Melihat video rekaman siaran televisi yang diunggah dalam youtube terkait pengakuan pengusaha Sukanto Tanoto tentang anggapannya terhadap Indonesia memang harus disikapi dengan kepala dan hati dingin. Coba lihat dan baca terjemahan bahasa Inggrisnya (bagi yang tak faham bahasa Cina) dalam youtube ini, terutama pada menit ke 3'50".
Rupanya menurut Sukanto Tanoto, Indonesia hanya dianggap sekedar ayah angkat (adopted father) sedangkan tanah leluhurnya, Cina, adalah ayah kandung (natural father). Saya kasihan dengan para sahabat keturunan etnis Tionghoa yang darah dagingnya 100% telah menyatu dengan Indonesia. Apalagi mereka merasa lahir, dibesarkan, mencari nafkah dan hidup dari tanah Indonesia. Tak terbilang banyaknya para sahabat keturunan Tionghoa itu yang telah berjuang mengharumkan Indonesia, termasuk orang seperti Rudy Hartono dan Ivana Lie, dan akhir akhir ini Liliyana Natsir (pebulu tangkis). Dan tentu tak terbilang banyaknya warga keturunan Tionghoa dengan beragam profesi yang hatinya menyatu padu dalam rasa keindonesiaan.
Namun sangatlah ironis kelihatannya rasa kebangsaan seperti itu tak terjadi pada diri Sukanto Tanoto. Padahal ia perutnya telah buncit dan menjadi begitu kaya raya karena bisnis di Indonesia. Beragam bisnis di Indonesia, dari pemasok peralatan dan kebutuhan Pertamina, menguasai bisnis hutan, perkebunan sawit hingga industri pengolahan kayu, dan banyak lagi, rupanya tak menjadikan Indonesia sebagai bagian penuh dari hatinya. Indonesia hanyalah dianggap sebagai "ayah angkat" semata. Saat bangsa Indonesia yang sejati mengucapkan "Indonesia tanah air beta," Sukanto Tanoto mengatakan dengan entengnya: "Blood is thicker than water" (darah lebih pekat dari air). Sukanto Tanoto pun merujuk keturunan darah dari mana dirinya berasal. Apakah Indonesia belum cukup memberikan kekayaan begitu melimpah padanya? Lihat kiprah Sukanto Tanoto dalam:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sukanto_Tanoto
Coba bandingkan juga laporan Tempo berikut:
Namun, dengan melihat sosok Sukanto Tanoto ini, kita perlu hati hati agar kita tak terjebak pada sikap generalisasi yang berujung pada sikap rasis yang membuat orang tak berdosa menjadi sasaran kebencian. Loyalitas kebangsaan harus dipupuk dan ukurannya adalah apa yang ada dalam hati, yang diucapkan oleh mulut, dan diaktualisasikan dalam tindakan. Cinta tanah air, loyalitas kebangsaan, dapat luntur dan hilang pada siapa saja.
Semoga Indonesia, dalam dirgahayu ke 71, dapat semakin selektif dalam memberikan usaha untuk kemakmuran bangsa.
#iPras 2016
[19:34, 8/25/2016] Imam Prasodjo: INDONESIA HANYA SEKEDAR "AYAH ANGKAT"?
Melihat video rekaman siaran televisi yang diunggah dalam youtube terkait pengakuan pengusaha Sukanto Tanoto tentang anggapannya terhadap Indonesia memang harus disikapi dengan kepala dan hati dingin. Coba lihat dan baca terjemahan bahasa Inggrisnya (bagi yang tak faham bahasa Cina) dalam youtube ini, terutama pada menit ke 3'50".
Rupanya menurut Sukanto Tanoto, Indonesia hanya dianggap sekedar ayah angkat (adopted father) sedangkan tanah leluhurnya, Cina, adalah ayah kandung (natural father). Saya kasihan dengan para sahabat keturunan etnis Tionghoa yang darah dagingnya 100% telah menyatu dengan Indonesia. Apalagi mereka merasa lahir, dibesarkan, mencari nafkah dan hidup dari tanah Indonesia. Tak terbilang banyaknya para sahabat keturunan Tionghoa itu yang telah berjuang mengharumkan Indonesia, termasuk orang seperti Rudy Hartono dan Ivana Lie, dan akhir akhir ini Liliyana Natsir (pebulu tangkis). Dan tentu tak terbilang banyaknya warga keturunan Tionghoa dengan beragam profesi yang hatinya menyatu padu dalam rasa keindonesiaan.
Namun sangatlah ironis kelihatannya rasa kebangsaan seperti itu tak terjadi pada diri Sukanto Tanoto. Padahal ia perutnya telah buncit dan menjadi begitu kaya raya karena bisnis di Indonesia. Beragam bisnis di Indonesia, dari pemasok peralatan dan kebutuhan Pertamina, menguasai bisnis hutan, perkebunan sawit hingga industri pengolahan kayu, dan banyak lagi, rupanya tak menjadikan Indonesia sebagai bagian penuh dari hatinya. Indonesia hanyalah dianggap sebagai "ayah angkat" semata. Saat bangsa Indonesia yang sejati mengucapkan "Indonesia tanah air beta," Sukanto Tanoto mengatakan dengan entengnya: "Blood is thicker than water" (darah lebih pekat dari air). Sukanto Tanoto pun merujuk keturunan darah dari mana dirinya berasal. Apakah Indonesia belum cukup memberikan kekayaan begitu melimpah padanya? Lihat kiprah Sukanto Tanoto dalam:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sukanto_Tanoto
Coba bandingkan juga tulisan seseorang dalam indonesiana.tempo.co berikut:
http://indonesiana.tempo.co/read/86631/2016/08/23/ardiblenda/sukanto-tanoto-indonesia-ayah-angkat-cina-ayah-kandung
Dan juga laporan ini:
http://nusantarakini.com/2016/08/24/lihat-sukanto-tanoto-indonesia-cuma-ayah-angkat-china-ayah-kandungnya/
Namun, dengan melihat sosok Sukanto Tanoto ini, kita perlu hati hati agar kita tak terjebak pada sikap generalisasi yang berujung pada sikap rasis yang membuat orang tak berdosa menjadi sasaran kebencian. Loyalitas kebangsaan harus dipupuk dan ukurannya adalah apa yang ada dalam hati, yang diucapkan oleh mulut, dan diaktualisasikan dalam tindakan. Cinta tanah air, loyalitas kebangsaan, dapat luntur dan hilang pada siapa saja.
Semoga Indonesia, dalam dirgahayu ke 71, dapat semakin selektif dalam memberikan usaha untuk kemakmuran bangsa.
#iPras 2016
Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.