Kalau ada bulan yang paling revolusioner, maka tak salah lagi itulah bulan puasa. Sebab, bulan puasa telah menjungkirbalikkan banyak pola hidup. Mulai dari pola makan, pola tidur, pola belanja, pola kerja, pola musik, sampai pola berpenampilan, semua diterjang revolusi.
Revolusi sangat kelihatan melanda pola penampilan kaum perempuan, dari yang demen mengumbar aurat alias ablak-ablakan, ujug-ujug menjadi tertutup. Mendadak banyak yang pakai jilbab. Entahlah, apakah simbol berpenampilan itu adalah jalan menuju fitrah manusia yang suci. Sementara kesucian itu bersemayam dalam nurani, yang kesuciannya perlu dijaga.
Tidak aneh jika pernah sangat populer istilah "jagalah hati", yang sering dilontarkan Aa Gym. Jauh sebelumnya, Kyai Abdullah Syafei, ulama besar Betawi, juga memperkenalkan istilah "atilu burik" untuk menjelaskan hati yang berlumur, tidak lagi bersih melainkan belang bonteng karena dosa. Kyai Abdullah Syafei mengambil konsep "atilu burik" ini dari hati yang disebut Al-Quran sebagai zhulm atau hitam karena dosa. Tidak lagi bersifat terang, melainkan menjadi gelap (zhulmani).
Benyamin S., seniman Betawi yang genial, kemudian mencomot konsep Kyai Abdullah Syafei menjadi bagian dari lagunya, Gue Enggak Ngerti. Namun lagu itu sangat jelas mengarah ke hati yang dipenuhi rasa iri, sirik, keki, dan usil. Sungguh lagu yang khas akan khasanah kebudayaan Betawi, terutama pantunnya. Baik isi maupun sampirannya, biasanya mengandung sindiran sekaligus nasihat. Dalam lagu itu, Benyamin sangat terasa menyindir orang yang "berhati iblis" karena dipenuhi prasangka buruk (su'udzon).
Satu lagu rakyat Betawi yang berasal dari kelompok mualim atau kaum santri menegaskan posisi hati sebagai ukuran. Lagu itu tempo dulu biasanya saben deket bulan puasa di antero tanah Betawi santerlah diperdengarkan:
Indung-indung kepala lindung
Ujan di laut di sini mendung
Anak siapa pake kerudung
Mata ngelirik kaki kesandung
Ayun-ayun Siti Aise
Mandi di kali rambutnye base
Tidak sembayang tidak puase
Di dalem kubur mendapet sekse
Ada "ngelirik" ada "mandi di kali rambutnye base", yang untuk ukuran lagu pantun dari kalangan santri Betawi tentu vulgar. Namun, sekali lagi, bagi hati yang bersih, tidak terbetik pikiran kotor. Siti Aise adalah bayangan perempuan sempurna lelaki Betawi. Rhoma Irama termasuk yang menguatkan gambaran Siti Aise dengan lagunya Di Balik Kerudung.
Kini kerudung terlupakan. Kalau pun ada, yang memakainya telah jauh dari gambaran historisnya yang berupa gambaran dari khasanah Islam, yang menjelaskan bahwa kebajikan adalah budi pekerti luhur, dan dosa adalah sesuatu yang terbetik di dalam hati. Jadi, pertimbangan pertama dan utama dalam bertindak adalah nurani. Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan apa yang baik dan buruk, yang benar dan yang palsu. Nah, kepalsuan inilah yang kadang sukar ditutupi dengan jilbab permanen sekalipun, apalagi yang hanya sesaat menyambut bulan puasa.
JJ Rizal, sejarawan
Ikuti tulisan menarik JJ Rizal lainnya di sini.