x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Budaya Lokal Flores Timur dan Pengaruh Gereja Katholik

Aspek-aspek budaya lokal Flores Timur dan perubahannya akibat datangnya Agama Katholik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Raran Tonu Wujo

Penulis: Karl-Heinz Kohl

Tahun Terbit: 2009

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Ledalero                                                                                        

Tebal: xii + 500

ISBN: 979-978-9447-71-5

 

Sebelum membahas adat budaya Orang Flores Timur, Kohl mula-mula menerangkan sejarah Kerajaan Larantuka dari era Mojopahit, Portugis, Belanda sampai dengan era Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan mitos Lia Nurat, masyarakat Larantuka adalah hasil perkawinan antara orang gunung (Demon) dengan orang pantai (Paji) (hal. 41). Dalam mitos yang sama tetapi dalam versi yang lebih baru, juga dikisahkan masuknya orang-orang Portugis.

Pada tahun 1357, Kerajaan Larantuka menjadi bagian dari Mojopahit (hal 55). Kisah hubungan Larantuka dengan Mojopahit diingat oleh masyarakat setempat dalam bentuk mitos Pati Golo Arakian yang pergi ke barat. Sedangkan sumber sejarah (barat), Flores, khususnya Pulau Solor sudah ditemukan oleh orang Portugis di abad 16. Solor adalah pelabuhan yang penting untuk istirahat para pelayar yang memperdagangkan rempah-rempah dari Maluku ke arah barat. Namun karena tidak memiliki sumber hasil bumi, khususnya rempah-rempah, maka lama kelamaan Solor dan juga Larantuka ditinggalkan oleh para pedagang.

Mula-mula orang Portugis menguasai wilayah ini. Pada tahun 1859, melalui sebuah kesepakatan, Belanda membeli wilayah ini dari Portugis (hal. 59). Namun baru pada tahun 1909, Belanda benar-benar menguasai wilayah ini. Belanda berupaya untuk membangun wilayah ini baik secara ekonomi (penanaman jenis-jenis tanaman perkebunan, seperti kepala dan kapas), membangun trans-Flores dan mengenalkan administrasi kenegaraan yang baru. Namun upaya mengubah administrasi negara ini tidak terlalu berhasil karena Belanda hanya fokus kepada keluarga raja utama saja. Padahal persekutuan kampung memiliki otonomi yang sangat besar dan raja hanyalah berfungsi sebagai penguasa hubungan keluar saja.

Pada tahun 1945, wilayah ini menjadi bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia dan sejak tahun 1958 peran kerajaan menjadi semakin hilang dan digantikan bentuk baru berupa Kabupaten Flores Timur (hal. 77).

Membicarakan Flores Timur haruslah juga membicarakan misi Katholik. Sebab Agama Katholik memiliki peran yang sangat penting bagi wilayah ini. Sejak para imam Dominikan memulai misinya di Flores, Agama Katholik terus berkembang. Sejak dipegang oleh para imam Societas Verbi Divini (SVD), pelayanan Agama Katholik tidak terbatas pada urusan keagamaan saja, melainkan juga di bidang pendidikan dan kesehatan.

Ordo SVD adalah ordo yang memperhatikan ide tentang gagasan monoteisme purba pada agama-agama setempat. Pengakuan terhadap gagasan monoteisme purba ini dikembangkan oleh Pater Wilhelm Schmidt (hal. 69). Itulah sebabnya upaya Gereja Katholik untuk meneliti dan mengerti tentang agama-agama lokal sangatlah tinggi di Flores Timur. Itulah sebabnya banyak penelitian etnografi yang dilakukan di wilayah Flores. Karl-Heinz Kohl adalah salah satunya.

Kedatangan agama Katholik di Flores Timur telah menyebabkan mitos tentang penciptaan yang dipakai dalam recital upacara adat bercampur dengan cerita penciptaan dalam Kitab Kejadian. Namun demikian mitos penciptaan tersebut tetap memiliki kisah dari era yang lebih tua. Kohl mencatat bahwa dalam hal kisah terjadinya bumi, masyarakat Flores Timur telah banyak mengadopsi kisah yang ada di Alkitab. Salah satu contohnya adalah tentang cerita Kain dan Abel. Dalam salah satu versi, Kain digambarkan sebagai pihak yang membawa agama asli, sedangkan Abel adalah yang membawa agama Katholik. Dalam mitos ini dikatakan bahwa keduanya baik (hal. 105). Demikian pula dengan penyesuaian dewa-dewa lokal seperti Rera Wulan (Allah Pencipta) dan Tana Ekan yang menunjukkan dualitis dan berjenis kelamin berbeda harus disesuaikan dengan konsep Allah dalam ajaran Katholik, sehingga keduanya disebut dalam satu kesatuan. Selain konsep tentang Allah, orang Flores Timur juga percaya akan roh yang menjaga manusia yang membantu dewa pencipta (hal 112), serta roh jahat (nitun lolon dan harin botan).

Kohl kemudian masuk ke wilayah asal-muasal rakyat Belogili. Mitos tentang asal muasal rakyat Belogili ini sangat penting untuk menggambarkan hubungan masyarakat Belogili dengan masyarakat kampung lainnya. Mitos asal usul suku ini berfungsi untuk mempertahankan klain atas wilayah, khususnya area pertanian (hal. 133). Bahkan di era Republik, mitos tentang asal-usul ini dipakai dalam memecahkan sengketa tanah. Sebab hanya mitos tersebutlah satu-satunya “bukti” yang bisa dipakai dalam membahas klaim atas kepemilikan tanah.

Masyarakat Flores Timur telah memiliki sistem organisasi suku yang sangat baik dan ditaati. Sistem hubungan antara suku dan sistem kepemimpinan dalam suku sendiri telah dipraktikkan meski tidak tertulis. Misalnya aturan tentang pemilihan tuan tanah. Seorang tuan tanah selalu berupaya mewariskan jabatannya kepada anaknya, namun tua-tua suku bisa membatalkannya apabila si anak sulung tersebut dianggap tidak kompeten untuk mengemban tugas tersebut (hal, 196). Sistem organisasi suku ini tidak terlalu diperhatikan oleh Belanda waktu mengintroduksi sistem administrasi kependudukan baru. Akibatnya sistem yang dikenalkan oleh Belanda tidak mengakar pada masyarakat di Flores Timur.

Seperti halnya suku-suku tradisonal lainnya, suku-suku di Flores Timur juga memiliki pola pernikahan. Pola pernihan dalam suku tradisional biasanya berhubungan dengan pola persekutuan suku-suku atau klan-klan seperti telah dijelaskan oleh Levi-Strauss. Di Flores Timur sistem pengambilan istri memiliki pola pernikahan eksogam (mengambil istri dari kelompok/klan/suku lain). Suku A mengambil istri dari suku B. Suku B mengambil istri dari suku C, dan suku C mengambil istri dari suku A (hal. 217). Sistem yang saling memberi perempuan antar suku ini menguatkan kekerabatan diantara suku-suku. Meski demikian, sistem ini sudah sangat longgar saat ini.

Tata cara pengambilan istri secara tradisional mengijinkan seorang pemuda untuk berhubungan badan sebelum proses resmi dilakukan. Namun atas pengaruh Agama Katholik, praktik berhubungan badan sebelum pernikahan resmi tidak lagi terbuka secara umum.

Upacara kematian sangat berhubungan dengan hubungan kekerabatan. Semua prosesi yang berlangsung sampai delapan hari berhubungan dengan upaya memelihara hubungan kekerabatan antara suku si mati dengan suku pemberi istri. Upacara kematian juga dimaksudkan untuk memperbaiki keburukan si mati. Misalnya seorang yang pada masa hidupnya kikir, bisa dibuat pesta kepada Dewi Sri (Tonu Wujo) dan membagi-bagikan harta kepada warga. Ritual upacara kematian sudah banyak dipengaruhi oleh Agama Katholik. Ritual menyimpan mayat selama dua tahun sudah ditiadakan. Mayat langsung dikubur dalam waktu 24 jam. Namun ritual lainnya yang panjangnya 8 hari masih tetap dipertahankan oleh masyarakat (hal. 280).

Selanjutnya Kohl membahas kisah tentang padi yang terekam dalam mitos “Raran Tonu Wujo” - Jalan Dewi Padi. Kisah tentang Dewi Padi tak banyak beda dengan mitos-mitos padi di berbagai tempat. Dewi Padi berasal dari langit, makhluk setengah dewa yang lari ke bumi dan tubuhnya dipotong-potong menjelma menjadi tanaman padi. Yang berbeda adalah adanya tokoh api dan besi yang terlibat dalam mitos ini. Api dan Besi yang berasal dari laut datang untuk mengganggu Dewi Padi. Api dan besi menggambarkan praktik pertanian bakar ladang dan penggunaan alat pertanian. Kohl juga mencatat bahwa tanaman padi baru saja menjadi tanaman pangan utama. Menyitir catatan Vatter, pada tahun 1920-an, masyarakat lebih banyak menanam jagung daripada padi (hal. 356). Mitos Tonu Wujo ini merupakan panduan bagi keseluruhan ritual perladangan orang Flores Timur. Semua upacara dan persembahan berhubungan dengan mitos Tonu Wujo.

 

Karld-Heinz Kohl berhasil mendokumentasikan mitos-mitos yang berhubungan dengan konsep tentang dunia, keberadaan manusia, kekerabatan, pengorganisasian masyarakat dan sistem pangan dari masyarakat Larantuka. Pengetahuan ini berguna dalam rangka menyelaraskan praktik Agama Katholik dengan kepercayaan dan ritual lokal. Bukankah orde SVD meyakini akan adanya “api monoteisme pada agama-agama tradisional?”

Pengetahuan ini juga sangat bermanfaat dalam menyelaraskan pembangunan dengan pandangan hidup masyarakat setempat. Pengalaman Belanda yang kurang berhasil dalam menerapkan sistem administrasi kepemerintahan baru harus menjadi pelajaran bagi kita. Mengabaikan pandangan hidup setempat dalam melakukan perubahan kepada sebuah masyarakat akan menuai kegagalan.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler