x

Ilustrasi televisi. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kawal Evaluasi Izin Siar Televisi

Sepanjang 2015, KPI telah melayangkan 266 sanksi kepada lembaga penyiaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Klara Esti

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Research Associate di Centre for Innovation Policy and Governance

Tak banyak yang tahu bahwa izin siar sepuluh stasiun televisi swasta nasional akan berakhir tahun ini. Agar bisa bersiaran selama 10 tahun mendatang, mereka harus melalui serangkaian proses perpanjangan izin. Salah satu tahap penting dalam proses tersebut adalah evaluasi dengar pendapat (EDP) yang digelar oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Hasil EDP itu akan dirumuskan menjadi rekomendasi kelayakan. Rekomendasi inilah yang menjadi dasar pertimbangan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memutuskan apakah stasiun televisi tertentu layak diperpanjang izin siarnya atau tidak.

Sepanjang 2015, KPI telah melayangkan 266 sanksi kepada lembaga penyiaran. Semuanya berkaitan dengan isi program siaran, seperti kekerasan, pelanggaran terhadap perlindungan anak, pelanggaran kesopanan dan kesusilaan, serta pelanggaran jurnalistik. Ini ironis. Pasalnya, lembaga penyiaran seharusnya berfungsi sebagai media pendidikan, kontrol, dan perekat sosial, selain untuk informasi dan hiburan. Sepuluh stasiun TV dengan sanksi terbanyak berturut-turut adalah Trans TV, RCTI, ANTV, Global TV, Metro TV, Trans7, Indosiar, MNC TV, SCTV, dan TV One. Layakkah stasiun TV ini terus bersiaran?

Itu bergantung pada hasil EDP nanti. Sayangnya, KPI mirip macan ompong dalam EDP yang digelar pada Mei lalu. Langkah KPI menggelar rapat tertutup dengan stasiun-stasiun TV pada 2 Juni lalu justru membuat kredibilitasnya makin turun. Ada sejumlah masalah yang mengganduli KPI.

Pertama, KPI gagal memberi gambaran komprehensif tentang kinerja 10 stasiun TV tersebut dalam kurun satu dekade terakhir. Jangankan 10 tahun, rekapitulasi pelanggaran dan sanksi yang diterima seluruh stasiun TV sepanjang 2012–2015 saja tidak dipublikasi di situs KPI. Bagaimana KPI bisa mengevaluasi kinerja masing-masing stasiun TV tanpa basis data yang memadai?

Kedua, KPI tidak menyediakan kriteria yang jelas mengenai stasiun TV macam apa yang layak diperpanjang izin siarnya. Dalam rilis KPI hanya tertulis bahwa dalam proses EDP ini KPI akan memberi penilaian terhadap aspek program siaran yang direncanakan pengelola televisi dalam proposalnya. Tidak disebutkan aspek apa saja yang dinilai dan bagaimana penilaiannya. Akibatnya, pertanyaan yang diajukan KPI saat EDP cenderung tak terarah dan tidak tajam. Tak mengherankan, karena mereka tak tahu apa yang harus dikejar.

Televisi merupakan media dengan penetrasi tertinggi di Indonesia. Sebanyak 91,55 persen warga Indonesia berumur di atas 10 tahun menonton TV (BPS, 2012). Ironisnya, penonton cenderung dieksploitasi untuk kepentingan industri, alih-alih diperlakukan sebagai warga negara yang punya hak atas frekuensi. Persis di sinilah peran vital KPI. Sebagai lembaga negara independen yang diberi mandat dan wewenang mengawasi penyiaran, KPI selayaknya menjadi benteng kepentingan publik. Untuk itu, KPI harus berani bersikap transparan, apalagi KPI juga sudah meminta uji publik pada Januari lalu. Transparansi bisa dimulai dengan membuka rapor kinerja 10 stasiun TV swasta kepada publik.

Idealnya, laporan kinerja ini bukan cuma soal isi, tapi juga aspek di luarnya, seperti implementasi sistem siaran jaringan, serta kewajiban lembaga siar memuat minimal 60 persen produksi dalam negeri dan 10 persen program lokal. Riset Saiful Mujani Research and Consulting (2015) di tiga kota yang memiliki stasiun jaringan terbanyak, yakni Semarang, Bandung, dan Palembang, menunjukkan 92,3 persen stasiun TV memuat siaran lokal di bawah standar minimal. Mayoritas pihak yang memproduksi siaran lokal adalah pusat dan tidak ada program lokal saat prime time. Hal ini menunjukkan ketimpangan informasi bagi warga lain yang semestinya terlayani secara berimbang.

Aspek lain adalah soal kepemilikan. Konsentrasi kepemilikan media jelas dibatasi dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Tapi, pada prakteknya, perusahaan media melakukan akuisisi dan merger dengan memindahtangankan frekuensi-yang sejatinya adalah milik publik-layaknya entitas bisnis biasa. Akibatnya, satu pemilik bisa punya lebih dari satu stasiun TV dalam satu wilayah siaran. Hal ini rentan penyalahgunaan. Pengalaman Pemilihan Umum 2014 menunjukkan bahwa partai politik yang berafiliasi dengan televisi tertentu memasang iklan secara masif di kelompok media tertentu: Golkar di TV One dan ANTV, NasDem di Metro TV. Kini, iklan Partai Perindo tampil leluasa di MNC Grup (MNC TV, Global TV, dan RCTI). KPI bersama dengan Kominfo semestinya bersikap tegas menegakkan mandat UU Penyiaran.

Perpanjangan izin siar 10 stasiun TV swasta ini adalah momentum perbaikan tata kelola penyiaran Indonesia. Selayaknya KPI dan Kominfo bersikap transparan dengan membuka berbagai informasi mengenai prosedur perpanjangan izin siar, kinerja stasiun TV yang memohon perpanjangan izin siar, serta kriteria stasiun TV yang layak mendapat perpanjangan izin siar. Dengan begitu, publik bisa turut mengawal prosesnya. Inilah penghormatan bagi publik selaku pemangku kepentingan utama penyiaran: pemilik frekuensi.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB