x

Iklan

yon bayu wahyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Klaim Didukung PDIP, Ahok Bakal Malu Hati?

Bukan kali ini saja Ahok mengklaim mendapat dukungan politik dari PDIP.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah untuk yang ke berapa kalinya, petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengklaim mendapat dukungan dari PDIP. Klaim terakhir disuarakan Ahok setelah bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bersama pengurus PDIP lainnya  di markas partai berlambang banteng mocong putih itu sebelum menghadiri upacara penurunan bendera pusaka di Istana Merdeka.

Tidak ada yang meragukan kedekatan Ahok dengan Megawati. Bahkan dalam dua hari terakhir, 16-17 Agustus kemarin, setidaknya tiga kali mereka bertemu yakni saat di gedung MPR/DPR, Istana Merdeka dan kantor DPP PDIP. Mungkin hanya Ahok, satu-satunya gubernur di Indonesia, yang bisa berada dalam mobil kepresidenan bersama Presiden Joko Widodo dan Megawati. Jika ditarik lebih jauh, Megawati juga pernah “merestui” Ahok menjadi pasangan Jokowi saat Pilgub DKI 2012 lalu, meski saat itu status Ahok diusung oleh Partai Gerindra. Tetapi jika Megawati tidak merestui, tentu pasangan Jokowi bisa saja bukan Ahok.

Mengapa Ahok masih (sangat) berharap dukungan PDIP, mendekati Megawati secara intens, bahkan sampai “menyuruh” Djarot Saiful Hidayat untuk mengkondisikan pertemuan dengan Megawati di kantor DPP PDIP untuk menjemput restu? Bukankah Ahok pernah mengatakan tidak butuh PDIP, tidak ada urusan dengan PDIP kecuali dengan Megawati?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ahok terlihat masih kurang sreg dengan tiga partai pengusungnya. Di samping sebagai antisipasi manakala ketiga partai pendukungnya membelot di last minute, Ahok merasa kurang nyaman karena nasib pencalonannya pada gelaran Pilgub DKI 2017 sangat tergantung pada kehendak politik Partai Nasdem, Hanura dan Golkar. Ruang gerak politik Ahok pun tersandera. Sekali saja membuat manuver yang “menyakiti” satu di antara tiga partai tersebut, maka pupus harapannya untuk bisa mempertahankan kursi gubernur DKI Jakarta.

Rivalitas ketiga partai pendukungnya terkait siapa yang akan dijadikan wakilnya juga sangat riskan menimbulkan perpecahan jika tidak dikelola dengan bijak. Pernyataan  keras Nasdem beberapa waktu lalu agar partai pendukungnya tidak memaksakan kehendak dan menyerahkan sepenuhnya siapa calon wakil yang akan dipilih Ahok, mencerminkan adanya gesekan di internal pendukungnya.

Selain kepada PDIP, Ahok dan timnya diketahui juga melakukan gerilya terhadap partai politik lainnya. Berbagai pernyataan yang mengemuka baik yang disampaikan Ahok maupun politisi lain, seperti Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dan kader Partai Demokrat Ruhut Sitompul, bahwa akan ada partai lain yang ikut mendukung mereka, bisa menjadi penandanya.  Langkah ini bisa dipahami mengingat Ahok membutuhkan satu partai yang besar untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) politiknya bukan saja saat pilkada, namun juga kelak jika dirinya memenangi Pilgub DKI Jakarta 2017. 24 kursi di DPRD DKI yang mendukung Ahok saat ini yakni dari Hanura (10), Nasdem (5) dan Golkar (9), merupakan minoritas dibanding 82 kursi yang berada di seberangnya. Jika Ahok berhasil mendapat dukungan PDIP (28 kursi), maka kekuatan politinya di DPRD DKI akan berimbang.

Namun benarkah Ahok telah “mengantongi” restu Megawati untuk menggunakan perahu PDIP dalam kontestasi pilkada Jakarta? ataukah Megawati tengah “ngerjain” Ahok dengan seolah merestuinya, padahal dia tahu kadernya ramai-ramai menolak? Video “Ahok Pasti Tumbang” yang diserukan kader-kadernya di kantor DPD PDIP, jelas sekali menunjukkan sikap itu dan mustahil Megawati tidak tahu.

Bukan baru sekali saja Megawati membuat keputusan dukungan kepada calon yang tidak disukai kadernya. Dukungan kepada Sutiyoso dalam Pilgub DKI sebelumnya, hanya salah satu contoh bagaimana Megawati “tega” membuat keputusan yang menyakiti kadernya meski secara hitung-hitungan politik dan juga realitas saat itu, keputusannya Megawati sudah tepat. Megawati tidak mau terbawa perasaan kadernya dalam membuat kepeutusan. Megawati juga dikenal sebagai politisi yang tidak mudah menyerah meski berada di dalam tekanan dan ditinggal kader-kader populernya.

Dari gambaran itu, bukan mustahil Megawati akan memberikan dukungan kepada Ahok. Tetapi Ahok jangan gede rumongso (terbuai) dulu. Sebab kemungkinan dukungan itu hanya 0,01 persen.  Mengapa? Konstelasi politik saat ini berbeda dengan zaman Sutiyoso. Keterlibatan Sutiyoso dalam kasus Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), masih debatable mengingat dirinya bukan penentu ketika “orang-orang tanpa identitas” menyerbu markas PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.tahun 1996 lalu.     

Sutiyoso juga tidak pernah membuat pernyataan yang langsung menohok Megawati maupun PDI (P). Hal itu berbeda dengan yang dilakukan Ahok. Bahkan Megawati sendiri sempat memberikan reaksi keras terkait pernyataan-pernyataan Ahok soal jalur independen, mahar partai, dan tentu saja ilustrasi maskot PDIP yang dibuat Teman Ahok.

Dalam beberapa hari ke depan akan terjawab semua teka-teki itu. Apa pun keputusan Megawati, yang pasti kader-kadernya telah menunjukkan sikap jelas dan tegas menolak Ahok.***  

 

Ikuti tulisan menarik yon bayu wahyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler