x

Ketua Lembaga Sensor Film Ahmad Yani Basuki merekomendasikan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir Netflix. TEMPO/Pingit Aria

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Salah Kaprah Sensor Ulang Film ~ Kemala Atmojo

Semua insan film tahu hingga saat ini ada keharusan "sensor ulang" saat sebuah film (bioskop) hendak ditayangkan di televisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun ini, kebijakan sensor film di Indonesia memasuki usia yang ke-100 tahun, yang diawali dengan penetapan Ordonansi Film pada 1916 oleh pemerintah kolonial Belanda, yakni Staatblad van Nederland Indie Nomor 276 tertanggal 18 Maret 1916.

Tulisan ini tidak bermaksud menggugat eksistensi Lembaga Sensor Film (LSF) atau berwacana soal bagaimana sebaiknya peran LSF ke depan. Kali ini, saya ingin menyoal kebiasaan sensor ulang bagi film-film yang sebenarnya sudah lolos sensor LSF. Kebiasaan sensor ulang ini sudah lama dikeluhkan banyak orang film, tidak jelas dasar hukumnya, dan berpotensi melanggar undang-undang lainnya.

Pemirsa televisi Indonesia tentu sudah terbiasa menyaksikan gambar atau adegan tertentu sebuah film atau sinetron yang dikaburkan (blur). Pemirsa juga mungkin bisa mengetahui bahwa beberapa adegan dalam film yang tadinya ada di bioskop tiba-tiba lenyap di layar kaca. Siapa yang menyuruh? Bisa jadi akibat kegenitan orang televisi sendiri atau karena mau mengikuti aturan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini menerbitkan dua aturan soal program penyiaran di televisi: Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dalam dua aturan itu, dirumuskan apa yang boleh dan tidak boleh, termasuk isi film.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semua insan film tahu hingga saat ini ada keharusan "sensor ulang" saat sebuah film (bioskop) hendak ditayangkan di televisi. Apa alasannya? Argumen yang beredar, pertama, sensor ulang itu dilakukan karena adanya perbedaan platform penyiaran. Katanya, kriteria sensor selama ini dimaksudkan untuk film yang hendak diluluskan untuk bioskop, yang ditonton oleh penonton terpilih (selected audience) dalam gedung tertutup, tempat ketentuan batas umur dapat dilaksanakan dengan baik. Adapun penonton televisi lebih terbuka dan sulit dikontrol. Jadi, begitu target penontonnya berubah, maka kriteria sensor mau tidak mau harus diperketat.

Argumen kedua, sensor ulang itu didasari perintah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film dan Keputusan Menteri Nomor 215 Tahun 1994 tentang tata cara penyelenggaraan usaha perfilman. Benarkah demikian? Sejauh yang saya ketahui, dalam peraturan pemerintah itu, tidak ada satu kata pun mengenai sensor ulang. Demikian juga dalam keputusan menteri tersebut.

Perlu diingat bahwa film memiliki undang-undang sendiri, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Sebenarnya, di dalamnya sudah diatur bagaimana tata cara penayangan film di televisi, baik mengenai batas usia penonton maupun jam tayangnya. Pasal 30 ayat 1, misalnya, jelas mengatakan, "Pertunjukan film untuk golongan penonton berusia 21tahun atau lebih, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf d, yang melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat". Bunyi pasal tersebut diulang lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.

Ihwal platform juga sebenarnya sudah dicakup dalam Undang-Undang Perfilman. Pasal 30 ayat 1 mengatakan, "Pertunjukan film dapat dilakukan melalui: (a) layar lebar; (b) penyiaran televisi; dan (c) jaringan teknologi informatika". Dengan demikian, baik mengenai platform maupun jam pertunjukan sudah diantisipasi oleh Undang-Undang Perfilman. Tinggal KPI menyesuaikan diri dengan aturan LSF ini. Karena itu pula, LSF mestinya tidak perlu melakukan sensor ulang yang bahkan lebih ketat atas film yang sudah lolos sensor. Selain itu, KPI tidak pernah diamanatkan untuk menjadi Lembaga Sensor Film.

Namun mungkin karena selama ini terjadi kebingungan di antara kedua lembaga ini, keduanya sepakat membuat nota kesepahaman. Pertama, pada 3 Desember 2007, dan kedua pada 22 Oktober 2012. Selain masalah "sensor ulang" yang tidak disebutkan secara eksplisit, dua nota kesepahaman itu hanyalah nota "saling pengertian" soal posisi dan aturan pada masing-masing lembaga. LSF tetap mendasarkan diri pada UU Perfilman dan KPI meminta agar aturannya diperhatikan. Tak ada "jalan keluar" bagi masalah sensor ulang ini. Maka, keruwetan itu terus berlangsung hingga kini.

Penting disadari, baik oleh LSF maupun KPI, pemotongan dan pengaburan itu berpotensi melanggar hak cipta karya tersebut. Film sebagai karya seni dilindungi sepenuhnya oleh UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Perlindungan itu tidak semata masalah eksploitasi ekonomi, tapi juga hak moral, dengan masalah keutuhan karya juga berada di dalamnya.

Kedua lembaga itu juga berpotensi melanggar Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Kita tahu, mengembangkan diri dan memperoleh manfaat dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, serta seni merupakan adalah bagian dari hak dasar manusia yang dijamin undang-undang. Pembatasan hak-hak dasar ini hanya boleh dilakukan oleh dan berdasarkan undang-undang juga.

Ada lagi masalah ketidakharmonisan lain antara aturan LSF dan aturan KPI, yakni masalah sulih suara (dubbing). Dalam UU Perfilman, sama sekali dilarang film asing dialihsuarakan. Namun, dalam aturan KPI, hal itu masih memungkinkan.

Inilah pentingnya melibatkan insan film dalam merevisi Undang-Undang Penyiaran. Inilah saatnya LSF mengubah paradigmanya saat memasuki usia seabad tahun ini. Adapun UU Perfilman sendiri, yang penuh dengan kelemahan, juga harus direvisi. Zaman sudah berubah. Sinkronisasi dan harmonisasi harus dimulai hari ini.

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu