x

Warga dibantu petugas membuat e-ktp di dalam mobil Pelayanan Kependudukan dan Pencatatan Sipil KTP Keliling kawasan Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 28 April 2016. TEMPO/Subekti

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Administrasi Kependudukan yang Bermasalah

Tanpa adanya data, warga tak akan mendapat Nomor Induk Kependudukan (NIK). Tanpa NIK, akses mereka ke layanan publik akan terganjal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah mesti proaktif menghadapi problem administrasi kependudukan dan kemungkinan terganjalnya jutaan warga negara dalam mengakses layanan publik. Jika keadaan ini lambat ditangani, pemerintah bisa disebut tidak menjalankan kewajiban dengan baik dalam melayani rakyatnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Problem administrasi itu muncul karena hingga kini masih ada sekitar 22 juta penduduk yang belum melakukan perekaman data kependudukan. Rekaman tersebut diperlukan untuk pembuatan KTP elektronik alias e-KTP. Padahal e-KTP ini wajib dimiliki setiap orang. Jika sampai 30 September 2016 data tak direkam, data akan diblok.

Tanpa adanya data, warga tak akan mendapat Nomor Induk Kependudukan (NIK). Tanpa NIK, akses mereka ke layanan publik akan terganjal. Misalnya, mereka tak bisa mengurus dan mengikuti layanan kesehatan BPJS, mengurus pernikahan, pendaftaran kartu perdana telepon seluler, pembuatan surat izin mengemudi, dan pembuatan surat izin usaha.

Memang hal itu tergantung kesadaran masyarakat sendiri untuk menyampaikan rekaman datanya. Hanya, inisiatif dari jajaran pemerintah tetap diperlukan guna mendorong masyarakat segera mengurus kewajibannya tersebut.

Ada baiknya dilakukan pemeriksaan ihwal penyebab keterlambatan-atau juga keengganan warga-menyetorkan data. Bisa jadi ada kendala teknis hingga situasi geografis yang menjadi penyebabnya. Jajaran pemerintahan "terdepan", kelurahan, seyogianya mengambil langkah terobosan demi menyelamatkan kepentingan warga itu. Bukan zamannya lagi aparat duduk manis di belakang meja menunggu bola.

Problem administrasi kependudukan ini kian bertambah karena sudah beberapa bulan ini blanko e-KTP tak tersedia secara memadai. Akibatnya, hak warga untuk mendapatkan e-KTP tertunda lama karena kantor kelurahan tak cukup memiliki blanko. Kelangkaan ini bahkan juga terjadi di Jakarta.

Di Ibu Kota, saban hari ada 4.000 permohonan e-KTP baru. Tapi sebagian besar terpaksa menunggu karena DKI hanya memperoleh jatah 3.000-4.000 lembar blangko per bulan. Hingga kini ada sekitar 60 ribu data e-KTP yang belum bisa dicetak. Hal serupa terjadi di kota lainnya, baik di Jawa maupun luar Jawa.

Pemerintah beralasan minimnya jumlah blanko ini disebabkan oleh pemotongan anggaran. Akibatnya, pencetakan blanko tidak bisa lagi sebanyak yang diperlukan. Meski demikian, tak selayaknya pemerintah berdiam diri. Memang pemerintah kabupaten lantas mengatasi hal ini dengan menerbitkan Surat Keterangan Penduduk sebagai pengganti e-KTP. Tapi tidak sedikit warga yang mengalami kesulitan menggunakan surat tersebut untuk urusan-urusan tertentu. Persoalannya, instansi yang dituju tetap saja mensyaratkan KTP.

Pemerintah tak boleh menganggap sepele masalah ini. Konstitusi mewajibkan pemerintah melayani hak dan kebutuhan warga negara akan layanan publik. Kepastian hukum bagi warga untuk mendapatkan layanan publik ini tertera dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Amanat ini harus dijalankan demi menjaga kepercayaan warga negara kepada pemerintah. *

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler