x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mursi, Erdogan, PKS dan DI/TII

Ihwanul Muslimin, teokrasi atau fasisme sesungguhnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rakyat Mesir Menggulingkan Mursi dan Ihwanul Muslimin

Mohammad Mursi Isa El-Ayyat  adalah presiden pertama Mesir yang berasal dari kalangan sipil. Mursi menggantikan Husni Mubarak Presiden Mesir ke-4 yang mengundurkan diri pada 11 Februari 2011. Meskipun terpilih secara demokratis, Mursi begitu cepat kehilangan dukungan dari dalam negeri. Rabu 3 Juli 2013, Mursi resmi digulingkan oleh militer Mesir.

Masa satu tahun kepemimpinan Mursi diwarnai ketegangan antara Ikhwanul Muslimin dan rakyat Mesir. Ada sejumlah alasan mengapa kepemimpinan Mursi dinilai gagal dan dianggap oleh rakyat Mesir telah memecah-belah negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketidaksukaan rakyat Mesir pada kelompok Ikhwanul Muslimin, partai asal Mursi, menguat dengan kebijakan-kebijakan Mursi membagi-bagi kursi kekuasaan hanya kepada orang-orang yang berlatar belakang Ikhwanul Muslimin.

Selama setahun di masa kepemerintahannya, kondisi ekonomi Mesir memburuk. Investasi asing merosot tajam, sementara sektor pariwisata yang merupakan tulang punggung ekonomi Mesir semakin hancur. Harga bahan makanan, bahan bakar dan komoditas lain terus semakin tinggi dan langka. Bahkan, listrik seringkali padam karena ketiadaan bahan bakar.

Dan setahun di bawah kepemimpinan Mursi diwarnai dengan banyaknya aksi pelanggaran HAM, demokrasi dan toleransi beragama. Misalnya, ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said, Januari 2013 dimana 30 orang meninggal, Mursi dinilai tidak berusaha menindak pelakunya.

Parlemen Mesir sendiri, yang didominasi Ikhwanul Muslimin, berusaha menerbitkan undang-undang baru guna membatasi masyarakat sipil. Sebuah Rancangan UU tentang keberadaan NGO diterbitkan. UU yang nantinya memberi kekuatan bagi Mursi dan Ihwanul Muslimin mengontrol organisasi masyarakat sipil.

Semua faktor itu membuat kemuakan pada rakyat Mesir. Gelombang anti Mursi dan Ihwanul Muslimin pun menguat. Sebuah gerakan populer yang menamakan dirinya ‘Tamarod’ muncul dan menggulirkan petisi menggulingkan Mursi.

Keinginan rakyat lah yang melandasi Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fatah al-Sisi didampingi oleh ulama Al-Azhar, pemimpin oposisi Muhammad elBaradei, pemimpin Partai Islam Nour dan tokoh gerakan Tamarod sendiri yang mengorganisir unjukrasa di Lapangan Tahrir ketika mengumumkan pengambilalihan kekuasaan.

Turki di Bawah Erdogan: Fasisme Berkedok Agama?

Di antara negara-negara Islam, hanya Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan yang mengecam keras kudeta militer di Mesir itu. Erdogan dengan blak-blakan mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin dan menuduh rejim Mesir melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sikap itu memperburuk hubungan antara Mesir dan Turki. Pemerintahan transisi di Mesir menuduh partai Ihwanul Muslimin pimpinan Erdogan, AKP (Adelet ve Kalkinma Partisi), telah mencampuri urusan dalam negeri Mesir.

Hubungan diplomatik antara Turki dan Mesir pun memburuk setelah Turki menarik duta besarnya. Tak hanya menuduh pemerintah transisi Mesir telah melakukan kejaatan kemanusiaan, Erdogan juga menuduh negara-negara Islam dan barat tidak berusaha mencegah kudeta militer di Mesir itu. Hubungan Turki dengan masyarakat internasional juga akhirnya memburuk akibat dukungan membabi-buta Erdogan terhadap Ikhwanul Muslimin ini. Kritik terhadap PM Erdogan bermunculan. Turki pun dikucilkan dari pergaulan internasional.

Erdogan memang punya hubungan erat dengan Mursi. Selama dua tahun terakhir sebelum Mursi digulingkan, Erdogan dan partainya AKP menjalin hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, dengan ambisinya memperbesar pengaruh di Mesir. Namun setelah Mursi digulingkan, kandaslah ambisinya itu, bahkan Turki semakin terisolasi.

Politik luar negeri Turki memang menyimpang jauh dari mitra-mitra Turki yang lain di Timur Tengah. Bahkan di kalangan negara-negara Islam, tidak ada yang mengambil posisi demikian ekstrim terhadap Mesir. Seharusnya Turki kembali menjalankan politik yang berkonsentrasi pada dialog dan kerjasama. Tapi pemerintah Turki kelihatannya tidak mau mengubah haluan politiknya. Hal ini akan semakin memperuncing sengketa diplomatik antara Turki dengan negara-negara Teluk.

Turki adalah negara Republik Konstitusional yang demokratis dengan luas negara 783.572 km. Jumlah penduduk Turki adalah 76.865.524 jiwa dan mayoritas beragama Islam (Sunni) dengan presentase 99,8% . Pada tahun 1923, Mustafa Kemal Atarturk terpilih menjadi Presiden Republik Turki pertama.

Setelah Atarturk menjadi presiden, terjadi pembaharuan di Turki. Konstitusi mengumumkan bahwa Republik Turki sekarang adalah negara sekuler. Berubahnya Turki menjadi negara sekuler ditandai dengan perubahan kebijakan ekonomi, politik, dan sosial membuat gerakan islamis dengan gaya baru lahir di Turki.

Militer dan kelompok sekuler tidak menginginkann Turki kembali ke masa lalu seperti masa kekhalifahan Ustmani. Upaya mengembalikan Turki Ustmani digaungkan kembali oleh tokoh muda yang dipimpin Erdogan dan Abdullah Gul dengan mendirikan AKP. Puncaknya pada tahun 2002, AKP berhasil memenangkan pemilu pertama dengan 34% suara. Sedangkan partai sekuler CHP, suaranya jauh di bawah AKP dan menduduki posisi kedua.

Dengan kemenangannya itu, AKP langsung berbenah dengan melemahkan kekuatan militer yang menjadi sosok yang sangat menakutkan dalam sejarah Turki modern. Kejadian kudeta berkali-kali yang dialami negeri Atarturk, menjadi pelajaran bagi AKP selaku partai penguasa untuk mempertahankan pemerintahannya.

Kantor Staf Jendral misalnya, harus berada di bawah Kementerian Pertahanan. Pasal 35 UU Keamanan Dalam Negeri, Angkatan Bersenjata Turki yang menjadi jalan intervensi militer harus dihapuskan. Garda nasional harus direstrukturisasi. Transisi menuju angkatan bersenjata yang professional. Kurikulum Keamanan Nasional pada sekolah tingkat atas dihapuskan. Secara politik, langkah bersih-bersih Erdogan tak pelak menandai supremasi pemerintahannya atas militer.

Pada Juni 2013, selama berhari-hari puluhan ribu rakyat Turki berunjukrasa besar-besaran anti pemerintahan PM Recep Tayyip Erdogan. Unjuk rasa bermula dari aksi demonstran menentang pembangunan pusat perbelanjaan di lokasi taman bernama Gezi Park. Gezi Park adalah sebuah ruang terbuka hijau yang sangat jarang dijumpai di kota sibuk macam Istanbul.

Sementara di Ankara, para demonstran berusaha berjalan ke arah parlemen. Polisi berusaha membubarkan massa dengan mememabakan gas air mata, yang kemudian dibalas dengan lemparan batu oleh para demonstran. Selain itu, polisi juga menembakkan meriam air dan gas air mata di Taksim Square ketika demonstran berteriak "bersatu melawan fasisme" dan "pemerintah mundur." Bentrokan juga serupa juga dikabarkan terjadi di distrik Besiktas.

Polisi menjatuhkan gas air mata dari helikopter sepanjang malam. Para demonstran menggelar apa yang mereka sebut sebagai aksi solidaritas, dengan banyak partisipan yang berteriak: "Dimana-mana ada penolakan, dimana-mana adalah Taksim!"

Pemerintahan Erdogan dituduh para pemrotes telah mengambil kebijakan yang mengarahkan Turki menjadi negara otoritarian. Penanganan demonstrasi damai dengan kekerasan menjadi pemicu atas kecurigaan publik Turki terhadap terberangusnya demokrasi. Komentar-komentar Erdogan yang menuduh para demonstran adalah para ekstrimis yang bergandengan tangan dengan teroris menunjukkan sikap Erdogan yang anti demokrasi.

Di tambah lagi kebijakan Erdogan yang memenjarakan para jurnalis yang kritis terhadap pemerintahannya, menambah keyakinan publik bahwa Erdogan adalah sosok yang otoriter. Turki adalah negara paling banyak memenjarakan jurnalis di seluruh dunia. Erdogan telah memanfaatkan demokrasi untuk memberangus demokrasi demi langgengnya kekuasaan.

Kudeta Turki dan Reaksi Masyarakat Indonesia?

Gagalnya kudeta yang dilakukan oleh faksi militer adalah karena tidak solidnya kelompok militer, bukan karena Erdogan didukung rakyat. Kudeta yang dilakukan Jumat (15/7) tidak direstui petinggi militer Turki. Bahkan kelompok militer langsung mengambil tindakan. Mereka menyerbu stasiun TV yang sempat dikuasai faksi militer pelaku kudeta. Angkatan Laut dan beberapa Angkatan Darat Militer Turki tidak mendukung aksi kudeta tersebut.

Fenomena pecahnya faksi militer ini menandakan bahwa militer Turki sudah memahami betul bahwa tempat mereka di barak, bukan di parlemen ataupun istana negara. Rakyat dan militer telah sepakat “negara ini telah menderita banyak dari kudeta. Kami tidak ingin kesulitan-kesulitan ini diulang”. Sikap politik dari pihak oposisi pun sama bahwa jika kudeta terjadi, maka partai politik di Turki akan mengalami kerugian cukup besar.

Masyarakat di Tanah Air terpecah menyikapi tentang kabar adanya kudeta militer di Turki pada Jumat (15/7). Kudeta yang gagal mendongkel Recep Tayyip Erdogan dari kursi presiden Turki tersebut menjadi pembicaraan hangat masyarakat, khususnya para netizen. Mayoritas percaya dengan rencana penggulingan yang dilakukan sekelompok militer itu. Hal itu didukung dengan kompaknya semua media ternama dari berbagai belahan dunia yang memberitakan tentang kudeta, yang menelan korban ratusan orang tersebut.

Namun, tak sedikit ada yang menyebut gerakan kudeta itu sebagai konspirasi. Kudeta itu sesungguhnya merupakan skenario yang dibuat Erdogan sendiri untuk menaikkan citranya di mata rakyat Turki. Alhasil, bagi pemercaya teori konspirasi, kudeta militer itu dibuat-buat pihak Erdogan hingga akhirnya dapat ditangani dalam waktu singkat.

Turki yang secara geografis sangat jauh dari Indonesia, secara mendadak menjadi bahan pembicaraan utama masyarakat. Pembicaraan itu malah sampai mengerucut menjadi dua kubu, yang sangat keras pertentangannya.

Harus diakui, kesamaan agama antara Turki dan Indonesia, yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam, membuat hubungan kedua negara seolah dekat di hati. Apalagi, Erdogan pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun lalu. Penduduk Indonesia yang Muslim memiliki ikatan batin dengan Turki. Sehingga, saat terjadi percobaan kudeta militer di negara itu, publik Indonesia menjadikan berita itu sebagai konsumsi utama, menggeser isu lain yang tak kalah penting di dalam negeri.

Bahkan, tidak sedikit di antara kedua kubu mengaitkan berita Erdogan dengan Jokowi. Fenomena ini rupanya disebabkan sikap pendukung kubu capres lalu masih belum berubah hingga sekarang. Masyarakat belum bisa bersatu dan mencair seperti keadaan sebelum Pilpres 2014.

Akun @Ongen_Paonganan, pada Sabtu (16/7), melakukan polling di Twitter dengan tingkat kebenaran yang sulit dipertanggungjawabkan. Pertanyaan pollingnya "Jika seandainya militer RI lakukan kudeta...kira2 rakyat akan..?" Menurutnya, dari hasil sementara polling mayoritas netizen (92%) menyatakan akan "Mendukung Militer". (http://www.nusanews.com/2016/07/waduh-polling-twitter-mayoritas-netizen.html)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, mengkritik Presiden Jokowi di medianya http://www.portalpiyungan.com/2016/07/jokowi-tidak-mengecam-kudeta-di-turki.html : “di negeri muslim terbesar di dunia, sampai berita ini diposting belum ditemukan adanya kecaman atau penolakan terhadap kudeta militer di Turki yang disampaikan Presiden Jokowi.”

Perlu diketahui, PKS, seperti yang dikatakan salah satu pendirinya, Yusuf Supendi, cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera, yakni Partai Kradilan (PK) saat berdirinya dibantu oleh banyak tokoh Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Timur Tengah. (https://m.tempo.co/read/news/2013/02/10/078460337/pendiri-akui-pks-memang-ikhwanul-muslimin)

Tokoh-tokoh di awal pendirian PKS merupakan aktivis Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Gerakan ini sendiri awalnya digagas sejumlah mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Madinah, Arab Saudi, termasuk Yusuf sendiri dan KH Hilmi Aminuddin. KH Hilmi adalah anak dari Panglima Militer Darul Islam, Danu Muhammad Hasan.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler