x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Relawan Politik, Nasibmu Kini...

Mampus Kau Dikoyak-koyak Asa! Begitu bunyi yang mirip dengan sajak ‘Sia-Sia’ Chairil Anwar. Kalimat itu mencerminkan kecewa pada realitas politik hari ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Relawan Politik, Nasibmu Kini...

Mampus Kau Dikoyak-koyak Asa! Begitulah kalimat yang mirip dengan sajak ‘Sia-Sia’ karya Chairil Anwar. Kalimat itu mencerminkan ungkapan kekecewaan banyak orang yang menaruh harapan besar pada “kekuatan lain” bernama Relawan hari ini. Awalnya, kehadiran mereka mencibir keberadaan partai politik yang selama ini dianggap mengkhianati cita-cita luhur bangsa dengan berbagai skandal korupsi.

Relawan biasanya identik dengan gerakan kemanusiaan. Kehadiran mereka seperti kisah Maginificient Seven-nya Antoine Fuqua atau Seven Samurai-nya Akira Kurosawa. Prinsipnya sederhana: Datang, Selesaikan, dan Lekas Pergi. Koboinya Fuqua atau Samurainya Kurosawa adalah ksatria-ksatria tak dikenal yang menjadi benteng mereka yang tak berdaya. Setelah misi usai, mereka pun bergegas pamit tanpa pamrih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertunjukan Seven Samurai dan Magnificient Seven, mungkin bisa tercermin dalam satu adegan dalam film dokumenter berjudul Yang Ketujuh (2014) karya Dandhy Dwi Laksono. Lihatlah bagaimana ribuan orang berbondong-bondong datang ke Gelora Bung Karno dengan atribut kotak-kotak –yang lekat pada salah satu kandidat Presiden ketika itu, Joko Widodo. Sebuah konser bertajuk  Salam Dua Jari itu digelar. Pekerja seni, aktivis, hingga masyarakat biasa tumpah ruah. Aksi itu ibarat akselerator bagi raihan suara Jokowi-JK.

Apakah sebagian mereka simpatisan partai? Bisa jadi. Tapi bisa dipastikan, sebagian yang lain adalah orang-orang independen yang hadir dengan modal harapan. Mereka yang hadir menginginkan perubahan.....

Relawan kemanusiaan dapat dimaknai dengan mudah. Namun, relawan politik, adakah tolok-ukur ‘rela’ di sana? Kosakata ‘politik’ seakan mempertegas ambivalensi itu. “Adakah makan siang gratis dalam politik?” begitu kalimat yang lekat dalam ingatan orang awam. Ketika kandidat yang mereka perjuangkan menang, lalu mereka mendapat apresiasi dengan duduk di komisaris perusahaan negara atau masuk istana, adakah kadar ‘rela’ itu berkurang?

Belum saja selesai kisah para Relawan Jokowi, hari ini kekecewaan itu datang lagi. Teman Ahok, sebuah gerakan yang digadang-gadang menjadi titik cerah gerakan politik tanah air, berujung antiklimaks. Ahok, petahana yang mereka usung melalui jalur independen, akhirnya memilih jalur partai politik. Partai Nasional Demokrat, Partai Hanura, dan Golkar sudah terang-terangan mendukung mantan Bupati Belitung Timur itu. Pengumpulan Sejuta KTP untuk mendukung Ahok yang dirayakan tempo hari pun menjadi tanda tanya besar. Silahkan gigit jari!

Inilah supremasi partai politik. Dalam waktu seminggu, partai politik kembali berpesta. Mereka masih unggul dibandingkan “rakyat enggak jelas” –ungkapan menarik yang dipakai Mantan Menkopolhukam di Kabinet Kerja.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pun melakukan perombakan kabinet. Partai Politik yang berpindah haluan dari yang menentang kini malah mendukung pemerintah mendapat jatah di kabinet kerja. Sejumlah nama, yang selama ini dianggap profesional, terjungkal. Hanya Gerindra, Demokrat, dan PKS yang tak ada dalam pemerintahan, meski jangan harap mereka akan maksimal bekerja sebagai oposan.

 

Merindukan Luhurnya Partai Politik Masa Lalu

Ibarat kisah Harry Potter, laki-laki itu bisa dibilang “berdarah campuran”. Meski lahir di Pasuruan, Jawa Timur, Ayah dari laki-laki itu berasal dari Belanda. Ibunya yang berdarah campuran, Jerman-Jawa,lahir di Pekalongan, Jawa Tengah. Kita mengenal laki-laki “berdarah campuran” ini dari buku-buku pelajaran sejarah semasa sekolah dulu. Iya, dia adalah Ernest Douwes Dekker atau kelak berganti nama menjadi Danudirja Setiabudi. Jiwa memberontaknya mungkin menurun dari leluhurnya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, sang penulis Max Havelaar yang legendaris itu pada 1860 –19 tahun sebelum Danudirja lahir.

Mengapa membicarakan Danudirja Setiabudi alias Ernest Douwes Dekker menjadi aktual hari ini? Ia, bersama-sama dengan dua sahabatnya, Dokter Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, mendirikan sebuah Indische Partij tepat pada hari Natal tahun 1912. Partai yang diklaim sebagai partai politik pertama di tanah air. Partai ini pun menjunjung tinggi keberagaman yaitu menjunjung kerja sama orang Indo (campuran seperti Ernest Douwes Dekker) dan kaum Bumiputera.

Tiga serangkai itu menggunakan kendaraan politiknya untuk menuntut kemerdekaan Indonesia. Gagasan yang terhitung radikal pada masanya. Alhasil, Gubernur Jenderal Idenburg pun menangkap lantas mengasingkan ketiganya secara terpisah.

Idenburg lupa, bahwa “Sebuah ide itu antipeluru”. Esa hilang, dua terbilang.

Lalu, laki-laki dari seberang lautan menginjak Nusantara pada tahun 1913. Ketika itu, Indische Partij  sudah resmi dilarang. Henk Sneevliet nama laki-laki itu bahkan menjadi hantu hingga hari ini. Menyebut namanya, seperti memanggil bala atau hantu bernama komunisme. Sneevliet adalah aktivis radikal sejak masih berada di Belanda.

Semangat Sneevliet pun sama: melawan kolonialisme. Pada 1914, ia ikut mendirikan  Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia (ISDV) yang anggotanya mencakup orang-orang Belanda dan Indonesia.  Ia pun menggandeng aktivis muda-radikal Sarekat Islam seperti Alimin, Darsono, dan Semaun.

Ketiganya inilah yang kelak mewujudkan cita-cita Sneevliet agar gerakan komunis s berkembang. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis ndonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.

Enam tahun kemudian, PKI melakukan pemberontakan pertamanya melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hasilnya? Ditumpas dengan singkat....

Lagi-lagi, saya akan mengutip kalimat yang ditulis Alan Moore, penulis Inggris eksentrik itu, “Sebuah ide itu antipeluru”.

Seperti kita tahu, setahun setelah pemberontakan gagal PKI, beberapa para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia pada 4 Juli 1927. Selain itu para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club (ASC) yang diketuai oleh Ir. Soekarno, aktivis muda yang meroket namanya ketika itu, ikut bergabung.

PNI pun dianggap ancaman oleh pemerintah kolonial. Ajaran-ajarannya dinilai menghasut dan menyebarkan antikolonialisme. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata danMaskun Sumadiredja. Setahun kemudian, 18 Agustus 1930, Soekarno menulis pidatoIndonesia Menggugat dan membacakannya di depan pengadilan.

Kelompok Islam pun tak mau ketinggalan. Meski gaung Sarekat Islam sudah bergulir di awal abad ke-20, namun Islam dalam format partai politik baru muncul pada 1945. Kita mengenalnya dengan Masyumi.

Begitulah partai politik masa lalu. Idealisme mereka cukup bernyali: melawan kolonialisme, memerdekakan tanah air dari belenggu kolonialisme. Berlatar belakang ideologi yang beragam, partai politik adalah kerumunan yang ditakuti.

Belenggu bagi partai politik tak berhenti di era kolonial. Ketika Indonesia merdeka dan Sukarno berkuasa, partai politik yang tidak sejalan dengan garis politiknya dibubarkan. Partai Islam Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan pada 1960. Di era Suharto? Sudah tak perlu diurai panjang lebar di sini. Golongan Karya, yang diklaim bukan partai politik, adalah pemenang Pemilu selama 30 tahun. Kekuatan politik lain, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah sebenar-benarnya boneka kekuasaan.

Bagaimana dengan partai politik hari ini? Zaman telah berubah. Begitu pula citra partai politik di zaman yang konon mengagungkan demokrasi ini.  Kolonialisme sudah jauh di mata. Satu per satu petinggi partai terjerat kasus korupsi. Sebut saja ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, lalu Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, juga Suryadarma Ali dari Partai Persatuan Pembangunan.

Kita sempat mencibir, bahwa partai politik memasuki senjakala.  Kehadiran kekuatan baru bernama Relawan sempat memberikan optimisme. Sayang, kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat.

Mestinya kita ingat kembali peringatan orangtua kita dulu, dalam politik “Tak ada Teman (Ahok) yang abadi. Yang ada, kepentingan yang abadi.  Senjakala para relawan politik pun dimulai...

 

Sumber foto: Deviantart|YogiWistoyo33

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB