x

Iklan

Fiqri Siregar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bertahan di Bantaran Rel

Batas kontrakan lebih-kurang 2 meter dari bantaran rel menjadi teror disiang hari bagi warga yang bermukim dan melintas di sepanjang bantaran rel.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dengan luas ruangan sembilan meter persegi Santoso membayar kontrakan di area bantaran rel Tanah Abang Rp 400 ribu per bulan. Harga itu masih telalu mahal menurutnya. Ruangan itu cukup diisi beberapa barang dan tempat tidur untuk kedua anaknya. Demi kenyamanan tidur kedua buah hatinya, Santoso memilih mengalah  dan tidur di emperan kamarnya. “saya mengalah sama anak-anak, biar mereka tidurnya pulas dan biar tidak panas, lagian di luar juga enak ada angin yang keluar masuk,” ujarnya.

Batas kontrakan  lebih-kurang 2 meter dari bantaran rel menjadi teror disiang hari bagi warga yang bermukim dan melintas di sepanjang bantaran rel. Pada malam hari menjadi alarm yang berteriak di telinga Santoso sehingga membuat tidurnya tidak pulas karena klakson kereta berbunyi setiap 10 menit sekali, Rabu, 27 Juli 2016.

Santoso memilih bertahan hidup di bantaran rel karena tidak ada pilihan lain. Harga kontrakan yang ringan membuatnya tetap bertahan selama 15 tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Santoso pria kelahiran Jombang, Jawa Timur  memilih tinggal  di Jakarta untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Santoso  tinggal di kontrakan bantaran rel stasiun Tanah Abang dengan istri dan  kedua anaknya.

Kini, Santoso sudah berumur 48 tahun. Ia tinggal di bantaran rel tanah abang sudah 15 tahun. Berbagai usaha sudah ia lakoni untuk bisa bertahan hidup di Ibu Kota yang katanya “kota serba panas”. Mulai dari berjualan kue kering, berjualan sandal keliling, dan berjualan rujak buah sampai sekarang sudah ia kerjakan.

Kampung halaman sepertinya tidak memberikan harapan untuk bisa memberi makan anak dan istrinya. Sebab itu langkah kaki Santoso memilih untuk mengadu nasibnya ke Jakarta dengan modal seadanya.

Di zaman sekarang dengan daya saing yang begitu tinggi, Santoso tidak memiliki pilihan. Ia harus memiliki  pekerjaan sendiri. Walau dengan penghasilan yang pas-pasan ia tetap bertahan dengan pekerjaannya.

Penghasilan menjual rujak buah Rp 50 ribu, itu pun kalau hari sedang mendukung. Kalau lagi hujan ya penghasilan hanya Rp 20 ribu. ”penghasilan segitu ya kurang, Tetapi karena keadaan saya begini, ya harus bisa mencukupi untuk keluarga yang penting saya mencari nafkah tidak mengganggu orang lain, saya gak minta-minta,” ujarnya.

Sudah dua tahun Santoso tidak berkunjung ke kampung halaman. Langkahnya untuk meninggalkan kampung halaman bukan tanpa sebab. Faktor ekonomilah yang membuatnya merantau ke Ibu Kota. Dengan di temani keluarga kecilnya Santoso bersemangat untuk mencari rezeki

Kampung halaman tetap menjadi idaman Santoso dan keluarganya untuk bisa menetap dan mencari penghidupan di sana. Tetapi apa daya, ia tidak mempunyai sawah atau lahan yang bisa digarap  untuk bercocok tanam.

Kemampuannya mencangkul sawah sudah tidak lagi di butuhkan para petani. Karena kecanggihan peralatan modern yang menggusur tenaga manusia.” Kalau jadi  tukang cangkul sih sudah tidak laku lagi mas, dikampung sekarang sudah ada teraktor buat bajak sawah,” keluhnya.

Keinginan untuk kembali kekampung halamanpun masih kuat di dalam benaknya. Tetapi keinginan itu sering sekali tandas karena rasa malu kepada orang tuanya. Hingga saat ini  ia belum juga bisa membuat  orang tua nya bangga.

Ia ingin ketika pulang mempunyai modal untuk usaha dan membeli sawah. Keinginan itu untuk memenuhi hidupnya dan membuat orang tuanya bangga atas jerih payahnya. “Kalau  saya sudah bisa beli sawah atau ada pekerjaan di kampung saya ingin mengajak isteri dan anak saya balik ke kapung mas. Karena di kampung kalau tidak ada sawah atau pekerjaan saya mala gak bisa bertahan hidup mas,” ucapnya.

Ketika di tanya perbandingan hidup di Jakarta dengan di Jombang, Santoso menjawab “lebih enak hidup di Jakarta walaupun penghasilan sedikit tetapi tetap ada saja, kalau di kapung sangat susah bekerja,”ujarnya.

Ikuti tulisan menarik Fiqri Siregar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler