x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Idul Fitri, HAM dan PKL (Kota)

Tekanan kota menjadi lebih besar daripada kemampuan kota tersebut dalam mendukung aktivitas dan kehidupan penduduknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Awas, kalau main/jalan-jalan ke Bandung jangan membeli sesuatu disembarang tempat bisa terkena denda satu juta rupiah”

(terjemahan bebas kutipan dari text foto di atas. Foto oleh Frans Ari Prasetyo)

Bandung dan banyak kota-kota besar lain di Indonesia bisa dilihat sebagai korban karena tidak ter-support-nya kawasan-kawasan lainnya berkembang dan memanfaatkan potensi-potensinya untuk menyediakan ruang hidup dan aktvitas serta kehidupan bagi masyarakat. Maka, kota menjadi tumpuan harapan bagi banyak anak negeri untuk menggapai cita-cita dan mimpinya. Akibatnya tekanan kota menjadi lebih besar daripada kemampuan kota tersebut dalam mendukung aktivitas dan kehidupan penduduknya, baik untuk warga tempatan maupun untuk warga pendatang.

Diketahui bersama, jika momen libur panjang  keagamaan terutama hari libur Idul Fitri yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia menjadi momen untuk melepaskan rutinitas keseharian terutama keseharian warga kota menjadi rutinitas kultural dan religius. Warga kota tidak sepenuhnya warga tempatan yang kebetulan lahir dan besar di kota tersebut, tetapi ada juga warga pendatang yang hadir karena proses akulturasi dalam formasi yang beragam, seperti pernihakan, pekerjaan dan faktor lainnya yang membuat pola migrasi ke-kota terbentuk. Momen Idul Fitri membuat warga-warga (kota) yang memiliki kampung halaman tempat orang tua, sanak-keluarga berasal  akan kembali dan berkumpul dengan semua keluarga besarnya dari berbagai tempat untuk merayakan momen ini, tidak terkecuali para PKL (Pedagang Kaki Lima).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para PKL umumnya warga tempatan dan warga pendatang yang tidak mampu terserap oleh lapangan pekerjaan formal, namun mereka tetap harus hidup dan memperbaiki kehidupan mereka walaupun dengan cara kerja informal, berdagang di kaki lima. Walau pun PKL terkadang dicibir dan dicemooh oleh kekuasaan dan kelas masyarakat tertentu sebagai sampah pembangunan dan citra negatif modernitas perkotaan karena berada pada lingkaran informalitas, tetapi kontribusi mereka dalam putaran ekonomi penyumbang PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) kabupaten/kota tidak bisa dianggap kecil, bahkan masuk dalam lingkaran formal. Bahkan, sektor informal ini menjadi andalan ketika sektor formal sedang mengalami tekanan ekonomi. Maka soal, peran PKL tidak bisa hanya dipandang sebelah mata bahkan diremehkan ketika negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan formal yang memadai dan belum mampu memenuhi Hak Asasi Manusia atas negara/kotanya sebagai warga negara/warga kota.

PKL adalah subyek hukum  yang mempunyai hak sebagai manusia pribadi atau sebagai badan hukum tertentu walaupun informal terkait dengan yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum dalam upaya melakukan kerja kerja dan memperoleh penghidupan layak dengan cara berdagang.  Keberadaan PKL merupakan salah satu imbas dari semakin banyaknya jumlah warga miskin di kota-kota besar di Indonesia. Berdagang merupakan pilihan bertahan hidup karena tidak ada pilihan lain, karena tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik, dan tidak adanya lapangan pekerjaan yang tersedia.

Ketika subjek hukum berada dalam lingkaran hukum dalam kewilayahan tertentu seperti kota , maka subjek hukum ini akan berada dalam jaring-jaring hukum wilayah tersebut sebagai tanda bahwa mereka bagian yang dilekatkan dari skema kewargaan yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari kerja perangkat hukum  tersebut.

Ketika warga pendatang yang menjadi PKL disebuah kota seperti di Bandung, maka mereka akan berhadapan langsung dengan pranata hukum sebagai warga pendatang yang tidak memiliki KTP Bandung dan sebagai PKL yang dianggap illegal. Tetapi juga tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang satu sisi saja, terdapat sudut pandang ssi lainnya terkait dengan hak warga atas kotanya termasuk hak hidup dan penghidupannya walaupun hanya sebagai PKL.

Terdapat beberapa peraturan yang terkait hal diatas, seperti di kota Bandung dalam  Peraturan Daerah No.11/2005 tentang K3 (Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan) terdapat pasal mengenai PKL yaitu pasal 49 ayat (1) berbunyi: “bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa: (1) berusaha atau berdagang di trotoar ; badan jalan/jalan; taman; jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukkannya tanpa izin dari walikota dikenakan biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah ) dan/atau sanksi administratif berupa penahanan untuk sementara  KTP atau kartu tanda identitas penduduk lainnya.(2). mendirikan kios dan/atau berjualan di trotoar; taman; jalur hijau; melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman atau jalur hijau dikenakan pembebanan biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan atau sanksi administratif berupa penahanan sementara KTP atau kartu identitas penduduk lainnya. Jadi, di Bandung PKL maupun pembeli PKL dikenakan denda yang cukup besar, satu juta rupiah berkali-lipat harganya denda yang mesti dibayarkan daripada produk komoditi yang diperdagangkan.

Namun terdapat juga produk hukum yang dapat dijadikan landasan perlindungan bagi PKL , seperti UUD 1945, pasal Pasal 27 ayat 2, tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu terdapat dalam UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia, dalam pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, sedangkan dalam pasal 38, menyatakan  setiap warga Negara sesuai dengan bakat  kecakapan dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak serta setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya. UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil, dalam pasal 13 menyatakan Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan dengan menerapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima , serta lokasi lainnya, kemudian memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

Fenomena penggusuran terhadap PKL  yang notabene tidak memiliki KTP sebagai warga kota menjadi salah satu alasan selain karena terkait informalitas dan ilegalitas yang dihasilkan oleh PKL dalam ruang (publik) aktivitasnya. Penindakan yang terjadi  selalu tidak memperhatikan dan selalu merusak hak miik para PKL. Padahal hak milik ini telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU nomor 39 tahun 1999 mengenai HAM.  Dalam UUD 1945 Pasal 28 G ayat (1), setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi; keluarga; kehormatan; martabat; dan harta benda yang dibawah kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pasal 28 H ayat (4) menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang. Pasal 28 I ayat (4) juga menyatakan bahwa perlindungan; pemajuan; penegakan; dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah. Berdasarkan fenomena penggusuran PKL, negara telah berlaku lalai dan tidak adil terhadap warganya jika merujuk kepada UUD 1945 Pasal 28 sebagai sebagai konstitusi negara Indonesia, maka negara dan aparaturnya telah melanggar konstitusi negara.

Dalam UU 39/1999 mengenai HAM, Pasal 36 ayat 2 menyatakan bahwa  tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang. Sedangkan dalam Pasal 37 ayat 1, pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan ayat 2-nya menyatakan apabila ada sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian. Lalu pada Pasal 40, tertulis bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.  Maka berdasarkan UU no 39/1999 ini, PKL adalah warga negara yang memiliki Hak Asasi Manusia  dalam usahanya untuk hidup dan penghidupannya yang sebenarnya tanpa minta dan membebani negara. PKL hanya minta dilindungi sebagai warga negara yang mempunya hak yang sama dengan warga negara lainnya dalam konteks hak asasi manusia.

Maka ketika warga negara melakukan migrasi/urbanisasi ke kota, jangan dilihat sebagai sampah kota hanya dengan melihatnya sebagai PKL semata, tapi lihat juga sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dan juga lihat juga atas ketidakmampuan negara dalam menyediakan hak penghidupan warganya di desa sehingga urbanisasi terjadi dan juga ketidak mampuan menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya, sehingga menjadi PKL adalah pilihan untuk bertahan hidup.

PKL sebagai bagian dari informalitas perkotaan memiliki kelekatan hukum yang (terus) menempel pada aktivitas pribadi dan kesehariannya sebagai label kewargaan dari informalitas tersebut. Label tersebut menjadi stigma hukum yang berlaku disebuah wilayah, dimana PKL itu hidup dan berpenghidupan. PKL selalu dianggap sebagai subjek yang melanggar hukum, walaupun tidak semua PKL diposisikan serupa. Hal ini bergantung kepada hukum, sudut pandang kekuasaan dan  cara pandang kelas sosial yang berlaku dan mendominasi diwilayah atau kota tersebut, karena jika PKL yang muncul dari kalangan kelas tertentu akan dianggap sebagai bagian dari skenario ekomomi kelas menengah yang kreatif, tetapi jika PKL berasal dari kelas ekonomi lemah akan dianggap sebagai individu, aktivitas dan permasalahan kota tersebut. Celakanya, jenis PKL yang selalu diangap musuh hukum, musuh kekuasaan kota dan ‘nyinyir’nya kelas menengah/atas kota atas informalitas yang dihasilkannya adalah PKL yang muncul dari warga tempatan atau warga pendatang yang tidak mampu terserap oleh lapangan pekerjaan formal. Namun warga pendatang yang melakukan proses urbanisasi regular atau yang melakukan urbanisasi karena didahului oleh arus mudik akibat peristiwa Idul Fitri adalah yang dominan. Mereka berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kota dibandingkan di desa dan juga akibat daya tarik kota dan bujuk rayu warga yang melakukan mudik Idul Fitri tadi.

Kota seperti Bandung, daya dukung kotanya tidak sebanding dengan daya tariknya. Celakanya itu terjadi karena silang-sengkarutnya antara perencanaan, kebijakan, politik kekuasaan kota ditambah arus migrasi/urbanisasi yang tidak bisa ditolak, belum lagi jika ditambah dengan migrasi kapitalisme dan jaring-jaring neolib-nya. Hak atas kota kemudian menyeruak sebagai sesuatu yang sangat penting sebagaimana keadilan spasial pun seyogyanya disediakan sebagai pertaruhan dari silang-sengakrut tadi yang mestinya terus dibenahi bukannya malah dikebiri untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang jauh dari kata adil dan keberpihakan kepada warganya. PKL adalah contoh nyata bagaimana hukum, keadilan ruang, hak hidup dan penghidupan untuk berada di kota menjadi sangat penting untuk dibenahi kebijakannya agar hak atas kota dan hak asasi manusia dikota dapat beriringan secara adil untuk semua warganya, warga tempatan maupun warga pendatang. 

Frans Ari Prasetyo

Peneliti Mandiri

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler