x

Berkereta Salju di Kutub Utara

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perlukah Indonesia Melirik Arktik? ~ Muhamad Ardhi

Es di Arktik dipastikan akan benar-benar bebas pada 2020, yang membawa implikasi signifikan terhadap perdagangan, keamanan energi, dan geopolitik dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada akhir Mei lalu, Presiden Joko Widodo meninggalkan Sochi, Rusia. Meski kapasitasnya bukan menghadiri undangan kenegaraan, di sela KTT ASEAN, ternyata Indonesia telah mampu menandatangani beberapa nota kesepahaman dengan Rusia, yakni kerja sama pemberantasan penangkapan ikan, pertahanan, budaya, dan pengarsipan. Pada saat yang sama, dalam pernyataan pers bersama, Presiden Jokowi juga menjelaskan keinginan kedua negara untuk mendorong investasi, baik di sektor maritim, infrastruktur, migas, maupun kelistrikan. Namun sangat disayangkan jika ternyata potensi dari Arktik tidak sampai ke Jakarta dan tidak dibawa dalam pertemuan tersebut.

Mengapa Arktik? Hari ini dunia bersifat sangat dinamis. Jika tidak siap, tentunya akan tertinggal. Sementara sebagian negara masih berpikir soal peningkatan investasi, negara-negara maju sedang berpikir bagaimana membuat perdagangan seefektif mungkin. Es di Arktik dipastikan akan benar-benar bebas pada 2020, yang membawa implikasi signifikan terhadap perdagangan global, keamanan energi, dan geopolitik dunia.

Mencairnya es di Arktik tak hanya membuka permintaan minyak lepas pantai yang besar-Arktik menyimpan 13 persen cadangan minyak dan 30 persen cadangan gas alam dunia-pemanasan iklim Arktik pun bisa mengurangi jarak pengiriman antara Asia, Amerika Utara, dan Eropa hingga lebih dari ribuan mil. Di antara tiga jalur yang akan dibuka sesegera mungkin tersebut, NSR (Rute Laut Utara) merupakan jalur yang sangat potensial bagi Indonesia. Jalur yang menerobos es dari Norwegia hingga Euroasia menuju Asia ini mampu memangkas waktu tempuh 9-13 hari serta menghemat 40 persen ongkos transportasi dari Asia ke Eropa dan sebaliknya (merujuk kepada jalur konvensional saat ini dengan Terusan Suez). Sejak 2013, NSR sudah bisa digunakan pada musim panas. Setiap tahun, jumlah kapal yang melintasi jalur tersebut meningkat pesat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kawasan Arktik sangatlah menjanjikan pada masa depan dan perannya diatur oleh Dewan Arktik. Forum antar-pemerintah ini didirikan melalui Deklarasi Ottawa 1996 dan bertujuan mempromosikan kerja sama, koordinasi, serta interaksi antar-negara Arktik, yakni Rusia, Amerika Serikat (Alaska), Kanada, Norwegia, Denmark (Greenland), Swedia, Finlandia, dan Islandia. Saat ini, Dewan Arktik berperan sebagai sentral studi perkembangan perubahan iklim dunia, meregulasi minyak dan gas serta jasa pengiriman Arktik.

Saat ini, negara-negara dunia sedang giat-giatnya mencoba menancapkan pengaruhnya di Dewan Arktik. Negara-negara Asia, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, India, serta Singapura telah menjadi Pengamat Permanen sejak 2013. Kehadiran negara-negara itu di Dewan Arktik bukan hanya ingin memastikan bahwa kepentingan mereka tersalurkan dan terlindungi di sana. Mereka juga bersedia memasok segala infrastruktur Arktik, khususnya infrastruktur NSR.

Tercatat, misalnya, Korea Selatan telah menandatangani nota kesepahaman dengan Rusia dalam mengembangkan lima pelabuhan NSR Rusia pada 2014 dan membangun lima kapal penghancur es nuklir untuk Sovcomflot Rusia. Bahkan, tetangga Indonesia, Singapura, saat ini membangun tujuh kapal penghancur es kelas satu untuk Lukoil Rusia. Ini semua menandakan babak baru jalur perdagangan dunia sudah di depan mata.

"Ketika es di Arktik mencair, aturan baru terhadap pengiriman (jalur laut) dan penangkapan ikan diperlukan. Kami memastikan harus hadir ketika aturan baru tersebut dirumuskan," kata delegasi Korea Selatan dalam Arctic Circle Assembly di Reykjavik, Islandia, pada Oktober 2015.

Kawasan Arktik dipastikan akan menjadi "Timur Tengah baru". Karena itu, negara-negara seperti Turki, Brasil, Yunani, Mongolia, dan Swiss antre untuk mendapatkan keanggotaan, yang akan diundi pada 2017 di Fairbanks, Amerika Serikat. Kabar terbaru, dengan sponsor dari Rusia, Vietnam digadang-gadang akan mendapatkan status tersebut, mengingat PetroVietnam sudah melakukan eksplorasi intensif bersama Zarubezhneft Rusia di Laut Barent sejak awal 2015.

Sebagai negara yang sedang menggenjot investasi dan potensi maritim, di mana posisi Indonesia? Indonesia sebenarnya mampu menancapkan pengaruhnya di Arktik. Sejak 2014, Indonesia telah diundang secara langsung oleh Presiden Islandia Olafur Ragnar Grimsson untuk mengirim delegasinya ke acara tahunan Arctic Circle di Islandia. Saat India, Brasil, Turki, Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura mengirim delegasi nomor satunya, Jakarta tidak pernah menggubris undangan ini. Pertemuan antara Presiden Jokowi dan Presiden Puttin bulan lalu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk penyertaan peran Indonesia di Arktik, tapi tampaknya terlewatkan.

Sebagai negara maritim besar, sudah saatnya Jakarta mengirim delegasinya ke Markas Besar Dewan Arktik di Tromso, Norwegia, serta menjalin hubungan dengan negara-negara Arktik. Abad baru energi dan jalur perdagangan sudah di depan mata. Jika Indonesia tidak bersiap, lagi-lagi Indonesia akan kalah dan akhirnya hanya mengekor negara-negara Asia lainnya.

Muhamad Ardhi, Master Geopolitik Arktik di Northern Arctic Federal University, Rusia

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 1 Juli 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler