x

Tersangka jaringan internasional peredaran narkoba yang ditangkap pada 17 Agustus 2016. Dua tersangka adalah warga negara Taiwan, mereka kini ditahan di Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta Selatan, 24 Agustus 2016. Tempo/Rezki Alvionitasari.

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lebih Gampang Dapat Narkotik daripada Kacang Goreng

Bisnis narkotik dan permainan petugas dengan pengedarnya mewabah sejak pertengahan 1970-an.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Denyut jantung Freddy Budiman terhenti pada Jumat dinihari, 29 Juli 2016. Narapidana mati kasus impor ekstasi sebanyak 1,4 juta butir itu tewas oleh petugas di Lapangan Tembak Limus Buntu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Pada 2014, Freddy diwawancarai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar. Setelah Freddy menjalani hukuman mati, Haris menyebarkan hasil wawancara tersebut ke media sosial. Publik geger karena Freddy mengungkap adanya oknum Polri, TNI, dan Badan Narkotika Nasional yang turut "bermain" dalam bisnisnya.

Bisnis narkotik dan permainan petugas dengan pengedarnya di Tanah Air mewabah sejak pertengahan 1970-an. Majalah Tempo edisi 17 Juli 1976 menuliskannya dengan judul "Narkotik atau Kacang Goreng". Cerita dimulai dengan jaksa yang menangkap orang yang membawa morfin di Lapangan Terbang Halim Perdanakusuma.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tersangka dititipkan ke Lembaga Ketergantungan Obat (LKO) Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Tak lama kemudian, dia kabur. Jaksa berhasil menahannya kembali. Namun tersangka pergi lagi tanpa pamit. Cerita tentang tersangka kasus narkotik yang kabur juga terjadi di Wisma Pamardi Siwi, yang diurus Komdak Metro Jaya.

Orang tua memang bisa menitipkan anaknya yang kecanduan narkotik. Pelajaran yang diterima para penghuni Pamardi Siwi meliputi pendidikan umum dan kejuruan. Mereka diarahkan untuk kembali kepada orang tua. Tapi khusus pengidap yang parah dikirim ke klinik narkotik setelah melalui pemeriksaan kesehatan.

Dari para pemuda pengidap sering keluar jawaban bahwa mereka gampang memperoleh narkotik daripada kacang goreng. Kenapa begitu? Sebab, banyak pengedar yang tertangkap tapi mudah lepas setelah memberikan "apa-apa".

Polisi punya daftar komplet tentang bursa bahan terlarang ini. Tapi pasaran bisa sepi bila sedang ada Operasi Gurita. Namun, selesai operasi, pasaran ramai lagi. Walhasil, barang bukti yang disita minim padahal anggaran untuk operasi sangat besar, yakni Rp 200 juta.

Ada kejadian seorang perwira anggota Operasi Gurita mendatangi keluarga seorang tersangka yang sedang ditahan. Kabarnya, perwira ini menjanjikan akan mengabulkan permohonan tahanan luar dari yang bersangkutan. Tapi, karena belum ada persesuaian, janji tersebut belum dapat dimakbulkan.

Kemudian gerakan yang biasanya dilakukan secara mendadak ini pernah pula menangkap seorang pengedar yang sedang berada dalam status tahanan luar seorang jaksa—tentu saja dengan jaminan. Rupanya, dalam hal ini Gurita berbeda pendapat tentang perlu-tidaknya orang tersebut ditahan luar—walaupun sebenarnya usaha pemberantasan narkotik ditempatkan di bawah satu koordinasi, yakni Bakolak Inpres 1971.

Upaya menanggulangi penyalahgunaan narkotik dilakukan dengan sejumlah pendekatan oleh polisi, jaksa, hakim, dan pemerintah. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sempat dongkol karena ada pengedar narkotik yang hanya dijatuhi hukuman denda Rp 5.000. Hukuman itu, kata dia, tidak seimbang dengan biaya operasi. Ia sangat setuju bila pengedar narkotik diganjar hukuman mati.

Kepala Kepolisian RI Widodo melihat bahwa operasi pemberantasan tak cukup dilakukan sepotong-sepotong, tapi harus terus-menerus dan menyediakan fasilitas untuk daerah. Kapolri memandang lebih baik memberi dana penunjang bila ada operasi. Tak usah merombak struktur bagian obat bius.

Apabila kebijakan seperti itu betul dijalankan, masih lumayanlah. Tapi yang berjalan belakangan ini tidak begitu. Bahan pengumpulan data dari daerah ditarik ke pusat. Begitu juga sejumlah perwira ditarik. Tapi, selama operasi yang diatur pusat berjalan, daerah tidak boleh menjalankan operasi.

Mau tak mau ini menimbulkan isu macam-macam. Tak kurang dari Direktur Reserse Narkotika Mabak Brigadir Jenderal Polisi Taslim Ibrahim mengakui timbulnya rasa frustrasi di kalangan para petugas lapangan sebagai akibat salah urus di atas. Salah-salah orang di lapangan lebih suka mengutip upeti dari para pengedar narkotik. Akibatnya, bahan terlarang ini akan mudah didapat, lebih mudah daripada mendapatkan kacang goreng.

*) Artikel ini terbit di majalah Tempo edisi 8 Agustus 2016

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB