x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengabaikan Kompetisi, Model Bisnis Berpotensi Gagal

Kegagalan sebuah model bisnis dapat terjadi bila model disusun tanpa memasukkan unsur kompetisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah keberhasilkan iPod/iTunes amat terkenal. Yang mungkin belum banyak diketahui ialah bahwa Apple bukanlah yang pertama mengusung digital music player ke pasar. Sebuah perusahaan bernama Diamond Multimedia memperkenalkan Rio pada 1998. Perusahaan lain, Best Data, memperkenalkan Cabo 64 pda 2000. Kedua produk itu dirancang portable serta stylish. Tapi mengapa iPod, dan bukan Rio atau Cabo, yang berhasil?

Dibandingkan dengan kedua pendahulunya, Apple melakukan sesuatu yang jauh lebih cerdas daripada sekedar mengemas teknologi yang bagus dalam desain yang menawan. Apple mengemasnya dalam model bisnis hebat yang memudahkan konsumen untuk mengunduh musik digital secara nyaman. Untuk melakukan terobosan itu, Apple membangun model bisnis yang memadukan perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan. Apple mengambil sedikit marjin dari pengunduhan lagu di iTunes, tapi memperoleh marjin tinggi dari penjualan iPod.

Ketika diperkenalkan ke pasar, banyak pemain dalam industri ini yang pontang-panting akibat kehadiran iPod/iTunes. Orang semakin jarang mendengarkan musik dari compact disc, toko-toko musik konvensional banyak yang gulung tikar. Para pemusik yang semula resah karena karyanya dijual murah di iTunes kemudian merasa senang lantaran karyanya dikenal oleh khalayak yang jauh lebih luas dan pendapatan mereka tidak menurun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena inilah yang menegaskan temuan The Economist Intelligence Unit dalam salah satu surveinya. Hasil survei ini menyebutkan, lebih dari 50 persen eksekutif mempercayai bahwa inovasi model bisnis akan menjadi lebih penting bagi keberhasilan perusahaan dibandingkan dengan inovasi produk atau jasa. Survei serupa oleh IBM pada 2008 menyatakan, hampir seluruh CEO setuju bahwa adaptasi model bisnis merupakan kebutuhan mendesak.

Dalam pandangan Ramon Casadesus-Masanell dan Joan E. Ricart, hasil tersebut tidak mengejutkan. Berbagai tekanan tertuju pada pasar. Pelambatan ekonomi, misalnya, memaksa perusahaan untuk memodifikasi model bisnis mereka atau menciptakan model bisnis baru. Di sisi lain, munculnya pesaing-pesaing berbasis teknologi baru dan berbiaya rendah telah mengancam posisi mereka yang bertahan, bahkan membentuk ulang industri, dan meredistribusikan keuntungan. Menemukan kembali model bisnis yang tepat menjadi mendesak. Dalam kasus mutakhir di sini ialah kehadiran jasa transportasi berbasis online. Taksi dan ojek online telah mengguncang posisi pemain-pemain yang sudah lebih dulu ada.

Mark W. Johnson, Clayton M. Christensen, dan Henning Kagermann, dalam tulisan mereka di Harvard Business Review (Desember 2008), menyebutkan bahwa model bisnis yang berhasil mengandung sejumlah komponen. Pertama, komponen customer value proposition. Model ini membantu pelanggan melakukan ‘pekerjaan’ tertentu yang tidak ditawarkan oleh model lain (memesan taksi dan ojek melalui aplikasi di telepon seluler). Kedua, profit formula. Model ini menghasilkan nilai bagi perusahaan Anda melalui faktor-faktor seperti revenue model, struktur biaya, marjin, dan inventory turnover. Ketiga, key resources and processes. Perusahaan Anda mempunyai sumber daya manusia, teknologi, produk, fasilitas, peralatan, dan merek yang diperlukan untuk menyampaikan value proposition kepada pelanggan yang Anda tuju.

Model bisnis yang dikembangkan Dell dalam industri personal computer (PC) dapat menjadi contoh. Sebelum Dell, konsumen membeli PC dengan konfigurasi standar dan harus melalui retailer. Dell menemukan bahwa kebutuhan konsumen akan konfigurasi komputer ternyata cukup beragam dan mereka ingin memperoleh dengan harga yang lebih murah. Dell membuat model bisnis, di mana konsumen dapat memesan PC sesuai konfigurasi yang mereka kehendaki, dan Dell akan merakitkan dan mengirimnya langsung kepada pemesan. Dengan memangkas rantai pasokan dan tidak menimbun barang di gudang, Dell menurunkan biaya-biaya. Dalam merancang model bisnisnya, Dell memikirkan keunggulan yang ia tawarkan dibandingkan dengan calon kompetitor yang sudah lebih dulu terjun di pasar.

Casadesus-Masanell dan Ricat mengingatkan, kebanyakan perusahaan tidak sepenuhnya memahami bagaimana berompetisi melalui model bisnis. Studi mereka memperlihatkan bahwa banyak persoalan yang muncul dikarenakan merea menciptakan dan mengevaluasi model bisnis secara terisolasi, tidak ubahnya insinyur menguji suatu teknologi atau produk di laboratorium. Padahal, keberhasilan atau kegagalan model bisnis sangat bergantung pada bagaimana model itu berinteraksi dengan model-model lain yang dijalankan pemain lain dalam industri itu. Artinya, karena perusahaan membuat model bisnis tanpa memikirkan kompetisi, seringkali model bisnis itu terseok-seok saat diterapkan di pasar.

Satu model bisnis mungkin terlihat superior dibandingkan yang lain ketika dianalisis secara terisolasi, tapi ketika interaksi diperhitungkan, nilai yang diciptakan oleh model bisnis itu berkurang. Dalam kenyataan, pemain yang semula dianggap pesaing ternyata menjadi mitra dalam menciptakan nilai. Menganalisis model bisnis secara terisolasi dengan melupakan unsur kompetisi akan menyebabkan penilaian yang keliru mengenai kekuatan dan kelemahan model itu, sehingga melahirkan keputusan yang salah. Inilah alasan utama mengapa begitu banyak model bisnis baru yang gagal. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler