x

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kontrovesi Rencana Penghapusan Gedung Film ~ Kemala Atmojo

Kekisruhan terjadi karena banyak orang tidak tahu riwayat persis gedung ini, termasuk sebagian orang di Kementerian Pariwisata atau Kementerian Pendidikan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gedung Film, Pada Mulanya

Dunia perfilman kini ramai oleh perbincangan soal nasib Gedung Film di Jalan M.T. Haryono Kavling 47-48, Jakarta Selatan. Pertama, mengenai status gedung tersebut. Kedua, soal isu bahwa Kementerian Pariwisata hendak mengusir Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI) dari sana. Intinya, Kementerian diduga hendak menguasai sepenuhnya gedung itu dan bahkan hendak mengganti namanya. Padahal, sepengetahuan banyak orang, gedung tersebut "milik" orang film. Lalu bertaburanlah fitnah, kecaman, bahkan ajakan yang bersifat destruktif. Kekisruhan ini, antara lain, terjadi karena banyak orang tidak tahu riwayat persis gedung ini, termasuk sebagian orang di Kementerian Pariwisata ataupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Untuk memperjelas duduk masalah yang ada, sekiranya perlu dipahami dulu beberapa lembaga perfilman pada era Orde Baru, seperti Badan Sensor Film (BSF), Dewan Film Nasional, dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), yang sekarang bermimesis menjadi BPI. BSF diresmikan melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 25 Tahun 1971, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 58 Tahun 1973. Tak perlu diterangkan lagi bahwa lembaga ini merupakan bentukan pemerintah, yang salah satu tugasnya adalah menggunting film yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip dan pedoman sensor film.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ihwal Dewan Film Nasional memang sedikit "rumit" karena mengalami beberapa kali perubahan. Mulanya, Menteri Penerangan B.M. Diah mendirikan Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) dan menerbitkan keputusan pada 1967, yang mewajibkan para importir film untuk menyetorkan "saham" sebesar Rp 250 ribu untuk setiap judul film yang diimpor. Dana ini dikelola oleh Yayasan Dana Film milik Departemen Penerangan. Dengan dana ini pula DPFN dapat membuat beberapa film, seperti Apa Yang kau Cari Palupi karya Asrul Sani.

Ketika Menteri Penerangan dijabat oleh Boediardjo, DPFN dibubarkan dengan alasan kegiatan administrasinya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian, dibentuklah Dewan Film Nasional (DFN). Dewan ini mendampingi Menteri Penerangan dalam menentukan kebijakan pembinaan perfilman. Iuran dana sertifikasi dari importir tetap diteruskan. Pada masa jabatan Menteri Penerangan Mashuri Saleh, selain DFN, dibentuk Lembaga Pengembangan Film Nasional (Lepfinas), yang bertugas khusus sebagai think thank untuk menunjang kebijakan pengembangan perfilman. Pada masa ini, iuran dana sertifikasi impor sempat dihentikan dan diganti dengan aturan wajib produksi: setiap perusahaan yang mengimpor lima judul film wajib memproduksi satu film nasional, yang kemudian diubah menjadi satu film nasional untuk tiga film impor.

Pada masa jabatan Menteri Penerangan Ali Murtopo, Lepfinas dibubarkan dan dibentuklah Dewan Film Nasional (DFN) "gaya baru". Ketentuan wajib produksi dihentikan, tapi iuran dana sertifikasi produksi dihidupkan kembali. Pengelolaan dana sertifikasi produksi ini dilimpahkan kepada DFN, yang kemudian berubah menjadi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

Sebagian dana dari sertifikasi produksi itulah yang dihibahkan oleh BP2N untuk menyumbang dalam pembangunan Gedung Film di M.T. Haryono. Dana lainnya berasal dari tukar guling tanah dan gedung Badan Sensor Film di Jalan H. Agus Salim senilai sekitar Rp 3,9 miliar serta tanah dan gedung DFN di Jalan Menteng Raya dengan nilai sekitar Rp 1,6 miliar pada 1993. BP2N menyumbang Rp 4,8 miliar dari biaya total pembangunan gedung yang mencapai Rp 10,5 miliar.

Mengapa BP2N ikut menyumbang? Karena dana dari hasil tukar guling hanya bisa untuk membangun empat lantai. Padahal, pemerintah DKI Jakarta mensyaratkan pembangunan di Jalan M.T. Haryono minimal delapan lantai. Maka empat lantai berikutnya itulah yang diselesaikan melalui hibah dari BP2N. Pembangunan gedung di atas tanah Departemen Penerangan itu dimulai pada pertengahan 1994 oleh PT Pilar Sapta Sena, dan PT Yodya Karya berperan sebagai perencana. Gedung itu selesai dibangun pada pertengahan 1977.

Pada 1999, Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Pengelolaan gedung yang semula bernama Gedung BSF dan DFN itu sementara pindah ke Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang kemudian diserahkan kepada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang akhirnya berubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lalu, ketika Presiden Joko Widodo memisahkan urusan ekonomi kreatif dari pariwisata, gedung itu tidak diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan tetap dalam "penguasaan" Kementerian Pariwisata hingga kini. Akibatnya, jiwanya (LSF dan BPI) ikut kementerian yang baru, tapi raganya malah seperti "numpang" di gedung yang dikelola Kementerian Pariwisata hingga kini.

Mengingat riwayat di atas, sudah selayaknya pemanfaatan gedung tersebut lebih diutamakan untuk kepentingan perfilman, bukan yang lain. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pengampu perfilman saat ini, semestinya juga harus sadar akan masalah itu.

Kemala Atmojo, Ketua Badan Perfilman Indonesia

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Jumat, 22 Juli 2016

*) Foto: Ilustrasi Gedung Film (Imam Yuni/Tempo)

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler