x

Iklan

Sumarno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kerupuk Kaleng

Kerupuk kaleng jenis kudapan dan komoditas ekonomi rakyat, Bisa dimaknai sebagai simbol atas kondisi mental bangsa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sumber foto : https://twitter.com/tifsembiring/status/487869344378929152

Kerupuk kaleng, bukan berarti kerupuk terbuat dari kaleng seperti kerupuk kulit adalah kerupuk berbahan kulit (kerbau). Kerupuk kaleng dimaksud di sini kerupuk yang wadahnya menggunakan kaleng. Biasanya ada di warung-warung kecil di kampung-kampung atau warung di pinggir jalan. Kalengnya berbentuk kubus dengan satu sisinya ada kacanya sehingga kerupuk bisa terlihat dari luar kaleng.

Menariknya kerupuk kaleng ada di mana-mana. Dari ujung barat sampai ujung timur pulau Jawa kerupuk kaleng bisa dengan mudah ditemui. Bahkan di luar pulau Jawa pun ada. Boleh dibilang kerupuk kaleng ini Indonesia banget. Padahal kerupuk kaleng bukan produk perusahaan nasonal apalagi multinasional. Bukan pula monopoli segilintir perusahaan seperti industri otomotif dan operator jaringan ponsel.  Kerupuk kaleng juga bukan komditas perusahaan waralaba, seperti makanan di retoran cepat saji yag menjamur di sudut-sudut berbagai kota. Bukan pula industri massal seperti industri sepak bola atau industri hiburan terutama band. Produsen kerupuk kaleng hanyalah usaha mikro.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Band, misalnya, disebut industri massal karena mewabah dimana-mana. Anak-anak ABG di kampong-kampung bisa bikin band. Empat anak dengan alat yang dibeli menggunakan uang dapat minta ke orang tua lalu genjren-genjreng, dan menamakan dirinya grup band ini, grup band itu. Diantara ribuan grup band ada yang sukses dan banyak pula yang hanya sekadar nama. Coba  berapa perputaran roda ekonomi mulai dari alat-alat musik sampai pertunjukkan. Celakanya, band menggeser seni tradisional seperti gamelan dari kalangan generasi muda.

Kembali ke kerupuk kaleng, jenis makanan khas Indonesia banget karena cita rasanya sesuai lidah masyarakat Indonesia. Gurih, asin, dan renyah, jika dimakan berbunyi kriak-kriak, maka indentik dengan makanan masyarakat kelas bawah. Di kalangan bangsawan atau kerabat keraton yang berbudaya serba halus termasuk ketika makan pantang berisik, maka kerupuk rasanya bukan level makanan bangsawan keraton.

Namun, perusahaan kerupuk kaleng bukan semata-mata provit oriented. Apalagi perusahaan milik anak pejabat dengan “saham siluman” yang didapat lantaran bapaknya sebagai penguasa negeri. Peruahaan kerupuk jelas mempekerjakan masyarakat kecil yang tak harus berijazah sarjana. Kerupuk kaleng tergolong barang sensitif, dari sisi distribusi cukup ribet dan penanganannya super sulit. Kerupuk kaleng tak boleh kena angin apalagi air. Bobotnya ringan tapi volumenya besar semenatara nilainya relatif rendah. Maka, tak mungkin kerupuk kaleng yang ada di warung-warung di Banyuwangi, di ujung timur pulau Jawa disuplay dari perusahaaan kerupuk di Jakarta.

Nah, kerupuk memiliki nilai-nilai lokal yang mengandung makna filosofis. Kerupuk sering diijadikan perumpamaan bangsa yang melempem, tanpa memiliki kreativitas, tanpa memiliki keberanian ibarat kerupuk kena air. Bangsa yang lemah, bahkan terpuruk karena karupsi yan mewabah di berbagai level ibarat kerupuk kaleng yang terkena angin, munkin kalengnya bocor sehing terjadi masuk angin.

Suatu kisah sedih tentang seorang pedagang kerupuk kaleng di tahun 1970-an. Ia mengantarkan kerupuk ke warung-warung dari satu kampung ke kampung yang lain menggunakan jembung (kaleng besar) yang dipikul, menyusuri jalan yang rusak kadang becek berlumpur. Ketika hujan harus berteduh di emperan rumah penduduk. Kadang pemilik warung yang suplay tak langsung membayar, tapi dengan cara tempo, membatar setelah kerupuk di kaleng di warung habis. Kadang ketika ia datang ke warung, kerupuk masih banyak dan sudah melempem. Maka, bukannya uang yang didapat melainkan harus menukar dengan kerupuk yang masih renyah.

Lebih sialnya, suatu ketika si tukang kerupuk itu kena musibah karena ulah tangan-tangan jail. Setelah menempuh perjalanan jauh, kerupuk dalam jembung masih penuh. Saat tengah hari bolong, kondisi terik, terasa haus dan lapar pedagang kerupuk mampir di sebuah warung pinggir jalan. Dengan sedikit uang yang didapat ia pun makan, karena seperti biasa sebelum berangkat tak sarapan. Apa yang terjadi? Setelah keluar warung mau melanjutkan perjalanan menjajakan kerupuk, ternyata dua jembung kerupuk dalam keadaan melempem karena ada yang memasukan batu es ke kedua jembung kerupuk itu.  

Mengingat kerupuk kaleng identik masyarakat kelas bawah, sementara piramida komposisi penduduk negeri ini masyarakat kelas bawah sangat besar, maka pangsa pasar kerupuk kaleng cukup tinggi. Sehingga usaha mikro kerupuk kaleng tumbuh di setiap daerah. Meminjam istileh militer, industri kerupuk kaleng tumbuh secara gerilya. Tapi gerilyanya berbeda dengan perusahaan media cetak yang menerbitkan Koran diberbagai daerah.

Jadi, kerupuk kaleng adalah fenomena ekonomi rakyat sekaligus budaya yang perlu mendapat perhatian. Kaleng khas wadah kerupuk lengkap dengan kaca diharap tak diganti dengan box atau container yang terbuat dari plastik. Lebih penting kerupuk kaleng adalah pengingat, apakah bangsa ini akan terus mudah masuk angin, saling jegal dan menjdi bangsa yang melempem?!.[*]

 

Ikuti tulisan menarik Sumarno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB