x

Petugas memeriksa instalasi transmisi listrik di Gardu Induk Tegangan Tinggi (GITET) PT PLN (Persero) di Bengkayang, Kalimantan Barat, 10 Mei 2016. GITET Bengkayang merupakan tempat transmisi listrik interkoneksi dari Serawak, Malaysia diterima dan d

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokratisasi Sektor Energi Kita ~ Jaya Wahono

Rasio kelistrikan rata-rata di pedesaan masih berada di kisaran 40 persen, tertinggal jauh dibanding rasio kelistrikan nasional yang sudah mencapai 82 per

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jaya Wahono

Wakil Ketua Komtap Energi Biomassa, Kadin Indonesia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berpuluh tahun lamanya Indonesia memiliki rezim pengelolaan energi yang tidak berpihak kepada pengembangan kapasitas dan kemampuan lokal, karena usaha eksploitasi energi diarahkan sebagai sekadar komoditas pasar. Hal ini menyebabkan kondisi krisis energi berkepanjangan di daerah-daerah yang tidak menjadi sentra ekonomi nasional. Akibatnya, puluhan ribu desa di Indonesia, terutama di luar Jawa, tertinggal dalam semua aspek pembangunan dibanding kota-kota besar dan sentra-sentra ekonomi lainnya.

Rasio kelistrikan rata-rata di pedesaan masih berada di kisaran 40 persen, tertinggal jauh dibanding rasio kelistrikan nasional yang sudah mencapai 82 persen (data ESDM, 2014). Kondisi ini tentunya akan berdampak negatif terhadap kondisi politik nasional, karena masyarakat yang termarginalkan ini sebenarnya menguasai lahan dan sumber daya alam yang sangat besar dan berpotensi mengangkat pertumbuhan ekonomi nasional di kala harga komoditas unggulan menurun drastis. Sebagai negara dengan jumlah populasi keempat terbesar dan negara demokratis terbesar ketiga di dunia, keadaan Indonesia ini akan berimplikasi sangat besar terhadap perkembangan geopolitis di belahan dunia selatan dan terutama di Asia Tenggara.

Itulah sebabnya, pembangunan sektor kelistrikan di desa-desa tertinggal dan penataan lahan/hutan di Indonesia juga menjadi perhatian negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pemerintah Amerika Serikat telah berkomitmen untuk mendanai proyek-proyek percontohan Energi Terbarukan Terdistribusi dan Manajemen Sumber Daya Alam sebesar US$ 300 juta yang dinamakan sebagai proyek-proyek Kemakmuran Hijau (Green Prosperity). Negara Eropa, seperti Norwegia, sudah terlebih dulu berkomitmen mendanai proyek-proyek pengurangan emisi karbon melalui penataan hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/REDD) sebesar US$ 1 miliar. Dana-dana ini akan bertambah terus nilainya apabila proyek-proyek percontohan yang sudah disiapkan berhasil meningkatkan rasio elektrifikasi masyarakat pedesaan, memperkuat daya dukung ekosistem di lingkungan hutan, dan meningkatkan indeks pertumbuhan manusia secara signifikan.

Bagaimana dengan komitmen pemerintah kita sendiri? Bank Dunia mengindikasikan bahwa tingkat konsumsi listrik yang ideal untuk memaksimalkan indeks pembangunan manusia adalah di kisaran 20 kWh per rumah tangga per hari. Saat ini Program Indonesia Terang, yang digagas oleh Kementerian ESDM, menyasar pada angka 0,6 kWh per rumah tangga per hari. Betapa besar jurang kesenjangan ini.

Ketika masalah pembangunan kelistrikan pedesaan dan penataan lahan/hutan di Indonesia menjadi perhatian dunia serta target pendanaan dari berbagai negara yang peduli akan perubahan iklim serta dampak negatifnya terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia, bangsa ini tentunya harus menyadari betapa besar tanggung jawabnya dalam menjaga kelestarian alam kita dengan kekayaan ragam hayatinya dan manfaat sumber daya alam Indonesia untuk menjaga keseimbangan geopolitik, ekonomi, dan ekologi dunia. Yang lebih esensial lagi tentunya bangsa Indonesia harus menyadari bahwa energi yang menjadi sumber penghidupan masyarakat banyak harus diusahakan aksesnya secara universal dengan harga yang terjangkau tanpa merusak lingkungan hidup. Prinsip demokrasi dalam menciptakan akses energi yang universal juga harus diterapkan dalam setiap tahap perencanaan dan pembangunannya apabila pemerintah ingin menyukseskan program kelistrikan di pedesaan.

Dalam pelaksanaan di lapangan, semua pihak harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam membangun proyek Energi Terbarukan Terdistribusi. Manajemen teknologi tepat guna dan akses pendanaan bisa menjadi tugas utama pihak swasta yang menjadi pengusul proyek tersebut. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah pendukung, seperti Rencana Umum Energi Daerah (RUED), yang menetapkan, antara lain, target pencapaian rasio elektrifikasi, konsumsi listrik per kapita, tingkat harga jual listrik, dan fasilitas umum di daerah yang belum terjangkau PLN.

Selain itu, perlu juga dikeluarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang menetapkan wilayah pelestarian dan wilayah yang dapat dijadikan hutan energi. RTRW dan RUED harus menjadi persyaratan utama sebelum dana-dana bantuan berbentuk hibah atau bunga lunak melalui bank-bank pembangunan multilateral dan daerah setempat dapat disalurkan kepada proyek-proyek Energi Terbarukan Terdistribusi ini.

Pekerjaan besar bangsa ini sudah berada di depan mata dan seluruh komponen bangsa dapat menjadi pelaku aktif dalam merealisasi proyek-proyek Energi Terbarukan Terdistribusi di seluruh wilayah Indonesia. Syarat utama tentunya adalah kepedulian dan komitmen dalam demokratisasi sektor energi kita demi menjamin akses yang universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila demokratisasi sektor energi ini gagal dilaksanakan dengan baik, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa kesatuan dan persatuan bangsa ini akan menjadi taruhannya.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 27 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler