x

Presiden Rusia, Vladimir Putin menyambut kedatangan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat bereada di Konstantin palace, St.Petersburg, Rusia, 9 Agustus 2016. Petermuan ini merupakan salag satu perbaikan hubungan kedua negara. AP/Alexander Zemlia

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antara Erdogan, Rusia, dan Suriah~Smith Al-Hadar

Pada 9 Agustus lalu, pertemuan antara Presiden Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Saint Petersburg, Rusia, membicarakan krisis Suriah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh: Smith Al-Hadar

Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kendati telah berlangsung lima tahun, krisis Suriah masih saja memanas. Perang Aleppo, yang dilancarkan pasukan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad terhadap oposisi, hingga kini belum membuahkan hasil. Aleppo adalah kota terbesar kedua setelah Damaskus dan merupakan kota industri. Tapi tujuan serangan pasukan Assad bukanlah menguasai kota itu sepenuhnya, melainkan memecah-belah Provinsi Aleppo, memutus jalur suplai senjata dari Turki, lalu mengisolasi bagian-bagian yang terpecah.

Dengan begitu, bantuan kemanusiaan PBB ke bagian-bagian wilayah yang diisolasi itu sangat bergantung pada belas kasih rezim Assad, yang hendak meningkatkan posisi tawarnya saat menghadapi oposisi dalam perundingan damai di Jenewa kelak. Namun, berkat bantuan senjata dari negara-negara Arab Teluk dan Turki, oposisi berhasil membongkar kepungan rezim Assad dan koalisinya sehingga jalan militer sebagai solusi politik krisis Suriah mentah kembali.

Bagaimanapun, ada perkembangan baru pasca-kudeta gagal terhadap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Turki. Pada 9 Agustus lalu, pertemuan antara Presiden Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Saint Petersburg, Rusia, membicarakan krisis Suriah. Putin mendesak Erdogan mempertahankan Bashar al-Assad di kursi kekuasaan sebagai syarat pemulihan penuh hubungan politik dan ekonomi kedua negara yang sempat terganggu gara-gara pesawat tempur F-16 Turki menembak pesawat tempur Su-24 Rusia pada November tahun lalu. Selama ini, Turki bersama Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Arab Teluk mendukung oposisi untuk mendongkel Assad.

Pada 12 Agustus lalu, giliran Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif bertemu dengan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu di Ankara. Keduanya juga berbicara mengenai krisis Suriah. Iran adalah pendukung Assad. Dan, sebagaimana Rusia, Iran adalah mitra ekonomi Turki yang penting. Baik Putin maupun Presiden Iran Hassan Rouhani membuat Erdogan senang ketika mereka mengecam kudeta gagal itu.

Memang tidak mudah bagi Erdogan untuk mengubah posisinya di Suriah, mengingat selama bertahun-tahun media-media Turki telah mengasah kebencian rakyat Turki terhadap Assad. Apalagi Turki akan kehilangan aliansinya dengan negara-negara Arab Teluk. Tapi bukan tidak mungkin Erdogan berubah pikiran, mengingat hubungan Turki dengan AS dan UE kian memburuk belakangan ini. Selain itu, Unit Perlindungan Rakyat (YPG)-milisi Kurdi-dengan bantuan AS telah menguasai sebagian besar wilayah Suriah utara yang telah diproklamasikan sebagai wilayah federal Kurdi. Rezim Assad, Iran, dan Turki menentang perkembangan ini.

Hubungan Turki-AS memburuk karena Washington belum mau mengekstradisi ulama liberal Turki, Muhammad Fethullah Gulen, karena lemahnya bukti keterlibatan Gulen dalam kudeta gagal di Turki itu. Sementara itu, UE terus saja mengkritik Erdogan karena perlakukan brutal aparat Turki terhadap puluhan ribu pengikut Gulen. UE juga belum menerapkan perjanjian Turki-UE mengenai pengungsi Suriah, padahal Turki telah memenuhi kewajibannya dengan menghentikan gelombang pengungsi ke Eropa. Seharusnya, UE segera memberikan bantuan 8 miliar euro, membebaskan visa bagi warga Turki yang mau bepergian ke wilayah Schengen, dan membuka pembicaraan tentang lamaran Turki menjadi anggota UE. Undang-Undang Anti-Terorisme Turki yang berpotensi melanggar hak asasi manusia dan demokrasi menjadi alasan utama UE menangguhkan penerapan perjanjian itu.

Mengingat AS dan UE tak dapat ditekan dan tampak tidak akan memenuhi harapan Turki, logislah bila Erdogan berpaling ke Rusia dan Iran. Terlebih, ini menyangkut integritas wilayah Turki. Berdirinya wilayah federal Kurdi di Suriah utara, yang didominasi YPG, mengancam keamanan Turki. YPG adalah bagian dari kelompok separatis Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara. Bila perkiraan ini tidak meleset, peta politik Suriah akan segera berubah ke arah yang menguntungkan Assad.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler