x

Anggaran Perbaikan Pasar Dipangkas

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anggaran 'Ngendon' Vs Kriminalisasi Kebijakan Diskresi

Tidak dibenarkan kepada aparat penegak hukum memperkarakan kebijakan yang bersifat diskresi tersebut secara pidana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti mengulang lagu lama, penyerapan anggaran tahun 2016 di semester pertama kembali tak sesuai target. Kementrian Keuangan menyebutkan hingga bulan Juni 2016, masih terdapat anggaran ‘ngendon’ (mengendap) di perbankan sebesar Rp 246 triliun. Dana-dana tersebut semestinya sudah dapat dimanfaatkan untuk berbagai agenda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, tetapi justru dibiarkan mengendap ( Media Indonesia , 20/7/2016) 

Salah satu alasannya adalah lantaran ketakutan dan ribetnya proses pencairan anggaran. Hal ini seperti yang disebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan peserta rapat koordinasi antara Presiden dan jajaran Kapolda dan Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia, beberapa waktu lalu (19/7). 

Pertama, alasan klasik adalah ketakutan sejumlah pejabat di berbagai level birokrasi terkait banyaknya pejabat pengguna anggaran baik APBN atau APBD yang akhirnya harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena banyaknya kebijakan diskresi yang dilakukannya. Kebijakan diskresi adalah kebijakan ‘khusus’ yang akhirnya harus diambil oleh para pejabat guna menyelesaikan berbagai kemelut operasionalisasi penggunaan anggaran. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di satu sisi, para penegak hukum bekerja berdasarkan fakta hukum dan kurang memperhatikan bagaimana para pejabat tersebut ‘terpaksa’ harus mengeluarkan kebijakan yang bersifat ‘diskresi’ tersebut. Pada sisi lainnya, diskresi sebenarnya menjadi kewenangan mutlak para pejabat terkait, dan karenanya, seperti berulang kali ditegaskan Presiden Jokowi, kebijakan diskresi tidak bisa dikriminalisasi. Tidak dibenarkan kepada aparat penegak hukum memperkarakan kebijakan yang bersifat diskresi tersebut secara pidana. 

Namun demikian, jika ditemukan bukti hukum yang meyakinkan, maka sebagaimana amanat presiden Jokowi, aparat penegak hukum harus tegak lurus menegakkan aturan. 

Kedua, kerumitan pencairan dan pemanfaatan alokasi anggaran. Harus diakui bahwa banyaknya dana ‘ngendon’ yang semestinya harus sudah bisa dimanfaatkan untuk kepentingan public faktanya belum banyak yang ditindaklanjuti dalam kerangka percepatan, kemudahan dan penyederhanaan mekanisme dan prosedur. Bahkan belakangan, terjadi kontra diksi kebijakan dalam hal debirokratisasi pemanfaatan anggaran public itu sendiri. Di satu sisi, pemerintah melalui warning Presiden Jokowi untuk bergegas melakukan realisasi kegiatan di setiap satuan kerja sesuai dengan target, tak didukung dengan kebijakan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah, misalnya. Kini dengan Perpres No. 4/2015 yang merupakan revisi ke-4 dari Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, diketahui proses dan mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah justru kian rumit. 

Kerumitan itu memang bukan dengan alasan memperpanjang proses pengadaan barang dan jasa dimaksud, tetapi semata-mata demi mencegah berbagai tindakan tak berdasar hukum dan pelanggaran aturan dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tak jarang banyak dilatarbelakangi oleh spirit kebijakan yang bersifat ‘diskresi’. Pada pendulum inilah, persoalan percepatan realisasi belanja APBN dan APBD diyakini akan terus ‘blunder’, jika disaat yang sama, regulasi terkait hal ini tidak mampu melakukan interkoneksi lintas kebijakan. Dengan kata lain, pengendapan anggaran akan terus menjadi ‘kendala’ sekaligus ‘ancaman’ baru bagi kinerja realisasi anggaran di banyak satuan kerja di masa datang. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana mencegah pengendapan anggaran dapat dilakukan dengan integrasi kebijakan yang bersifat diskresi tersebut agar di satu sisi realisasi anggaran dapat sesuai target, tetapi di sisi lainnya, kebijakan yang bersifat diskresi bisa dikurangi. 

Ketentuan Diskresi 

Kekhawatiran Presiden Jokowi bahwa aparat penegak hukum di negeri ini terlalu ‘bersemangat’ sehingga belum bisa membedakan latarbelakang dikeluarkannya kebijakan yang bersifat diskresi dan mengapa para pejabat banyak mengeluarkan kebijakan diskresi. 

Pakar administrasi public, David Osborne, dalam Reinventing Governance (1998) menyebutkan bahwa kebijakan ‘diskresi’ dapat dilakukan dengan beberapa ketentuan yang bersifat legal. Pertama , belum adanya regulasi untuk mengatur tata cara dan proses sebuah program dan kegiatan birokrasi terkini. Diakui dalam proses transasi tata kelola pemerintahan, pembangunan dan layanan public, khususnya Negara-negara miskin-berkembang, banyak agenda pemerintah yang belum mampu menghasilkan regulasi yang update, mampu melandasi kegiatan birokrasi lebih dini. Akibatnya, banyak kegiatan birokrasi yang berjalan tanpa landasan regulasi yang kuat, sehingga diperlukan kebijakan ‘khusus’ (diskresi) untuk merespon dinamika kekinian tata kelola pemerintahan. 

Kedua , kemendesakan tindakan regulator. Dengan kata lain, tanpa kebijakan diskresi, agenda regulator macet bahkan tak mampu berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks inilah, kebijakan diskresi justru menjadi solusi atas berbagai kemelut tata kelola pemerintahan, termasuk kemelut tata kelola pemanfaatan dan pengalokasian anggaran publik. 

Dalam konteks di Indonesia kekinian, dimana banyak anggaran yang sudah direncanakan tetapi akhirnya ‘ngendon’ di perbankan tak dipergunakan sepenuhnya, memang diperlukan kebijakan diskresi yang lebih agresif sehingga realisasi belanja dan anggaran dapat berjalan lebih agresif guna merespon berbagai persoalan Negara dan pemerintah. Dengan kata lain, seruan presiden Jokowi di depan aparat penegak hukum agar penegak hukum tidak terlalu ‘genit’ dengan kebijakan yang bersifat diskresi, patut dikembangpraksiskan hingga ke level operasional, sebagai landasan filosofis bagi para pejabat pengguna anggaran (baik bersumber APBN atau APBD) agar tidak takut apalagi sengaja ‘mengendonkan’ anggaran di perbankan dengan alasan tak berani bertindak karena belum ada aturan dan regulasi yang terintegrasi. 

Atas dasar persoalan tersebut, pemerintah melalui kebijakan presiden Jokowi, ke depan, nampaknya harus menegaskan kembali penyederhanaan regulasi penyerapan anggaran sekaligus mendorong aparat penegak hukum untuk bekerja lebih cermat sehingga tidak mudah melakukan kriminalisasi kebijakan diskresi di masa datang. Bahkan seperti disebutkan pakar anggaran public dari Fitra, Ucok Skykhadafi (2016), pengembangan ketentuan kebijakan diskresi harus dijamin secara hukum oleh para penegak hukum dengan cara ‘kolaborasi’ desain kebijakan diskresi antara para pejabat pengguna anggaran dengan pihak penegak hukum secara simultan. Artinya, ketimbang aparat penegak hukum repot-repot ‘curiga’ dan menebar sanski hukum (aspek eksekusi penegakkan hukum), lebih baik jika sejak dini aparat penegak hukum dilibatkan dalam desain anggaran sejak dini bersama pengguna anggaran sehingga sejak dini dapat dicegah (aspek pencegahan) berbagai peluang dan kemungkinan buruk pelanggaran atau penyelewengan aturan/regulasi terkait realisasi anggaran dimaksud. Langkah ini juga sudah banyak dilakukan di berbagai Negara maju, seperti Jepang, sehingga tak hanya mampu mencegah berbagai potensi pelanggaran hukum di mata para pejabat itu sendiri, tetapi juga memperingan kerja-kerja penegak hukum secara keseluruhan. 

Di sisi lain, para pejabat selaku kuasa pengguna anggaran juga tidak mudah ‘berlindung’ dibalik hak ‘prerogatif’ mengeluarkan kebijakan ‘diskresi’ hanya dengan alasan kedaruratan atau belum adanya regulasi untuk melandasi berbagai agenda pemerintahannya. Karena itu, pada titik inilah, pemerintah melalui kebijakan presiden juga perlu segera menegaskan kembali ketentuan-ketentuan sebuah kebijakan ‘diskresi’ layak dan patut diperjuangkan khususnya sebagai landasan hukum percepatan anggaran, dan tidak menjadikan ‘kebijakan diskresi’ sebagai bamper untuk mengelak dari berbagai tuduhan dan tuntutan hukum. 

Oleh karena itu, agar tradisi anggaran ‘ngendon’ tak menjadi kebiasaan baru pemerintah di masa datang sekaligus mencegah kriminalisasi kebijakan diskresi secara simultan, kini saatnya presiden/pemerintah bahu-membahu mengembangterapkan prinsip kolaborasi lintas pemangku kekuasaan yakni kolaborasi desain anggaran antara eksekutif dan yudikatif. Jadikan kalangan penegak hukum (yudikatif) sebagai partner desain dan evaluasi anggaran public, dan bukan menjadikan penegak hukum sebagai ‘pemadam kebakaran’ ketika banyak pejabat ‘terbakar’ karena kebijakan diskresinya. Disinilah perlunya komitmen dan perjanjian bersama lintas kepentingan dibangun dengan komandan tunggal presiden selaku kepala pemerintahan agar anggaran Negara yang sudah disusun dengan susah payah penuh pengorbanan berbagai pihak hanya menghasilkan kesia-siaan, lantaran banyaknya anggaran yang ‘ngendon’ tak dimanfaatkan secara maksimal. Di sisi lain, banyak urusan rakyat yang tak mampu didanai dengan biaya Negara dengan alasan klasik tak ada anggaran Negara, tetapi di sisi yang lainnya, ternyata ratusan triliun dana mengendap tak bermakna dibiarkan merana! Saatnya tradisi buruk itu diakhiri segera, pak Presiden!***

Tasroh, S.S.,MP,.MSc

PNS/Tim Desain APBD Pemkab Banyumas

Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB