x

Perajin membuat Batik Quran diatas lembar kain Primis di kawasan Kampung Batik Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, 15 Juni 2016. Produksi batik Quran tersebut sengaja dibuat untuk mewarnai bulan Ramadan. TEMPO/Bram Selo Agung

Iklan

Syafiq Basri Assegaff

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ramadan, Cinta, dan Kebahagiaan oleh Syafiq Basri Assegaff

Tanda cinta yang paling kentara adalah memberi perhatian, waktu, tenaga, dan dana. Sebab, mencintai lewat pemberian akan memberi kebahagiaan kepada...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dari Ramadhan ke Ramadhan masalah yang dihadapi umat Muslim boleh dikatakan sama melulu. Pada bulan suci itu, muslimin berpuasa, mengekang hawa nafsu, berbuat baik, puasa, memberi zakat, sedekah, dan sebagainya. Tapi setelah Ramadhan berakhir, banyak dari kita lupa padanya, dan kehidupan kembali seperti sediakala. Dosa demi dosa dan kemaksiatan menggantikan kebaikan-kebaikan yang sebelumnya dielu-elukan.

Barangkali sudah saatnya kita merenungkan sebuah pendekatan yang berbeda, memasuki bulan suci lewat jalan penyucian diri, menggelorakan cinta kepada Sumber Cinta, yakni Allah subhanahu wa ta’aala. Agar sesudahnya, kelakuan segala yang baik selama Ramadhan dapat berbekas dan berkelanjutan hingga bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya – sustainable.

Tapi bagaimana meraih hal itu? Tentu bukan dengan solat tarawih atau tadarus Al Qur’an semata – melainkan dengan menebarkan cinta itu sendiri. Cinta kepada sesama Muslim, sesama umat manusia, dan terhadap sesama makhluk Tuhan -- sebagai salah satu satu amal penting yang dicatat Al Qur’an untuk dikerjakan. Dan tanda cinta yang paling kentara adalah berkorban untuk pihak lain, antara lain dengan memberi: perhatian, waktu, tenaga, dan dana. Karena sesungguhnya sifat mencintai lewat pemberian itu yang sejatinya akan memberi kebahagiaan kepada pelakunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara orang salah mengira dan ngotot ingin menjadi kaya, karena menganggap itu sebagai sumber kebahagiaan, agama menyuruh umatnya memperhatikan mereka yang miskin, antara lain lewat zakat, infaq dan sedekah. Agama mengingatkan bahwa kekayaan bukanlah sesuatu yang abadi, dan ia bukan penyebab kebahagiaan yang sejati. Agama mengajarkan bahwa sumber kebahagiaan yang sebenarnya adalah memberi (berkorban) untuk orang lain, sambil menerima secara ikhlas apa saja yang diberikan Tuhan kepada kita setelah berikhtiar (sikap qana’ah).  Lewat pemberian itu jiwa dibersihkan, dengan cara mengeluarkan semua ‘kotoran diri’, sehingga manusia dapat menjadi fitri (jiwa yang bersih), yang menjadi akar kebahagiaan yang murni.

Tetapi, masalahnya kebahagiaan tidak mudah dinyatakan secara tegas. “It’s hard to pin down,” kata orang Barat. Ia sangatlah cair, transient (sekelebat), dinamis, dan licin.  Sebagian ahli ekonomi lebih suka menggunakan kata ‘utility’ (kegunaan) – semacam mengevaluasi ‘guna’ uang atau harta yang Anda punya, seberapa bergunanya mobil yang Anda miliki, dan sejenisnya. Kira-kira, makin berguna milik Anda itu, maka mestinya Anda makin bahagia.

Kalau itu bisa diterima, kemudian kita bisa mengkaitkannya dengan fenomena yang populer di Indonesia dengan istilah ‘berkah’. Makin banyak manfaat harta yang Anda miliki – sesedikit apa pun hitungan kata ‘banyak’ itu  – bagi lebih banyak orang, berarti harta itu makin berkah. Sehingga pemiliknya makin bahagia.

Para psikolog dan ahli sosial memilih untuk bicara Subjective Well Being (SWB), katakanlah semacam ‘perasaan senang (atau nyaman) yang subyektif’. Artinya, perasaan seseorang yang berbahagia itu hanya bisa dirasakan dirinya sendiri, sementara orang lain tidak bisa merasakannya. Bila fenomena ini diterima, maka Anda mungkin tidak akan heran melihat seseorang bisa tidur nyenyak di atas truk terbuka, sementara seorang milyarder justru sulit tidur di ranjang mewahnya.

Para ahli menemukan bahwa ternyata Subjective Well Being — atau happiness – lazimnya tidak berkaitan dengan tingkat penghasilan. Selain itu, ia tidak tergantung pada tingkat pendidikan dan tidak berhubungan dengan status sosial. Malah, ia juga tidak terikat pada status perkawinan, sehingga, kata sebagian ahli, seorang yang belum menikah bisa lebih bahagia ketimbang yang sudah berkeluarga.

Seorang tokoh psikologi positif Mihaly Csikszentmihalyi, mengatakan bahwa dari penelitian di Amerika sepanjang 40-an tahun  (sejak 1956 hingga akhir 90-an) disimpulkan bahwa meski penghasilan mereka meningkat hingga tiga kali lipat selama periode itu (dari $ 8.000 pada 1956 hingga $ 20 ribu dolar pada tahun 90-an), tetap saja hanya sekitar 30 prosen orang Amerika yang merasa bahagia sekali (very happy).  Selain itu, meningkatknya materi yang mereka miliki tidak seberapa berdampak pada kebahagiaan seseorang. “Kekurangan materi memang punya peran pada munculnya ketidakbahagiaan,” kata Mihaly, “tetapi peningkatan materi tidak meningkatkan happiness.”  

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa makin kaya orang tidak mesti makin bahagia, sedangkan orang miskin harus dibantu agar mencapai kebahagiaan. Dan itulah sesungguhnya yang diajarkan dalam agama. Sesungguhnya pemberikan kita kepada orang miskin, berupa sedekah, infaq dan zakat akan membantu membahagiakan orang lain. Sementara, ketiganya sama sekali tidak mengurangi kebahagiaan yang memberi.  Sampai di sini, kita jadi ingat salah satu ajaran inti Islam, yakni membahagiakan orang lain.

Masih menurut Mihaly, keadaan ketika di dalamnya orang merasakan kebahagiaan disebutnya sebagai “flow”, yakni sebuah situasi ketika kesadaran (pikiran) manusia berada dalam keadaan teratur dan selaras, dan itu bisa dicapai lewat 'pengendalian diri' dan 'pengendalian hidup'. Bersama para koleganya, Mihaly mewawancarai sekitar delapan ribu orang, termasuk para CEO kelas dunia seperti Anita Roddick (Body Shop), agamawan, para suster, hingga pendaki gunung Himalaya. Menurut para responden itu, jika Anda ingin pekerjaan yang penuh keberhasilan dan penuh makna, maka semangat Anda harus datang lewat pengerjaan yang terbaik, dan mendapatkan flow saat Anda bekerja.

Lepas dari kaitan budaya, pendidikan atau apapun, terdapat tujuh hal pokok yang menyebabkan seseorang bisa masuk dalam keadaan flow. Di antaranya adalah bahwa, flow itu muncul ketika Anda merasa ‘sirna’, atau lenyap, yakni saat Anda melupakan diri sendiri, dan Anda merasa sebagai bagian dari ‘sesuatu yang lebih besar’. Dan seketika kondisi itu hadir, maka apa yang anda kerjakan itu menjadi sangat berarti untuk dikerjakan. Anda merasakan bahagia.

Memang Mihaly tidak mengaitkannya dengan agama. Tetapi kita tahu bahwa itulah sesungguhnya yang biasa kita sebut dengan ‘ikhlas’, ketika orang melenyapkan ego dirinya lewat pemberian yang semata-mata disebabkan cinta kepada ‘ sesuatu yang lebih besar’, Tuhan Semesta Alam,  Sang Sumber Cinta.

Rupanya saat berada dalam flow itu lazimnya orang merasa tidak lagi terpengaruh pada dimensi waktu --  yang sering (dalam keadaan biasa) menginterupsi perjalanan kehidupan kita. Saat itu, kita tak lagi mementingkan diri (ego), karena sirnanya batasan-batasan individual kita. Dan itu amat serupa dengan kondisi saat kita 'kembali menjadi fitri', berkat latihan mengendalikan diri (ego) selama Ramadhan.

Walhasil, pada bulan Ramadhan ini semestinya kita akan makin bahagia. Bukan saja karena lebih efektif berkomunikasi dengan (dan membantu) orang-orang yang lemah, melainkan juga karena berhasil dalam komunikasi dengan Sang Sumber Cinta, berkat makin tingginya kemampuan mengendalikan diri dari pengaruh atau gangguan-gangguan eksternal diri.

Itulah sejatinya bukti cinta yang membawa kebahagiaan dalam beragama, bukan saja saat Ramadhan, melainkan sepanjang masa. Dalam mewujudkan cinta, memang orang harus memberi secara ikhlas dengan sepenuh hati.  Kata sufi Persia Abu Bakr Al-Syibli (861 - 946), “Hakikat cinta adalah engkau memberikan seluruh dirimu kepada yang engkau cintai, sehingga engkau tidak memiliki sedikit pun sisa bagi dirimu.”

Banyak yang menganggap sulit menerangkan cinta. Itu karena cinta memang bukan untuk dipikir-pikirkan atau direnungkan. Sesungguhnya cinta itu sesuatu untuk dijalani dan dinikmati. Maka, ketika Anda memberi, ketahuilah sesungguhnya Anda sedang menikmati sebuah anugerah Ilahi yang harus Anda syukuri – karena ia telah membawa kebahagiaan dalam jiwa Anda.

Mudah-mudahan dengan itu, segala kelakuan baik kita bukan saja berbekas selama Ramadhan, melainkan bakal berkelanjutan hingga bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya. Dan itulah yang dicontohkan Nabi saw. Lewat dakwah yang damai, bijak, toleran dan tidak anarkis selama 23 tahun, beliau keluar dari ’ego’-nya, berhijrah, demi menyebarkan cinta dan rasa bahagia pada orang lain. Dengan menirunya, semoga perjuangan kita dalam memperjuangkan keadilan, memerangi korupsi, kebodohan serta kemiskinan akan kita lakukan dengan penuh rasa cinta yang membahagiakan.

Syafiq Basri Assegaff, Pengamat Sosial dan Agama, pengajar di Universitas Paramadina, dan The London School of PR, Jakarta.

*) Versi pendek artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 15 Juni 2015

Ikuti tulisan menarik Syafiq Basri Assegaff lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB