x

Iklan

Swasti Mukti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Suntik

Untuk bisa sembuh dari penyakit yang tergolong sepele seperti demam, seseorang harus melalui metode penyembuhan yang bagi beberapa orang sangat mengerikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Pakdhemu itu belum sembuh-sembuh, nanti kita paksa ke dokter saja biar disuntik. Kemarin puskesmas ndak mau nyuntik, cuma ngasih pil macem tiga!”

 

Budhe terus menyerocos soal penyakit demam suaminya yang sudah dua minggu tak kunjung membaik, dan budhe yakin penyakit yang betah numpang di tubuh pakdhe itu adalah karena pakdhe takut disuntik. Luar biasa lagi, tangan budhe tak berhenti meracik rujak uleg selama proses menyalahkan puskesmas soal obat yang diberikan.

 

“Kalau cuma dikasih pil, ya bisa beli sendiri di warung Mak Ni. Ke puskesmas ya maksudnya biar disuntik. Kalo pil itu pakdhemu nggak mempan, tapi ngeyel. Wong badannya segede gerobak gitu kok,” lanjut budhe sambil tetap melayani pembeli yang siang itu cukup ramai memadati warungnya.

 

Sudah hampir setahun Pakdhe pensiun dari pekerjaannya di kantor walikota. Sejak saat itu budhe membuka warung rujak dari dana pensiun yang mereka terima. Sementara itu, Pakdhe menghabiskan hari-harinya beternak burung Kenari. Bersenang-senang katanya, menikmati hari tua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sudah kucoba menjelaskan bahwa tidak semua penyakit itu berobatnya dengan cara suntik, tapi ternyata semakin membuat budhe berapi-api.

 

“Jaman dulu, waktu Budhe masih perawan ting-ting, pernah sakit parah. Nggak doyan makan, badan panas, berhari-hari rasanya sendi mau lepas,” omelnya sambil mengupas ketimun.

 

Lima belas menit kemudian aku menabahkan diri mendengar kisah-kisah masa lalu budhe yang membuatku bisa membayangkan tubuh mungilnya dipenuhi oleh bekas-bekas suntikan. Demam disuntik. Pilek disuntik. Jatuh dari motor disuntik.

 

Menjelang maghrib warung ditutup, dan kami berdua masuk ke rumah yang ada di belakang warung. Kampus sedang libur, makanya ibu meyuruhku pergi ke rumah budhe.

 

“Bantu jualan, biar tau cari duit. Sekalian bawa mobil, nanti sore pakdhemu minta diantar ke mantri,” kata ibu pagi tadi.

 

Selepas maghrib aku mengantar pakdhe dan budhe ke rumah Pak Mantri dengan mobil. Bukan dokter, tapi beliau bisa dibilang lebih tenar di kampung ini daripada dokter ganteng yang tiap hari muncul di televisi dengan berbagai tips kesehatan itu.

 

Dokter yang ganteng itu pernah bilang padaku (dari balik layar kaca, tentunya) bahwa demam bisa jadi hanyalah gejala dari penyakit lain yang lebih serius. Bisa jadi, maka belum pasti. Sebetulnya bisa saja mobil ini tadi kubelokkan di perempatan terakhir. Nanti parkirnya di rumah sakit, bukan di gang depan rumah Pak Mantri yang sakti dan terkenal hingga seluruh penjuru provinsi.

 

Tapi malam itu gang Pak Mantri sepi, tidak ada antrian mengular yang memotivasi tetangganya untuk membuka warung kopi.

 

PAK MANTRI KE LUAR KOTA MENGHADIRI PERNIKAHAN KEPONAKANNYA. BUKA LAGI MINGGU DEPAN.

 

“Walaaah, ya sudah kalo gitu kita pulang saja,” kata pakdhe sambil menggosok-gosok sepotong koyo yang menempel di pelipisnya. Sekilas ada nada lega dalam suaranya.

 

Aku geli melihat pria bongsor ini takut setengah mati pada jarum suntik. Ironis sekali, untuk bisa sembuh dari penyakit yang tergolong sepele seperti demam, seseorang harus melalui metode penyembuhan yang bagi beberapa orang sangat mengerikan.

 

“Ya sudah, ke rumah sakit saja. Kan ada poliklinik,” saranku. Pesimis.

 

Akhirnya sepasang suami istri itu minta diantar pulang. Pil sudah habis, badan masih meriang, plus tetap tidak dapat suntik.

 

Di tengah perjalanan pulang, pakdhe meminta untuk lewat rute yang sedikit memutar. Sepuluh menit berkendara, pakdhe memintaku menepi di sebuah toko yang menjual pakan burung. Oh, rupanya sakit tidak membuat pakdheku lupa dengan kenari-kenarinya. Tak tanggung-tanggung, lima kilo biji-bijian pakan kenari dibelinya.

 

“Bapak ini lho, kok malah mborong pakan kenari!” protes budhe kesal. Uang yang rencananya untuk membayar biaya dokter kini ludes.

 

Pakdhe, yang bahkan ketika sehat pun termasuk pendiam, hanya melirik santai ke arah istri yang sudah dinikahinya selama tiga puluh tahun lebih itu. Kode yang membuat suasana perjalanan pulang semakin mencekam.

 

Kentongan di pos kamling dipukul sembilan kali tak berapa lama setelah kami sampai di rumah. Malam itu kuputuskan menginap saja, karena toh mungkin besok mereka berdua kembali minta diantar kemana-mana. Sepertinya kondisi pakdhe sudah membaik, terbukti malam itu beliau menyibukkan diri membenahi beberapa kurungan kenari miliknya yang rusak. Sementara itu istrinya langsung melenggang ke tempat tidur.

 

Adzan subuh belum lagi berkumandang ketika aku dikejutkan hingga terbangun oleh teriakan histeris budhe.

 

“Bapaaaaak, ya Allah paaaak …” ratap budheku sambil mengguncang-guncang tubuh pakdhe yang tergeletak di tengah kurungan kenari yang berserakan. Tubuh tambunnya sudah dingin dan kaku, tapi di wajahnya tersirat senyuman tipis. Tangannya setengah mengepal, digenggamannya terdapat biji-bijian pakan kenari yang sebagian berserakan.

 

Kurungan yang terserak disana, semua pintunya terbuka. Penghuninya entah kemana.

 

*) juga diposting di: http://aaasti.blogspot.co.id/2016/07/suntik.html

Ikuti tulisan menarik Swasti Mukti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler