x

Iklan

Sumarno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Meningkatkan Minat Baca Kaum Marginal

Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara, tak terkecuali orang-orang yang kurang beruntung, diantaranya melaui peningkatan minat baca mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat 1, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk mendukung hal itu, undang-undang mewajibkan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen, baik dari APBN maupun APBD.

Bagi anak-anak dari keluarga berada untuk memperoleh pendidikan bermutu bukan merupakan persoalan berarti. Mereka belajar di sekolah-sekolah terkemuka. Bukan hanya mengandalkan proses pendidikan di sekolah, di lingkungan keluarga mereka juga sangat mendukung. Misalkan, dalam hal penguasaan bahasa asing. Bahkan, guna megintensifkan belajar mengundang guru privat. 

Menjadi persoalan adalah bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Memang pemerintah telah merealisasikan pendidikan gratis dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sehingga sekolah, terutama sekolah negeri, tidak diperkenankan menarik iuran dari siswa. Selain dana BOS ada pula Bantuan Siswa Miskin (BSM). Namun, biaya sekolah bukan semata uang yang dibayarkan guna keperluan di sekolah. Diperlukan biaya pendukung, seperti transportasi, uang jajan, atau biaya studi tour.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi kalangan keluarga yang kondisi ekonominya serba kekurangan, jangankan menyekolahkan anak, bahkan anak-anak itu sendiri “diberdayakan”, bekerja membantu perekonomian keluarga. Di tengah giat-giatnya pemerintah menggalakkan wajib belajar, masih banyak anak yang belum bisa mengenyam pendidikan formal atau orang dewasa yang pada masa anak-anak tidak pernah mengenyam pendidikan karena persoalan ekonomi.

Merangkul warga terminal

Untuk menjawab persoalan tersebut, ada beberapa relawan yang menaruh perhatian kepada mereka yang kurang beruntung. Yaitu dengan melakukan jemput bola. Seperti Dr. Yusqon, M.Pd mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di terminal bus Kota Tegal dengan nama TBM Sakila Kerti.

Memang kedengarannya kurang lazim. Maklum, kalau kehidupan di terminal bus dikenal keras, mobilitas tinggi, orang hilir-mudik, datang dan pergi. Penggerak utama denyut nadi terminal adalah para awak bus dan para calon penumpang. Wajah keras terminal juga diwarnai riuh-rendah mereka yang menggantungkan hidup di sektor nonformal; pedagang asongan, kuli panggul, tukang parker, petugas kebersihan, pemulung, pengemis, bahkan preman. Mereka dikenal sebagai kaum pinggrian dan itulah yang disasar oleh TBM Sakila Kerti.

TBM Saklia Kerti berdiri pada bulan November 2011. Pada awal berdirinya TBM ini memiliki koleksi buku mencapai 900 eksemplar buku. Terdiri dari buku agama, majalah, komik, dan buku-buku sastra. Kini koleksi bukunya semakin banyak karena mendapat sumbangan buku dari berbagai pihak. TBM ini selalu ramai dikunjungi warga terminal. Menurut Eti, salah satu pengurus TBM Saklia Kerti, setiap harinya selalu ada yang dating ke TBM ini, minimal 15 lebih pengunjung yang datang untuk membaca atau pinjam buku untuk dibaca di rumah atau tempat kerja.

Untuk menarik warga terminal mau berkunjung ke TBM dan membaca, pihak pengelola melakukan berbagai cara. Diantaranya mengadakan penampilan seni dan budaya. Tidak hanya itu TBM Sakila Kerti juga mengadakan pelatihan wira usaha bagi para pedagang asongan.agartidak selamanya ngasong, tetapi usahanya berkembang lebih besar. Guna meningkatkan semangat jiwa nasionalisme, misalnya pada peringatan hari Sumpah Pemuda TBM Sakila Kerti mengadakan upacarayang pesertanya para pedagang asongan, dan warga terminal lainnya.

Memanfaatkan kolong layang

Selain TBM Sakila Kerti di Tegal, TBM bagi kaum marginal terdapat di Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Banten. TBM Baleraja memanfaatkan kolong jembatan layang. Beridiri pada  26 April 2015 hanya oleh camat setempat. Ide awalnya dari sekelompok anak muda yang tergabung dalam komunitas Tongkrongan Pencinta Alam (TOPIAL). Pemerintah setempat hanya memfasilitasi.

Sebagaimana kolong jembatan layang pada umumnya, tidak berdinding. suasananya sangat bising suara deru kendaraan dari samping kiri, kanan, maupun atas. Ketika musim kemarau tiba jalanan berdebu, ketika hujan dan angin kencang kena tampias. Tentu sangat riskan untuk menyimpan buku-buku dan keperluan lainnya. Jelas tidak kondusif sebagai tempat belajar atau membaca. Namun, bagi para pengelolanya kondisi demikian merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan penuh kreatif dan inovatif. Namun bagi para pengelolanya merupakan tantangan yang harus dicari solusinya.

Selain kegiatan utama membaca, TBM Baleraja mengadakan kegiatan yang bersifat praktis. Ada  latihan musik tradisi Sunda, lomba mewarnai gambar bagi anak-anak usia dini, lomba kasidah, kegiatan religi, dan bakti sosial seperti santunan bagi anak-anak yatim. Taman Baca Baleraja juga merupakan rumah singgah bagi anak-anak jalanan.

Itulah dua TBM yang beberapa kali pernah saya kunjungi sekadar nimbrung berdiskusi dengan pengelolanya dan kadang berpatisipasi menyumbangkan sedikit buku. TBM yang menjadikan orang-orang pinggiran sebagai sasarannya. Kaum marginal keberadaannya ibarat di bibir jurang yang nyaris jatuh. Mereka jangan sampai terabaikan, luput dari perhatian, terkait pendidikan pun tidak memiliki akses. Manakala kaum marginal telah terengkuh, berarti kelompok lain lebih dari mereka. Dan itu adalah tanggung jawab kita semua, seperti apa yang dilakukan Pak Yusqon dan kawan-kawan di Tegal dan sekelompok anak muda dalam TOPIAL di Balaraja, Tangerang.[*]

Ikuti tulisan menarik Sumarno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler