x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yahoo! dan Keengganan Akan Destruksi Kreatif

Ketika lingkungan berubah cepat, eksekutif Yahoo! masih berpegang kepada keyakinan dan asumsi lama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bintang Yahoo! sebenarnya sudah cukup lama redup dan tanda-tandanya telah terlihat sejak Jerry Yang turun dari posisi CEO. Carol Bartz, yang sukses di Autodesk—perusahaan produsen berbagai perangkat lunak komputer, tak mampu memperbaiki kondisi Yahoo!.

Sejak itu, hingga Yahoo! dibeli oleh Verizon, operator telekomunikasi AS, sudah beberapa orang silih berganti menduduki posisi puncak Yahoo! Marissa Mayer adalah CEO terakhir menjelang pembelian itu. Mantan eksekutif Google itu tidak mampu memenuhi harapan para pemilik saham Yahoo!

Sejak Google berdiri (1998), empat tahun setelah Yahoo! didirikan oleh Jerry Yang, kompetisi keduanya berlangsung ketat hingga kemudian Google melejit meninggalkan Yahoo! yang terseok-seok. Meskipun Yahoo! telah lebih dulu memiliki mesin pencari, tapi perusahaan ini lebih fokus kepada konten dan menempatkan diri sebagai perusahaan media. Google justru memperkuat kemampuan mesinnya yang dibekali algoritma yang njelimet sehingga mampu bekerja otomatis serta membiarkan orang lain sibuk menciptakan konten.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa tahun kemudian, dua strategi itu membuahkan hasil yang sangat berbeda. Sayangnya, pemilik dan para eksekutif Yahoo! terlambat menyadari perubahan situasi dan kecondongan arah industri, teknologi, maupun keinginan konsumen. Mereka tidak melakukan perubahan mendasar pada arah yang ditempuh Yahoo! Mereka tidak melakukan destruksi kreatif.

Destruksi kreatif dimulai dengan, pertama-tama, mempertanyakan asumsi-asumsi pokok yang dijadikan landasan dalam menjalankan perusahaan. Bahkan juga mempertanyakan kembali praktik bisnis, termasuk di dalamnya pilihan model bisnis, yang dijalankan selama ini. Lingkungan sudah banyak berubah, bahkan sangat cepat, sehingga adaptasi semata barangkali tidak memadai. Perlu perubahan yang lebih mendasar.

Dalam sejarah perusahaan, banyak raksasa yang tumbang karena masih percaya diri dengan keyakinan lama mereka. Setelah sanggup bertahan 150 tahun, Lehman Brothers akhirnya bangkrut pada 2008. Kebangkrutan perusahaan sebenarnya peristiwa yang lazim, tapi kemerosotan Lehman Brothers berlangsung cepat sehingga mengagetkan khalayak.

Dalam bukunya, Black Swan, Nassim Taleb membeberkan hasil risetnya bahwa dari 500 perusahaan AS terbesar pada 1957, hanya 74 perusahaan saja yang masih termuat dalam daftar Standard & Poor’s 500 empat puluh tahun kemudian. Hanya sedikit yang hilang karena merger, namun lebih banyak yang menyusut atau bangkrut.

Ada data lain. Pada 1917, menjelang berakhirnya Perang Dunia I, Bertie Charles Forbes untuk pertama kali membuat daftar 100 perusahaan Amerika terbesar. Peringkat disusun berdasarkan aset, sebab di masa itu data penjualan belum akurat. Di tahun 1987, Forbes menampilkan kembali daftar pertama itu dan 61 perusahaan di antaranya sudah mati. Dari 39 perusahaan yang masih hidup, hanya 18 yang masih bertahan dalam daftar Forbes 100 tahun 1987, di antaranya General Electric, Ford, Procter & Gambler, dan General Motors.

Perusahaan yang mampu bertahan di Forbes 100 itu adalah perusahaan yang belajar mengembangkan seni bertahan hidup (the art of survival). Mereka tahan banting tatkala mesti melewati masa-masa sukar, seperti Depresi Besar, Perang Dunia, Perang Korea, pergolakan sosial 1960an, inflasi dan kelangkaan minyak pada 1970an, serta perubahan teknologi yang belum pernah terjadi dalam industri kimia, farmasi, radio, televisi, telekomunikasi, komputer, piranti lunak, dan transportasi.

Kendati begitu, perusahaan-perusahaan itu tidak selalu dalam posisi ‘aman.’ Mereka bertahan, tapi pangsa pasar mereka menyusut. General Motors goyang ketika badai datang. Tanpa suntikan pemerintah AS, perusahaan ini mungkin ambruk juga. Studi yang dilakukan di McKinsey menunjukkan, tidak ada ‘perusahaan emas’ yang bekerja lebih baik daripada pasar. Kemampuan bertahan terhadap terpaan badai tidak menjamin suatu perusahaan sanggup hidup untuk waktu yang lama. Dalam jangka panjang, pasar senantiasa menang.

Soalnya ialah pasar bekerja dengan berubah-ubah secara cepat, seringkali muncul sesuatu yang diskrit seperti letupan sesaat, sementara perusahaan beroperasi berdasarkan filosofi manajemen yang berbasis kontinyuitas.

Perusahaan yang sanggup beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar akan mampu bertahan, sebaliknya yang bersikukuh atau tak mampu menyesuaikan diri akan tergusur, termasuk disodok oleh pendatang baru yang lebih inovatif. Proses inilah yang mengingatkan kita pada istilah yang dipopulerkan Joseph Schumpeter (Capitalism, Socialism and Democracy, 1942, 1975) sebagai destruktsi kreatif (creative destruction)— istilah yang sebelumnya digunakan Mikhail Bakunin dan Friedrich Nietzsche (‘dari destruksi lahirlah spirit baru kreativitas’).

Tantangan terbesar yang dihadapi para pemimpin bisnis (atau organisasi apapun) saat ini ialah apakah mereka memiliki waktu dan energi yang cukup untuk mengelola proses destruksi kreatif, khususnya dengan kecepatan dan skala yang dibutuhkan agar sanggup mengikuti perubahan pasar. Terdapat perbedaan esensial antara perusahaan dan pasar dalam mendorong, mengelola, dan mengendalikan proses destruksi kreatif dikarenakan asumsi yang berlainan.

Inovasi, yang disebut Schumpeter sebagai kunci destruksi kreatif, memang menjadi sumber market power. Namun ini bersifat sementara; inovasi yang melahirkan kekuatan kompetitif bagi suatu perusahaan akan mendorongnya tumbuh menjadi monopolistik hingga masuk pendatang baru yang lebih inovatif dan menggusur perusahaan dominan. Cukup lama piringan hitam menikmati masa jayanya hingga pita kaset menggesernya, lalu datang compact disc, dan kemudian MP3 player; makin ke belakang, kecepatannya makin tinggi dan skalanya kian besar.

Mengapa hal itu dapat terjadi? Richard Foster dan Sarah Kaplan memetik kesimpulan dari riset mereka bahwa perusahaan yang sangat bagus dan paling luas diakui sekalipun tidak akan mampu mempertahankan tingkat performansi yang tinggi lebih dari 10-15 tahun. Ini karena korporasi dibangun di atas asumsi kontinyuitas, fokus mereka pada operasi; sedangkan pasar (kapital) dibangun di atas asumsi diskontinyuitas (Peter Drucker, The Age of Discontinuity), fokus mereka pada kreasi dan destruksi.

Dengan melakukan aksi akuisisi, apakah Verizon akan mampu menyelamatkan Yahoo! tanpa merombak asumsi-asumsi arah pengembangannya? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB