x

Iklan

Luthfi Ersa Fadillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Drama Keluarga Bernuansa Horror Dalam Film

Tulisan review film ini berfokus pada sisi keluarga sebagai tiang narasi dramatik yang digunakan oleh James Wan dalam film The Conjuring 2

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terkadang kau harus mempercayai sesuatu ketika tidak orang lain yang mempercayainya

-Maurice Grosse-

 

Keluarga. Ya, keluarga titik pijak utama dalam segala film besutan James Wan. Baik hanya sebagai latar maupun ide cerita. Sejak awal, The Conjuring berangkat dari satu kata itu.

Secara nyata, nyaris setiap keluarga pasti memiliki masalah. Keluarga si “Korban”, keluarga Ed (Patrick Wilson) & Lorraine (Vera Farmiga), hingga keluarga “Si Hantu”. Ketiganya adalah penyangga film ini. Sejak film pertamanya pun menggunakan formula yang demikian. Dan, itu penggambaran yang dapat dieksplorasi secara dramatik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka, secara lebih spesifik, sebagai penonton, tugas kita mudah: kita tinggal berkelana memahami masalah-masalah yang disuguhkan oleh Sutradara untuk menyusun pikiran bahwa segala kehorroran menjadi mungkin dan terkait satu sama lain.

Hal ini diperkuat oleh James Wan, dalam laman Facebooknya mengatakan, “My goal was to make a relationship-drama movie that just happens that drama they’re dealing with is that of the supernatural persuasion”.

Seperti yang kita ketahui bersama, baik di trailer maupun yang sudah menonton bahwa ada sebuah keluarga di Enfield, Inggris, yang intinya mengalami gangguan mistis. Kali ini menimpa keluarga Peggy Hodgson (Frances O’Connor). Perempuan single parent dengan tanggungan empat anak yang merupakan representasi kelas keluarga middle-end yang berkutat dengan persoalan ekonomi keseharian.

Masalah muncul ketika anaknya, Janet (Madison Wolfe) mulai merasakan hal-hal gaib di rumahnya dan kali ini lebih sering terang-terangan. Twist menegangkan yang diberikan sebetulnya tidaklah banyak. Bahkan, mungkin tidak ada yang ikonik. Tapi, sekarang lebih berfokus kepada aksi dalam satu scene twist.

Misal, meja yang terang-terangan bergerak sendiri di tengah banyak orang. Janet dan kakaknya, Margaret yang ketika tidur kasurnya diangkat-angkat oleh sang hantu. Dan tak lupa, Janet yang “berebut” pindah-pindah channel TV dengan si hantu.

Tak hanya keluarga hodgson yang memiliki masalah, hantu yang sedang mengganggu keluarga itu pun juga memiliki problem eksistensial tersendiri: Kepemilikan rumah dan dirinya rindu dengan keluarganya. Agak klise memang.

“This is my house. Get out”, “No, this is not your house. Now, what’s your name?”, “My name is Bill Wilkins”.

Yaps, setidaknya kita akan tahu sejak awal bahwa hantu yang nantinya akan dihadapi dan mengganggu adalah Bill Wilkins. Jujur saja, Bill ini hantu yang menyebalkan dan usil. Tentu ia memiliki alasan tersendiri mengapa berbuat begitu. Yang pasti, si hantu bukan hanya ia seorang dan masih ada satu hantu yang menjadi sumber dari segala sumber masalah di film ini.

James Wan dengan rapi dan cukup sabar membangun narasi cerita sepanjang film. Selama durasi 2 jam 14 menit kita benar-benar akan disuguhkan visualisasi kelam sebuah rumah dengan minim pencahayaan dan aksi teror yang sangat destruktif. Mengapa begitu? Sepengamatan saya, banyak sekali penggunaan kamera yang mewakili orang pertama tunggal sehingga seakan-akan penonton yang akan menghadapi sendiri teror di depan mata.

Sungguh, ketika saya memperhatikan penonton di ruang bioskop, kurang lebih setengah jam sebelum film habis, tampak sekali banyak penonton mulai gelisah di tempat duduknya. Benar-benar terlihat gelisah takut dan itu menunjukkan bahwa cerita dan segala elemen dalam film ini tersampaikan dengan baik kepada penontonnya.

Memang ada beberapa scene yang terlihat sekali tidak cukup membantu dan malah cukup menganggu karena mempertimbangkan korelasi dengan isi cerita. Beberapa diantaranya adalah Papan Ouija yang dimainkan oleh Janet yang ternyata tidak terlalu memberikan korelasi kuat bahwa segala hal gaib itu disebabkan papan tersebut dan mainan dengan nama “Orang Bengkok” yang tiba-tiba juga muncul menjadi hantu tambahan yang ambil bagian untuk meneror. Dampaknya, cukup mengurangi fokus kepada 2 hantu utamanya di beberapa saat.

Meski demikian, kita harus mengangkat topi bagi para aktor yang memainkan perannya dengan sangat baik. Salah satu yang perlu diapresiasi adalah justru kepada Ibu Janet, Peggy Hoghson yang berhasil membuat kita sama-sama merasakan simpati tentang betapa sulitnya menjadi orang tua tunggal. Dan, tentunya, Janet yang dalam interview mengatakan ia belajar menggunakan aksen Inggris. Manis pula wajahnya.

Tak lupa, lokasi film yang dibuat seperti “London Klasik” buatan yang “London” banget ini bagus. Selain itu, seperti biasa, kita akan disuguhkan musik-musik khas zamannya seperti film pertamanya. Pemilihan lantunan lagu Elvis Presley yang indah juga menambah kesan romansa dramatis dan ikonik, khususnya kepada Ed dan Lorraine itu sendiri.

Bagaimana dengan keluarga Ed-Lorraine? Mereka secara pribadi pun memiliki masalah bahwa Lorraine ingin menyudahi segala aktivitas mereka sebagai demonologist. Kita ingat kata-katanya, “I have a preminition. If we keep doing this.... You are going to die”. Pertanyaannya, lantas bagaimana Ed-Lorraine dapat membantu keluarga di Inggris ini? Duduk manislah di bioskop untuk menyaksikannya.

Mungkin, banyak twist yang sama dan mungkin sudah sering kita lihat. Hanya, sejak film pertamanya, saya selalu percaya bahwa film The Conjuring selalu dapat menjadi pintu masuk bagi para penonton yang ingin terjun menonton ke genre horror. Toh, ini sesuai dengan ambisinya James sendiri selaku sutradara.

Dalam salah satu interview ia mengatakan, “what I want really to do is bring respect to studio horror films”. Selain menggunakan masalah keluarga sebagai tiang narasi, ia juga menyimpul cerita demi cerita dengan moral value tentang arti sebuah kepercayaan dalam setiap segi keseharian hidup.

Benarkah ia dapat mengangkat kembali respek publik ke studio film horror?

Saya rasa, ia menepatinya

Ikuti tulisan menarik Luthfi Ersa Fadillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu