x

Sejumlah pelajar dari berbagai kalangan, melakukan aksi longmarch memperingati hari anti tembakau sedunia di Kawasan Mattoangin, Makassar, 31 Mei 2015. Para pelajar mengkampanyekan anti rokok, dan mensosialisasikan bahaya yang ditimbulkan dari asap r

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Harga Rokok Rp 50 Ribu Per Pak, Mengapa Tidak?

Jadi, jika Kementerian Keuangan mengungkapkan perusahaan-perusahaan rokok itu sebagai pembayar pajak tertinggi, jangan mudah terharu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per pak disambut hangat Ketua DPR Ade Komaruddin. Tak seperti koleganya di Partai Golkar, Firman Soebagyo yang getol memaksakan RUU Pertembakauan menjadi undang-undang dan menolak wacana kenaikan rokok Rp 50 ribu, Ade justru menyetujuinya.

Jika harga rokok sebungkus goban, kata Ade, akan mempengaruhi kebiasaan masyarakat yang menjadi ahli hisap. "Ini akan mengurangi kebiasaan itu," kata dia di Kompleks Parlemen, Jumat, 19 Agustus 2016.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keuntungan lain andai wacana itu benar-benar menjadi kebijakan, menurut Ade, secara otomatis akan menaikkan pendapatan negara. "Penerimaan negara dari sektor itu pasti meningkat," kata dia.  Saat ini, kontribusi cukai terhadap penerimaan negara pada 2015 tercatat Rp 144,6 triliun, dan 96,4 persen di antaranya berasal dari cukai rokok.

Apakah akan mempengaruhi pendapatan petani tembakau? Ade menampiknya. "Saya yakin hal itu tidak akan mengganggu. Mereka dapat bekerja seperti sediakala di sektornya," kata dia.

Ade benar. Mengapa? Selama ini, pendapatan petani tembakau tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga rokok sebungkusnya. Lha wong selama ini harga tembakau yang dipanen petani itu ditentukan oleh tengkulak atau pengepul. Bagaimana petani? Ya pasrah saja. Syukur-syukur hasil panenannya dihargai tinggi. Tapi jika hujan terus menerus seperti sekarang, jangan harap panen daun tembakau mereka bagus. Banyak yang membusuk akan mempengaruhi kualitas dan harga.

BACA:https://indonesiana.tempo.co/read/85842/2016/08/18/isti.timo.1/ratifikasi-fctc-bukan-sekadar-ikuti-tren-pak-presiden

Wacana harga rokok sebungkusnya Rp 50 ribu atau kalau beli batangan Rp 5.000 dilontarkan oleh Hasbullah Thabrany, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Menurut Profesor Hasbullah, kenaikan harga rokok sebungkus goban ini akan efektif menurunkan prevalensi perokok terutama masyarakat tidak mampu.

Menurut Hasbullah, angka Rp 50 ribu ini merupakan hasil survei terhadap seribu orang yang dilakukan lembaganya melalui telepon pada Desember 2015 hingga Januari 2016. “Sebanyak 72 persen bilang mereka akan berhenti merokok jika harga rokok di atas Rp 50 ribu,” ujarnya.

Selain menaikkan harga sebungkus rokok, orang akan berpikir dua kali untuk merokok jika cukai juga dinaikkan. Kenapa? Yak arena selama ini, beban cukai itu oleh perusahaan rokok dibebankan kepada perokok. Kalau pemerintah menaikkan cukai, ya konsumenlah yang menanggung dengan kenaikan harga rokok.

Jadi, jika Kementerian Keuangan mengungkapkan perusahaan-perusahaan rokok itu sebagai pembayar pajak tertinggi, jangan mudah terharu. Sebenarnya, konsumenlah aka rakyat perokoklah yang membayar cukai. Berat kan? Sudah kita harus bayar pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak hiburan, eh kita masih harus bayar cukai rokok. Perokok makin melarat, perusahaan rokok makin kaya sampai menjadi orang terkaya di Indonesia. Pedih deh.

Tapi lucunya, industri rokok jadi pihak pertama yang menolak gagasan itu. Direktur Gudang Garam Istata Taswin Sidharta menyatakan jika harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per pak akan memberatkan industri. "Saya rasa (industri) akan berantakan."

Padahal sesungguhnya, mau harga rokok per pak dan cukai dinaikkan, tidak akan berimbas apapun bagi mereka. Wong keuntungan mereka tetap. Wong yang bayar pajak dan kenaikannya ya pembeli. Iya sih, pendapatan akan sedikit turun karena perokok akan mulai belajar puasa tidak merokok atau minimal mengurangi konsumsi dari dua pak menjadi satu pak saja.

Tapi rasanya, mereka tidak turun-turun amat. Apa pasal? Iyalah. Produksi rokok itu dari tahun ke tahun bukannya menurun malah meningkat. Malahan, Kementerian Perindustrian lewat Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Industri Produk Tembakau memperkirakan kenaikan produksi rokok 5-7,4 persen per tahun. Jika 2015 produksi rokok kita sudah 362 miliar batang. Pada 2020, Kementerian Perindustrian mematok target produksi rokok 520 miliar batang!

Coba kita bayangkan 520 miliar batang itu dijembreng itu kira-kira berapa panjangnya. Jika satu batang itu diameternya 1 centimeter, maka 520 miliar batang akan menghasilkan 520.000.000.000 sentimeter, maka akan menghasilkan rokok sepanjang 5,2 miliar meter.  

Bagaimana dengan perokok? Momen ini seharusnya disambut dengan bersyukur dan bertekad berhenti merokok dong. Dari pada membakar uang, sudahkah Anda membayar uang sekolah anak tepat waktu? Gizi anak tercukupi gak? Jangan-jangan saking kecanduan merokok, Anda sampai mengabaikan anak cukup makan mi instan tiap hari? Jangan-jangan, saking keasyikan merokok, paru-paru bolong. Ujung-ujungnya, merengek kepada pemerintah untuk membayari biaya berobat.

 

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu