x

Iklan

Kukuh Giaji

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tiga Dara: Memperdagangkan Film Idealis

Tiga Dara merupakan film kedua hasil restorasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah Lewat Djam Malam, ada Tiga Dara yang berhasil direstorasi dan kembali dipertontonkan kepada publik. Keduanya adalah film Usmar Ismail, meski berada di tangan yang sama namun jauh dari kata serupa. Usmar Ismail sendiri menonjol sebagai pelopor film Indonesia dengan film pertamanya Darah dan Doa - yang diakui sebagai film pertama, diproduksi oleh Perusahaan Film Indonesia (Perfini) yang juga memproduksi dua film yang kini telah direstorasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. Menariknya, estetika dari Tiga Dara sangatlah berbeda dari dua film Usmar Ismail sebelumnya, disebabkan Perfini mengalami krisis keuangan sehingga mau tidak mau Usmar Ismail harus kompromi membuat film komersil yang jauh dari visinya dalam memproduksi film.

Tiga Dara bercerita tentang tiga perempuan bersaudara kandung: Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya) dan Nenny (Indriarti Iskak). Ketiganya dibesarkan oleh nenek mereka (Fifi Young) di Jakarta setelah ibu mereka meninggal sementara sang ayah, Sukandar (Hassan Sanusi) terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak pernah benar-benar memiliki waktu untuk memerhatikan kehidupan ketiga putrinya.

Nenek mereka kemudian gelisah perihal Nunung yang telah hampir mencapai kepala tiga namun belum mendapatkan calon suami bahkan bersikap seolah-olah urung untuk menikah. Hal ini kemudian membawa Nunung kepada serangkaian percobaan perjodohan yang diprakarsai oleh neneknya, sang ayah dan adiknya, Nenny. Semua upaya itu akhirnya berujung pada kesia-siaan.

Suatu ketika, Nunung yang sedang merasa resah akibat permintaan sang nenek tertabrak skuter yang dikendarai oleh Toto (Rendra Karno). Karena merasa bersalah, sang pengendara datang menjenguk Nunung setiap hari dan membawa bunga. Toto sendiri pelan-pelan jatuh hati tetapi sikap Nunung yang ketus dan jual mahal membuat Nana mencari celah untuk mendekati Toto. Perikaian kedua saudari tersebut menjadi konflik utama film.

 

Memperdagangkan Tiga Dara

Film komedi musikal yang legendaris ini diproduksi tahun 1957 dan dianggap menjadi karya klasik dari perfilman Indonesia, dengan tema-tema yang masih relevan dengan masyarakat Indonesia modern walau jelas banyak dipengaruhi oleh drama musikal Hollywood bahkan beberapa kali pada film terlihat potret Marilyn Monroe yang merupakan simbol ikonik wanita modern era tahun 1950-an.

Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, Tiga Dara adalah hasil kompromi antara idealisme Usmar Ismail dan kebutuhan komersialisme untuk menyambung hidup Perfini. Pada era 50-an film dibagi menjadi dua katagori, yaitu film nasional dan film tionghoa. Gagasan ini lahir dari dominasi film-film tionghoa yang beredar di bioskop namun dianggap oleh kalangan seniman tidak mewakili citra pembangunan watak dan kebangsaan Indonesia (Character and Nation Building).

Akibat dari logika ini, pembuatan film Tionghoa diasosiasikan dengan komersialisme, terlepas dari upaya produser Tionghoa membuat film yang mencoba menggambarkan kebudayaan dan cerita lokal, film-film mereka tetap dianggap sebagai oportunis dan tidak memiliki idealisme. Gagasan film nasional yang terkenal diutakan oleh sutradara Soemardjono dengan menunjukkan bahwa ‘film nasional’ adalah proyek nasionalis dengan segala material dan aspirasi budayanya. Dan hal itulah yang dianut Usmar Ismail pada setiap karyanya termasuk Tiga Dara walau memiliki agenda sendiri, yaitu menarik keuntungan.

Tiga Dara memang proyek dagang tetapi lebih jauh dia juga merupakan film yang penuh dengan kekayaan watak kepribadian bangsa. Penggambaran ini dapat dilihatkan dari pembentukan ketiga citra karakter perempuan bersaudari tersebut. Pertama, Nunung identik mengenakan pakaian lokal adat jawa dengan karakter yang lempeng atau tidak neko-neko. Kedua, Nana merupakan potret remaja kekinian yang terkena pengaruh budaya barat, dari jenis pakaian dan pesta tarian dansa. Terakhir, Nunu sama halnya dengan Nana, potret gadis kota kekinian. Hal ini dipertegas dari kepergian Nunung ke Bandung, baik Nana dan Nunu ternyata sama-sama tidak mengetahui bagaimana mengurus rumah karena semuanya dikerjakan oleh Nunung. Seolah-olah mempertunjukkan bagaimana kelakuan wanita modern dan pengaruh barat yang memberikan dampak buruk kepada generasi masa kini di era itu. Lantas, film ini menjadi begitu dekat karena masih sejalan dengan relevansi modern masa kini.

Penggambarkan modern vs konservatis ini juga digambarkan melalui perseteruan antara sang Nenek dengan sang Ayah. Sang Nenek mempercayai bahwa Nunung akan terkena kutukan menjadi perawan tua apabila Nana ‘melangkahi’ saudari tertuanya itu yang jelas-jelas dibantah oleh sang Ayah dan Nunung dengan menganggap bahwa itu hanyalah takhayul dan mitos saja. Budaya ketimuran tengah yang disanjung diperlihatkan ketika penolakan keras kepada gaya hidup Nunung yang dibuat seolah-olah bebas dengan ‘kumpul kebo’ bersama banyak pria di satu rumah.

Pada akhirnya, walau Tiga Dara dianggap sebagai produk dagang oleh Usmar Ismail, nyatanya narasi di dalamnya menerapkan kerangka representatif dari kebudayaan Indonesia, melalui ekspresi, cerita, dan karakter yang tampak di layar.

 

Baca lebih lanjut : http://kukuhgiaji.com/tiga-dara-memperdagangkan-film-idealis/ 

Ikuti tulisan menarik Kukuh Giaji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB