x

Iklan

Imam Anshori Saleh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bahaya Koruptor yang Berlindung pada Praperadilan

Mengapa MK mendukung keputusan Hakim Sarpin yang kontroversial?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berlindung pada Praperadilan

Sejak putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan status tersangka Komjen Budi Gunawan, praperadilan menjadi "bola liar" yang merepotkan. Berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan soal sah-tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. Penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan.

Dalam putusannya pada 16 Februari 2015 itu, hakim Sarpin mengabulkan gugatan Budi Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak lama kemudian, MK membuat putusan yang memperluas obyek praperadilan dengan juga memasukkan soal sah-tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Awalnya banyak pakar dan praktisi hukum yang tidak sependapat terhadap perluasan itu. Ada yang mencurigai putusan MK tersebut merupakan bagian dari skenario untuk "menjernihkan" putusan hakim Sarpin. Tapi the show must go on. Putusan MK adalah terakhir dan mengikat. Masyarakat, suka atau tidak, mesti menerima pergeseran obyek praperadilan ini. MA juga menyambut baik putusan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Putusan MK ini berimplikasi luas dalam penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi. Ada sejumlah tersangka yang kemudian memanfaatkan putusan MK tersebut dengan mengajukan permohonan praperadilan. Tujuannya agar terbebas dari status tersangka tindak pidana korupsi. Mereka antara lain Hadi Purnomo, bekas Dirjen Pajak; Dahlan Iskan, mantan Menteri Negara BUMN; Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama; Jero Wacik, bekas Menteri ESDM; dan terakhir La Nyalla Mattalitti.

Memang, tidak semua permohonan praperadilan dikabulkan hakim. Permohonan Suryadharma dan Jero Wacik, misalnya, tidak dikabulkan. Penetapan tersangkanya dianggap sah dan proses peradilannya berlanjut sampai putusan pemidanaan. Tapi, untuk Budi Gunawan, Hadi Purnomo, dan Dahlan Iskan, setelah permohonan praperadilan mereka dikabulkan, tidak ada lagi surat perintah penyidikan baru. Dugaan korupsi mereka seolah sudah terhenti di praperadilan. Mereka memanfaatkan celah hukum yang dibukakan oleh hakim Sarpin dan MK.

Yang terakhir, yang menjadi perhatian publik, adalah proses praperadilan La Nyalla pada April dan Mei lalu. Tiga kali ditetapkan tersangka oleh kejaksaan, tiga kali pula La Nyalla mengajukan permohonan praperadilan. Ketiganya dikabulkan hakim PN Surabaya. Terlepas dari jaminan kebebasan hakim dalam memutus, kasus pengabulan praperadilan tiga kali berturut-turut di satu pengadilan terhadap pemohon yang sama mengesankan praperadilan menjadi lembaga tempat "pencucian perkara". Terlebih, yang "dicucikan" adalah perkara korupsi yang kita sepakati sebagai kejahatan luar biasa.

Bagaimanapun, upaya meloloskan diri dari proses hukum melalui mekanisme praperadilan perlu diwaspadai karena berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi. Apalagi prosesnya sering menyimpang dan cenderung masuk pada pemeriksaan pokok perkara dan melihat bukti-bukti yang seharusnya menjadi kewenangan dari pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam salah satu praperadilan La Nyalla, misalnya. Hakim tidak saja menyatakan penyidikan terhadap La Nyalla tidak sah, tapi juga upaya pencegahannya ke luar negeri yang diberlakukan kantor Imigrasi dan pemblokiran rekening bank miliknya dinyatakan tidak sah.

Untuk menghindari praperadilan menjadi tempat berlindung para tersangka koruptor, mekanisme itu perlu dikembalikan ke gagasan awal. Praperadilan yang diatur dalam KUHAP merupakan upaya untuk memperbaiki hukum acara pidana peninggalan Belanda, yaitu Herziene Inlands Reglement (HIR). Permohonan praperadilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan.

Pembentukan lembaga praperadilan berasal dari adanya hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon (common law system) yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia (HAM), khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk, melalui suatu surat perintah pengadilan, menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi atau jaksa) membuktikan bahwa penahanan itu tidak melanggar hukum. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku ataupun HAM.

Pelaksanaan praperadilan di Indonesia tidak seragam. Masing-masing hakim berbeda dalam menentukan cakupan materi yang dapat diajukan tersangka. Tersangka yang melarikan diri, seperti La Nyalla, ternyata bisa diajukan praperadilan oleh keluarganya dan dikabulkan. Berapa kali praperadilan bisa diajukan oleh tersangka yang sama dan dalam perkara yang sama juga belum diatur. MA perlu membuat regulasi untuk menyeragamkan hukum acara praperadilan agar praperadilan tidak terkesan simpang siur dan "suka-suka" hakimnya. Perlu juga ada batasan untuk praperadilan yang diajukan tersangka tindak pidana korupsi, misalnya praperadilan mereka hanya boleh maksimal dua kali. Hakim yang ditunjuk harus memiliki sertifikat sebagai hakim tindak pidana korupsi untuk menghindarkan lembaga praperadilan menjadi tempat berlindung mereka yang diduga menjadi pelaku tindak pidana korupsi.

Imam Anshori Saleh, mantan Wakil Ketua Komisi Yudisial

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Kamis, 21 Juli 2016

Foto: Mahkamah Agung. TEMPO/Subekti

Ikuti tulisan menarik Imam Anshori Saleh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler