para remaja, apakah berlebihan jika label “Indonesia Darurat Rokok” disematkan untuk negeri ini? Lalu sebagai awam yang menginginkan situasi lebih baik dan terkendali, ke manakah saya harus mengadu?

 

 

Referensi:

http://kemanusiaan.id/2016/05/26/hrw-ungkap-penelitian-pekerja-anak-di-perkebunan-tembakau/

https://www.hrw.org/id/report/2016/05/24/289933

https://www.facebook.com/ajplusenglish/videos/736501476491362/

http://www.depkes.go.id/article/print/2369/indonesia-merugi-bila-tidak-aksesi-fctc.html

INTERVENSI INDUSTRI ROKOK DAN RUU PERTEMBAKAUAN oleh: Jalal, https://www.facebook.com/KRB.MKIR/posts/950563558394399:0 

Presentasi Dr. Nina Mutmainnah Armando berjudul Regulasi Iklan, Promosi,Sponsor Rokok. Disampaikan pada BLOGGERS GATHERING “#CUKUP Sudah Musikku Jadi Alat Promosi Rokok” 12 Mei 2016

Presentasi Liza Marielly Djaprie berjudul Pengaruh Musik dan Iklan Rokok pada Remaja. . Disampaikan pada BLOGGERS GATHERING “#CUKUP Sudah Musikku Jadi Alat Promosi Rokok” 12 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Eskaning Pawestri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler