x

Foto udara puluhan bus Angkutan Lebaran menunggu calon pemudik di Terminal Pulo Gadung, Jakarta, 30 Juni 2016. Diprediksi puncak lonjakan penumpang terjadi pada H-3 Lebaran atau 3 Juli 2016. TEMPO/Subekti.

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencemaskan Angkutan Mudik Lebaran

Ada pengusaha angkutan umum yang mengoperasikan bus abal-abal untuk mengangkut pemudik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulus Abadi 

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Mudik Lebaran 2016 tampaknya akan berjalan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Setidaknya ada dua indikator kenapa mudik Lebaran 2016 akan berjalan lebih baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, peneguhan aksi zero accident oleh Kementerian Perhubungan. Peneguhan aksi semacam ini sangat mendesak, mengingat transportasi mudik Lebaran selalu dihantui oleh tingginya kecelakaan lalu lintas dengan korban fatal dan massal. Ingat, mudik Lebaran 2015 korban meninggal dunia masih nggegirisi, yakni 646 orang dari 5.544 kecelakaan lalu lintas secara total. Itu data resmi Korlantas Mabes Polri, belum lagi korban yang tidak terdata.

Kedua, Kementerian Perhubungan lebih getol melakukan cek jalan terhadap semua moda angkutan umum, termasuk bus. Ini untuk memastikan tingkat kelayakan kendaraan yang akan digunakan. Tapi, tragisnya, kasus di Tulung Agung, Jawa Timur, dari 1.200 bus yang dicek, hanya 16 persen yang dinyatakan layak. Kementerian menandaskan, jika tetap tidak layak sampai 24 Juni dengan alasan apa pun, bus-bus itu tidak boleh beroperasi.

Bisa dipastikan fenomena serupa juga akan terjadi di area lainnya, terutama DKI Jakarta, yang akan menjadi target utama mudik Lebaran. Ada pengusaha angkutan umum yang mengoperasikan bus abal-abal untuk mengangkut pemudik.

Kementerian jangan hanya berfokus pada aspek kelaikan armada, tetapi juga pengemudinya. Sebab, sumber utama terjadinya kecelakaan adalah faktor manusia. Perilaku pengemudi harus menjadi sorotan utama. Sudah bagus ada tes urine pengemudi untuk mendeteksi ada-tidaknya kontaminasi alkohol dan narkoba. Tetapi, bagaimana dengan jam kerja pengemudi? Ini aspek yang acap terlupakan. Pengemudi terus menggenjot pedal gas tanpa jeda istirahat yang cukup. Padahal, energi pengemudi saat arus mudik terkuras habis karena faktor kemacetan dan semangat kejar setoran. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memang telah mengatur soal jam kerja pengemudi bus, tapi siapakah yang mengawasi jam istirahat sopir?

Dengan demikian, dari sisi keselamatan, mudik Lebaran sejatinya masih sangat mencemaskan. Menteri Perhubungan Jonan boleh menepuk dada bahwa zero accident angkutan umum itu menjadi target. Tapi, di sisi lain, masih terdapat 646 nyawa melayang karena kecelakaan lalu lintas. Penyebabnya apa lagi kalau bukan pengguna sepeda motor? Klaim zero accident akan lebih bermakna jika menyasar pengguna sepeda motor, yang sejak 15 tahun terakhir justru menjadi moda transportasi alternatif pemudik. Jika mengacu pada fenomena ini, tampaknya tingginya angka kecelakaan selama mudik Lebaran 2016 masih menghantui. Pemerintah belum mampu menyediakan sarana transportasi publik yang andal untuk memfasilitasi pemudik. Akses dan kapasitas angkutan kereta api, yang selama 10 tahun ini menjadi primadona, juga belum mampu menyediakan tempat duduk untuk tingginya permintaan selama mudik Lebaran.

Mudik gratis menjadi fenomena lain yang tak bisa dianggap sepele, baik sisi kapasitas angkut maupun kualitas pelayanan. Makin banyak sektor yang mengadakan aksi mudik gratis, terutama perusahaan swasta, BUMN, dan bahkan pemerintah.

Namun, fenomena mudik juga harus dicermati dari beberapa sisi. Pertama, apakah penumpang mudik gratis diasuransikan? Janganlah karena gratis lalu tidak ada jaminan asuransi sebagaimana angkutan umum reguler. Selain mengasuransikan, penyelenggara mudik gratis harus bertanggung jawab dalam memberikan kompensasi atau ganti rugi jika di perjalanan terjadi fatalitas. Pemberian asuransi bagi pemudik gratis oleh PT Jasa Rahardja patut dicontoh.

Kedua, seyogianya penyelenggara mudik gratis jangan hanya memperhatikan saat mudiknya, tetapi juga saat arus balik. Faktanya, banyak pemudik gratis saat arus balik telantar di terminal-terminal bus karena tidak mendapatkan akses angkutan umum.

Ketiga, mudik gratis seharusnya difokuskan untuk pemudik sepeda motor. Ini dengan tujuan agar mudik gratis bisa menekan penggunaan sepeda motor. Saat ini mudik gratis khusus pengguna sepeda motor hanya dilakukan oleh Kementerian Perhubungan: sebanyak 15 ribu pemudik. Itu sangat tidak cukup untuk menekan lonjakan jumlah pemudik bersepeda motor.

Keempat, penyelenggara mudik gratis jangan hanya menggunakan bus pariwisata, tetapi juga bus umum reguler. Sebab, pelaksanaan mudik gratis justru menggerus pengguna angkutan bus umum reguler. Banyak bus umum yang gigit jari kekurangan penumpang karena tersedot mudik gratis.

Dari sisi manajemen transportasi, upaya pemerintah untuk meningkatkan pelayanan bagi pemudik dan atau kepentingan jangka panjang sudah mulai tampak. Infrastruktur transportasi bermunculan, dari jalan tol, pelabuhan, revitalisasi bandar udara perintis, atau bahkan revitalisasi bandar udara sekelas Terminal 3 Soekarno-Hatta. Tetapi sayangnya, dari sisi ketersediaan moda transportasi, khususnya darat, masih kedodoran. Terbukti, kelaikan bus umum masih mencemaskan. Dominannya pemudik bersepeda motor mengerikan, dengan ending 71 persen menjadi korban kecelakaan lalu lintas.

Target zero accident yang dicanangkan Menteri Jonan seharusnya menjadi "jiwa" selama proses transportasi mudik Lebaran dan reguler. Jangan sebaliknya, target itu hanya akan menjadi pepesan kosong di tengah masih rendahnya kultur keselamatan bertransportasi di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler