x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Barter Kepentingan dalam Pilkada

Transaksi politik antara calon kepala daerah dengan parpol yang dilandasi dengan “barter kepentingan” merusak tatanan demokrasi substansial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Revisi UU Nomor 1/2015 yang diubah dengan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sudah disahkan DPR. Hasil revisi dituangkan dalam UU Nomor 10/2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) diharapkan memperbaiki kelemahan pilkada serentak gelombang pertama, tetapi realitas berkata lain. Beberapa pengaturan justru menimbulkan persoalan baru, seperti masih mendesain biaya tinggi, mengebiri kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara, dan memicu maraknya politik uang.  

       Fakta adanya kebutuhan dana besar dalam pilkada dapat dilihat pada tidak adanya mekanisme yang tegas terhadap sumber uang kampanye bagi pasangan calon. Ini akan mendorong calon mengeruk sumber dana kampanye yang tidak jelas asal-usulnya. Hal ini sangat berpotensi mengebiri calon kepala daerah setelah terpilih karena akan berupaya mengembalikan dana yang dikeluarkan. Paling tidak akan memberikan proyek yang dibiayai APBD kepada pengusaha yang menjadi penyandang dana saat mengikuti pilkada. Tidak terpilih pun, calon kepala daerah ditagih uang yang diberikan oleh pengusaha yang merasa bahwa uang itu merupakan uang pinaman.

       Realitas itu setidaknya dapat disimak setelah calon Walikota Medan, Ramadhan Pohan yang gagal dalam pilkada serentak gelombang pertama dilapor ke polisi oleh dua orang yang diduga penyandang dana. Ramadhan Pohan ditetapkan tersangka oleh polisi atas dugaan penipuan atau penggelapan dana sebesar Rp15.3 miliar. Berdasarkan pemberitaan media, uang itu dipinjamkan untuk kepentingan pilkada. Peristiwa ini tidak bisa dinafikan bahwa dalam pilkada memang butuh cost politik yang besar.  

Korupsi dalam Pilkada

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Secara umum diketahui dalam setiap pemilu atau pun pilkada, salah satu tahapan yang butuh dana besar ialah biaya membuka pintu partai politik (parpol) atau ”mahar politik” agar diusung calon kepala daerah. Meski banyak parpol yang membantah, tetapi persoalan itu tidak pernah betul-betul terungkap dengan jelas. Sudah jadi rahasia umum kalau terjadi transaksi politik antara calon dengan parpol yang dilandasi dengan “barter kepentingan”. Bukan betul-betul mengusung pasangan calon yang diusung karena punya kompetensi, berintegritas, dan diyakini mampu melaksanakan amanah rakyat..

       Agar bisa ikut pertarungan pilkada, para calon akan berupaya mendapatkan dana dari berbagai sumber. Termasuk meminjam atau pun hibah tetapi harus dikembalikan. Ini menunjukkan kalau proses memenangkan pilkada tidak gratis. Selalu ada imbalan tertentu setelah terpilih. Uang pinjaman harus dikembalikan dengan konpensasi proyek APBN-APBD. Yang jadi soal kalau sang calon tidak terpilih, sementara harta pribadi sudah habis dipakai membiayai pilkada. Inilah “benang merah” pemicu korupsi dalam pilkada yang tidak bisa disangkal.

       Begitu banyak kepala daerah hasil pilkada langsung yang jadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mereka mengaku menyelewengkan APBD karena berupaya mengembalikan uang yang dikeluarkan saat pilkada. Data Kementerian Dalam Negeri, lebih 350 kepala daerah terjerat kasus korupsi anggaran negara (Trans7-TV, 30/7/2015). Tentu jumlah itu bertambah, sebab tahun 2016 ini beberapa kepala daerah dijadikan tersangka korupsi. Malah saat ini ada yang sedang menjalani proses pengadilan yaitu Bupati Maros, Sulawesi Selatan yang terpilih pada pilkada serentak gelombang pertama.

       Itulah imbas dari pengabaian terhadap aspirasi rakyat. Transaksi politik uang, baik melalui uang mahar maupun membeli suara pemilih menyebabkan demokrasi substansial tidak pernah tercapai. Praktik transaksional telah mendistorsi penguatan demokrasi yang ujung-ujungnya bermuara pada korupsi. Kita ingin pilkada serentak gelombang kedua 15 Februari 2017 mengikis habis, atau paling tidak meminimalkan politik uang. Dimulai pada kepastian sumber dana kampanye pasangan calon yang tidak diperoleh dari sumbangan atau pinjaman pengusaha hitam dengan janji proyek.

       Kasus Ramadhan Pohan tidak boleh hanya dikaji dari sisi hukum semata. Perlu dijadikan pelajaran berharga bagaimana melepaskan diri dari jerat problem electoral biaya tinggi. Mafia pilkada harus diberantas yang bermain di area pendanaan dengan beragam modus. Sebab meskipun ada pembatasan dana kampanye dalam UU Pilkada, tetapi realitasnya tidak berbanding lurus dengan yang terjadi pada pelaksanannya. Maka itu, Peraturan KPU harus lebih tegas menekan praktik transaksional dengan menjadikan laporan dana kampanye pasangan calon sebagai acuan menekan politik uang.

       Semuanya terjadi lantaran pilkada memang didesain berbiaya tinggi. Itulah salah satu risiko dari “demokrasi langsung” atau “demokrasi liberal” yang menggantungkan kemenangan pada kehendak pemilih. Lebih celaka, karena suara pemilih dapat dibeli sehingga calon tidak lagi diukur secara rasional berdasarkan kualitasya, tetapi seberapa besar uangnya.

Politik Uang dan Kemandirian KPU

       Begitulah benang merah pelaksanaan pilkada dengan korupsi yang harus diwaspadai pada pilkada berikutnya. Salah satu yang dikritisi dan perlu dikawal pelaksanaanya terkait “politik uang”, adalah ketentuan dalam Pasal 73 Ayat (1) UU Pilkada hasil revisi. Pasal tersebut “melarang calon dan/atau tim kampanye menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih”.

       Calon yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon. Namun, penjelasan pasal tersebut bernuansa lain karena menegaskan bahwa “yang tidak termasuk memberi uang atau materi lainnya, meliputi biaya makan-minum peserta kampanye, transpor, pengadaan bahan kampanye, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan di suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU”.   

       Ketentuan itu menafikan semangat antipolitik uang, karena pemberian hadiah kepada pemilih bisa dilakukan dengan beragam kreasi. Misalnya, diberikan dalam bentuk “sembako atau uang dalam amplop”. Yang penting setiap bungkus sembako atau amplop tidak melebihi besaran nilai yang ditetapkan KPU. Yang jadi soal, kalau hadiah yang diberikan itu jumlahnya banyak, dan pasangan calon atau tim kampanye akan berupaya menyiapkan bungkusan sembako atau uang dalam amplop sesuai dengan jumlah pemilih di suatu wilayah.

       Pertanyaannya kemudian, bisakah Peraturan KPU membatasi nilai hadiah itu secara keseluruhan atau hanya pada setiap item hadiah. Sebab dalam membuat peraturan teknis penyelenggaraan pilkada, KPU wajib mengikuti ketentuan Pasal 9 huruf-a UU Pilkada hasil revisi, bahwa KPU dalam menyusun dan menetapkan Peraturan dan Pedoman Tahapan Pemilihan, setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang “keputusannya bersifat final”.

        Artinya, KPU dalam membuat peraturan teknis atau Peraturan KPU wajib mengikuti keputusan hasil konsultasi DPR dan pemerintah. Lantaran anggota DPR memiliki kepentingan dalam pilkada, bisa saja mendesain hasil konsultasi dengan menentukan nilai pemberian uang atau materi lainnya untuk diatur dalam Peraturan KPU. Tetapi substansinya justru politik uang secara terselubung. Jika ini terjadi, selain “membonsai kemandirian KPU”, juga melegalkan politik uang. Padahal, Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 1 butir-6 UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu menegaskan “KPU selaku penyelenggara pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.  

       Kewenangan menetapkan Peraturan Teknis atas perintah UU Pilkada harus dikawal, terutama saat melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Sebab dari sanalah demokrasi prosedural dibangun tentang tata cara pelaksanaan pilkada yang seharusnya tidak memberi peluang terjadinya politik uang. Sebab ujung-ujungnya nanti akan bermuara pada korupsi. Apalagi dilandasi transaksi politik yanag kadang tidak bisa dideteksi oleh KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Maka itu, tudingan kalau pilkada menjadi sarang korupsi, hanya bisa ditepis dengan mengawasi pelaksanannya dan secara tegas menindak praktik politik uang.(*)

Makassar, 28 Juli 2016

 

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

 

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler