x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesona Nol

Sejak beribu tahun yang silam, orang berusaha menemukan nol. Kendati begitu, hingga kini, nol tetap misterius.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meskipun kerap melihat angka nol, yang termanifestasi dalam beragam rupa—lingkaran, bulatan, huruf o, gerakan tawaf, apapun lainnya—pesona misterinya tidak pernah lenyap. Paradoks menyelimuti nol: ada dan tiada. Sejak ribuan tahun yang silam orang berusaha mendefinisikan sesuatu yang kelak kemudian disebut sebagai nol. Orang memerlukannya kendati nol berarti ‘tidak ada’.

Ketika kita mulai melangkah, kita butuh titik acuan, referensi, dan itu titik nol—di kota-kota manapun di dunia, selalu kita temukan titik nol. Kita yang hidup di era serba digital akan sulit membayangkan bila angka nol sirna—kita harus mendefinisikan sesuatu yang baru, dan wow betapa banyak hal akan berubah bila angka nol kita kubur. Bahkan mungkin kita akan tersesat dalam kebingungan.

Nilai nol memiliki peran khusus bagi berbagai kuantitas fisik. Dalam skema Cartesian, nol adalah ‘sesuatu’ yang memisahkan nilai positif (0,1) dan nilai negatif (-0,1). Terlampau sulit membayangkan bila nol tidak ada dalam konteks itu. Nol adalah titik beku air dalam skala Celsius. Suara diukur dalam desibel dengan nol sebagai titik acuan. Nol berada di perbatasan antara cair dan beku, dua dunia yang memiliki watak berbeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang-orang Sumeria, yang kabarnya hidup sejak 5500 Sebelum Masehi, berusaha mendefinisikan sesuatu, yang kini disebut nol, sebagai upaya memahami misteri semesta. Di berbagai masa sesudah Sumeria, di berbagai belahan bumi, budaya-budaya memahami nol dalam beragam makna. Nol bukanlah sekedar angka, bilangan, tetapi kosong, hening, atau orang Jawa menyebutnya suwung.

Seperti kata Robert Kaplan dalam The Nothing that Is, sejarah nol adalah lensa untuk melihat bukan hanya evolusi matematika, tapi juga watak terdalam pikiran manusia. Kaplan menunjukkan, dan saya kira ia benar, bagaimana sejarah matematika adalah proses abstraksi yang bersifat rekursif: bagaimana sebuah simbol yang diciptakan untuk mewakili gagasan tertentu kemudian mendorong lahirnya gagasan baru.

Meski sejak lama manusia dekat dengan kekosongan atau ketiadaan, tetapi konsep tentang nol (seperti yang digunakan sekarang) boleh dibilang relatif baru. Matematikawan Muhammad ibn-Musa al-Khwarizmi mengatakan bahwa sebuah lingkaran kecil harus digunakan dalam perhitungan apabila tidak ada angka lagi di tempat kesepuluh—setelah 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, lalu apa? “Diperlukan lingkaran kecil,” kata matematikawan itu pada 976 Masehi. Maka, lahirlah 10, 20, dst. Meskipun unik, nol diperlakukan sebagaimana bilangan lainnya.

Bagi al-Khwarizmi, nol merupakan unsur krusial dan ia memakainya untuk mengembangkan ilmu aljabar. Ia mengembangkan metoda cepat untuk mengali dan membagi angka-angka, sebuah cara yang kemudian dikenal sebagai algoritma—sebutan Latin bagi nama al-Khwarizmi. Ketika pertama kali angka nol diperkenalkan sebagaimana angka yang lain, sebagian orang mencemaskannya sebagai sihir yang berbahaya. Hingga kemudian para pedagang, pemilik uang, bankir, dan akuntan merasakan manfaat nol dalam perhitungan.

Angka nol lantas menemukan jalannya ke Eropa melalui penaklukan Spanyol (Andalusia) dan kemudian dikembangkan oleh Fibonacci, matematikawan Italia. Fibonacci menggunakan angka nol untuk menyelesaikan persamaan, meskipun ia memperlakukan 0 (sebagai ‘tanda’) tidak seperti ia memperlakukan 1, 2, .., 9 (sebagai ‘angka’). Cara ini populer di kalangan pedagang pada masanya, yang memakai persamaan Fibonacci untuk menyeimbangkan pembukuan mereka.

Pergerakan konsep angka nol itu meninggalkan jejak pada bahasa. Orang Inggris menyebutnya zero. Kata ini diperoleh dari orang-orang Venesia melalui perantaraan orang Prancis (zéro). Orang Venesia mengenalnya dari orang Italia—zefiro, yang dibawa Fibonacci dari kosakata Arab, ?afira atau ?ifr, yang sebelumnya mungkin saja diadopsi dari Yunani, zephyrus.

Kini, nol memungkinkan kita mengerjakan soal-soal kalkulus, persamaan yang rumit, dan mengembangkan komputer. Walau begitu, nol sebagai konsep tentang ‘tidak adanya kuantitas apapun’ tetap saja tidak mudah dimengerti. Tetap misterius. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler