x

Ilustrasi larangan merokok. Ulrich Baumgarten via Getty Images

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ini Alasan Kita Tak Perlu Baper Jika Harga Rokok Naik

Pihak ahli hisap menjadi kelompok paling baper. Mereka rame-rame bersuara menolak jika harga rokok benar-benar dinaikkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepekan ini, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu. Ini seperti mengingatkan kembali masa pemilihan presiden, yang membela kubu Prabowo dan kubu Jokowi. Tapi yang sekarang, jauh dari hingar bingar kontestasi presiden. Isu harga rokok mengalahkan berita calon gubernur inkumben Basuki Tjahaja Purnama mengajukan judicial review soal cuti kampanye di Mahkamah Konstitusi. Bahkan melewatkan foto berita patung telanjang Donald Trump.

Pihak ahli hisap menjadi kelompok paling baper. Mereka rame-rame bersuara menolak jika harga rokok benar-benar dinaikkan. Teriakan mereka kencang, sekencang harga premium mau naik besok. Jadi, meski baru dilontarkan, mereka sudah ngamuk duluan. Padahal, mbok woles, selaw, kayak  besok sudah mau akhir dunia saja.

Dan lucunya, mereka mengeluarkan gaya lamanya: menuduh kelompok yang pro harga rokok naik ini ditunggangi asing. Katanya, ini upaya asing ingin melihat ekonomi Indonesia hancur jika rokok naik. Apa pasal? Katanya, petani tembakau bakal gigit jari karena panenan tembakau mereka bakal mangkrak di gudang jika orang sudah ogah membeli rokok. Katanya puluhan ribu buruh perusahaan rokok bakal nganggur karena terpaksa dirumahkan setelah manajemen menyerah dengan kenaikan harga rokok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gaya lebay ini ditonjolkan kesana kemari, terutama di media sosial untuk membakar kemarahan rakyat miskin yang merasa tidak akan mampu beli rokok. Dan cara paling ampuh membakar mereka dengan membuat kalimat propaganda: merokok adalah hak asasi.

Mari kita bicara fakta. Jangan marah dulu, sob. Masak yang berhak marah cuma ahli hisap doang. Kita gak marah kok, hanya ingin memaparkan fakta.

Pertama. Kenapa sih harga rokok harus mahal? Harga rokok mahal biar orang berpikir dua kali untuk merokok. Mari hidup sehat. Tahukah Anda, kelompok masyarakat marjinal menghabiskan biaya tertinggi kedua setelah beras ya untuk beli rokok.

Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menyatakan rokok penyumbang kemiskinan kedua setelah beras. Rokok, baik kretek atau filter berkontribusi sebesar 9,08 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan 7,06 persen di pedesaan. ''Rokok memang  tidak menyumbang kalori, tapi tetap harus dihitung sebagai pengeluaran," kata Suryamin, di Jakarta, 18 Agustus lalu.

Menurut Suryamin, jenis komoditas yang paling berpengaruh besar, baik di perkotaan maupun perdesaan, adalah beras, rokok, telur ayam ras, gula pasir, mi instan, bawang merah, dan roti. Sedangkan, komoditas nonmakanan adalah perumahan, listrik, bensin, pendidikan, dan perlengkapan mandi.

Jadi, orang akan memilih tidak usah pakai lauk dan gizi cukup asal tetap bisa merokok. Anak menderita gizi buruk, peduli amat. Gak usah peduli biaya sekolah menunggak lima bulan, yang penting anggaran untuk merokok tidak berkurang. Gak usah sedih melihat anak jalan kaki ke sekolah karena ongkos transport mereka sudah dikutil bapaknya buat merokok. Yang penting asap di mulut mengepul. Keren euy.

BACA:http://indonesiana.tempo.co/read/86072/2016/08/19/isti.timo.1/harga-rokok-rp-50-ribu-per-pak-mengapa-tidak

Tujuan paling penting harga rokok mahal adalah, agar anak-anak tidak dapat menjangkaunya. Dengan harga sebungkus goban yang lebih tinggi dari uang saku mereka, rasanya akan efektif mencegah pertumbuhan bahkan mengurangi perokok pemula.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menyebutkan, perokok pemula (dari umur 10-14 tahun), naik dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Jika pada 2001, perokok pemula masih di angka 5,9 persen, pada 2010 angkanya melonjak menjadi 17,5 persen.

Yang mengerikan, riset tersebut menemukan fakta bahwa konsumsi rokok pada usia perokok pemula itu menghabiskan delapan batang per hari atau 240 batang sebulan! Bayangkan! Ini artinya, anak-anak kita sudah mengeluarkan Rp 120 ribu untuk belanja rokok. Bagaimana? Masih cuek dengan kondisi ini? Iya sih, kalau sudah bebal, sudah mati rasa ya. Padahal, anak-anak itu tumpuan masa depan kita. Merekalah yang bakal membangun negeri ini.

Kedua. Pada sadar gak sih, para perokok ini sudah kecanduan rokok makanya ngamuk-ngamuk dengar isu harga rokok bakal setara lima liter beras. Beberapa jam tidak merokok, mulut rasanya pahit, bingung mau melakukan sesuatu, gelisah. Itu tanda-tanda kecanduan. Persis kecanduan ganja dan obat-obatan. Di dalam sebatang rokok, terkandung zat nikotin yang membuat perokok kecanduan, darah cepat membeku, dan mengeraskan dinding arteri. Bagi yang sudah kecanduan rokok, pergilah ke rehabilitasi narkoba.

Ketiga. Selain mengandung zat nikotin, wahai para perokok, tahukah Anda bahwa rokok yang kalian isap ini mengandung Tar? Iya, ini Tar, bahan pembuat aspal. Efek buruknya, bisa menempel di paru-paru dan menimbulkan iritasi bahkan kanker. Logika sederhana saja. Aspal dipakai untuk melekatkan material pembuatan jalan. Kira-kira begitulah lengketnya di paru-paru kita. Dimana-mana, aspal itu buat jalan bukan buat paru-paru. Masih banyak zat buruk lainnya yang terkandung dalam sebatang rokok, seperti karbon monoksida dan karsinogen. Tapi pelan-pelanlah dikasih tahu, nanti pingsan kalau tahu banyak.  

Keempat. Benarkah merokok itu hak asasi? Boleh sih berpendapat begitu. Tapi hidup sehat juga hak asasi kan? Apakah para ahli hisap ini pernah terpikir bahwa rokokmu itu telah meracuni kami? Kami yang tidak merokok ini pun harus terpaksa mengisap asap yang dikeluarkan dari mulut kalian dengan gaya sok keren. Padahal kami sesak napas.

Saya kerap geram jika melihat seorang bapak tengah menggendong anak balitanya sambil merokok. Jika diingatkan bukannya malu malah menyahut, “anak-anak saya sendiri kok situ yang sewot.” Rasanya ingin melempar sandal  ke muka bapak itu. Jangan bilang sayang pada anak jika Anda tega meracuni dia tepat di mukanya dan membiarkan balita itu menjadi second hand smoker.

Kelima. Benarkah kami ini ditunggangi asing? Ini tudingan paling menggelikan. Lha kami ini merindukan lingkungan yang sehat kok gak boleh. Boleh deh digeledah dompet kami, mungkin uangnya sedikit lebih banyak dari para perokok karena kami sayang mengeluarkan uang untuk beli rokok. Tapi ya gak sampai miliaran dolar seperti yang digelontorkan Phillip Morris untuk ekspansi bisnis ke Sampoerna sebanyak US$ 1,9 miliar.

Nah, kalau lihat uang sejumlah itu, yang ditunggangi sebenarnya siapa ya? Ini jelas lho. Ekspansi bisnis Phillip Morris itu untuk belanja modal dan penerbitan saham baru PT HM. Sampoerna, Tbk.

Keenam. Benarkan perusahaan rokok akan gulung tikar. Akibatnya puluhan ribu buruh pabrik rokok menganggur. Ah, jangan mudah terbakar. Faktanya, jauh sebelum isu harga rokok naik, perusahaan rokok sudah merumahkan puluhan ribu karyawannya. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia pada Oktober tahun lalu melansir puluhan ribu buruh pabrik rokok dirumahkan: 12.125 pekerja di PT HM. Sampoerna, 6.189 orang di PT. Gudang Garam, dan seribu buruh di PT Bentoel. Alasannya demi efisiensi karena mesin sudah berhasil menggantikan tenaga manusia.

Ketujuh. Petani tembakau akan makin miskin karena orang enggan membeli rokok. Jangan mudah terharu dengan cerita begini. Faktanya, petani tembakau dari dulu merupakan kelompok paling rentan. Panen mereka tergantung cuaca. Jika bagus, daun tembakau itu dihargai mahal. Dan penentunya bukan petani itu sendiri tapi tengkulak atau pengepul. Hasil panen tembakau dari petani Indonesia masih jauh dari cukup. Tembakau yang digunakan untuk memproduksi rokok, 60 persennya impor bukan buatan asli Indonesia.

Kedelapan. Benarkah perekonomian kita akan morat-marit karena harga rokok ? Anda tahu, penerimaan cukai rokok pada 2015 sebesar 139,5 triliun atau 96 persen dari total pendekatan cukai negara. Tampaknya besar ya. Tapi tunggu dulu. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melansir pengeluaran pemerintah pada 2015 untuk biaya rawat  inap dan jalan tertinggi semuanya berkaitan dengan rokok atau penyakit tidak menular. Misalnya, kanker atau tumor paru, trakea, tumor mulut dan tenggorokan, stroke, dan jantung koroner.

Berapa biayanya? Untuk tahun 2013 saja, menurut hasil Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Litbangkes), besar beban yang ditanggung pemerintah akibat penyakit ini sebesar Rp 378,75 triliun atau tiga kali lebih besar dari penerimaan cukai rokok tahun 2015.

Bagaimana? Masih mau mengamuk? Boleh saja, tapi jangan sampai Anda mengaburkan fakta bahwa merokok telah mengancam hak hidup anak-anak Indonesia yang seharusnya sehat fisik dan mentalnya tapi menjadi sakit-sakitan akibat Anda lebih memilih membeli rokok ketimbang makanan bergizi dan bayar sekolahnya.

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB