x

Iklan

Hambali

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baduy, Kita Layak Berkaca

Suku Baduy, dilestarikan dan diberdayakan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak diantara kita tahu suku Baduy adalah suku yang hidup di pegunungan desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Justru saya yang hanya sedikit sekali tahu tentang suku Baduy, karena hanya sekali berkunjung, hanya semalam menginap di kampung Cibeo, Baduy dalam. Karena keterbatasan pengetahuan saya tersebut saya tidak akan membahas terlalu banyak tentang suku Baduy, saya hanya akan menyampaikan kegundahan saya setelah saya berkujung ke Baduy luar dan Baduy Dalam, berdialog dengan mereka, ditemani pemandu setempat. Di satu sisi saya perlu belajar dari kearifan adat Baduy, disisi lain kita perlu memberdayakan saudara kita suku Baduy tersebut.

Seperti kita ketahui, suku Baduy merupakan suku yang sangat memegang teguh adat istiadat leluhur yang tercermin dengan ajaran atau falsafah hidup “Lojor teu meunang dipotong pondok teu meunang disambung yang artinya, panjang tidak boleh dipotong pendek tidak boleh disambung. Ajaran tersebut bagaikan pisau bermata dua, positif dan negatif.

Dalam hal pelestarian lingkungan, suku Baduy sangat bisa diandalkan karena berpegang teguh kepada ajaran “panjang tidak boleh dipotong pendek tidak boleh disambung”. Saking patuhnya justru menyulitkan beberapa kehidupan mereka misalnya, dalam menanam padi, selalu kekurangan air, karena ditanam di pegunungan dengan kemiringan tanah sekitar 45 derajat tanpa dibuat terasering. Padahal kita tahu tanaman padi membutuhkan air yang cukup banyak,  hingga hasilnya sangat minim. Saya melihat beras yang mereka makan termasuk yang dihidangkan ke saya adalah beras selip dari pasar, bukan beras tumbuk dari mereka.  Nasi tersebut dihidangkan dengan mie instan dan ikan asin, yang merupakan menu setiap hari mereka. Kenapa mie instan dan ikan asin? Karena keduanya bisa disimpan jangka waktu lama. Kata mereka, mereka sangat jarang makan ikan segar apalagi daging. Mereka memelihara ayam itupun tidak banyak, tidak ada binatang ternak yang lain. Untuk ukuran orang modern, mereka sangat sedikit mengkonsumsi protein hewani tetapi badan mereka sehat, mungkin tercukupi dari protein nabati. Fisik suku Baduy pada umumnya bagus dan mereka adalah pekerja keras.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam hal perkawinan, mereka banyak melakukan perkawinan dengan saudara dekat terutama sepupu, yang dikhawatirkan lahirnya anak cacat bawaan. Yang lebih menyedihkan, tidak adanya tenaga medis di kampung Baduy sehingga melahirkan masih ditangani oleh dukun bayi atau paraji, tentu sangat beresiko bagi bayi maupun ibu melahirkan.

Mungkin sejak ratusan tahun lalu para leluhur suku Baduy menyadari tingginya resiko kebakaran, terbukti dengan dibangunnya lumbung padi (leuit) terpisah dari rumah tinggal mereka. Ketika menginap di salah satu rumah suku Baduy dalam, setelah menikmati santap malam berupa nasi, mie instan dan ikan asin yang baru saja dimasak di tungku dekat tempat saya tidur, yang terpikir oleh saya adalah bagaimana seandainya terjadi kebakaran saat saya tertidur, mengingat sisa bara api dari kayu bakar masih terlihat walau tidak besar. Fakta menunjukkan tingkat kebakaran di kampung Baduy cukup sering. Tentu para pendahulu suku Baduy punya pertimbangan sendiri kenapa tungku tempat masak tidak dibangun terpisah dengan rumah tinggal seperti halnya lumbung padi.

Dalam hal membangun rumah yang berbentuk rumah panggung,  kadang dibuatlah tiang tidak sama panjang demi menyesuaikan dengan kontur dan kemiringan tanah adalah hal yang sangat baik demi melestarikan lingkungan.  Yang menjadi masalah kedepan adalah rumah tidak boleh dibangun di area hutan. Walaupun ini baik untuk melestarikan hutan,  tetapi saat ini saja jarak antar rumah sangat padat akibatnya, bila terjadi kebakaran sangat sulit diatasi mengingat semua bahan bangunan terdiri dari bahan yang mudah terbakar.

Tidak benar jika dikatakan suku Baduy  tidak bersedia menerima perkembangan tekologi. Mereka menerima, sekalipun sangat lambat. Contoh, sampai saat ini suku Baduy dalam memang masih belum mau pakai gelas untuk tempat minum, mereka membuat tempat minum dari bambu mungkin fungsi gelas masih bisa diganti dengan bambu, tetapi mereka memakai dandang dari tembaga untuk masak nasi, ceret untuk masak air, memakai mangkok, piring dan sendok untuk makan.

Ketika saya bertanya kepada beberapa orang Baduy dalam apakah mereka senang atau tidak bila ada tamu? Jawaban spontan adalah “senang” kenapa? “karena rezeki” katanya. Pertanyaan saya lanjutkan kenapa tidak mau difoto untuk dimuat di media agar banyak tamu datang? Jawabnya sangat bijaksana “semua ada batasnya” katanya, lalu ia menambahkan “promosi itu urusan dengan Baduy luar” katanya. Kita sama sama tahu suku Baduy luar lebih mudah menerima pengaruh luar dibanding dengan suku Baduy dalam. Suku Baduy luar sudah pakai gelas untuk tempat minum, pakai kamar mandi lengkap dengan kloset, bahkan beberapa punya telepon genggam walau tidak ada listrik, sinyalpun susah didapat. Baduy luar lebih rajin memasarkan kerajinan khas mereka seperti hasil tenun dan karajinan lain.

Dari cerita yang serba sepotong tersebut diatas, saya memperkirakan baik suku Baduy luar maupun Baduy dalam punya keinginan untuk maju demi mendapatkan rezeki. Sampai saat ini kadang saya masih ditelpon oleh seorang Baduy luar minta untuk difasilitasi memasarkan hasil kerajinan mereka. Untuk merubah budaya memang bukan hal yang mudah, tetapi semua orang ingin dan butuh hidup lebih baik. Tidak perlu kita memaksa orang Baduy untuk sekolah, tetapi kita fasilitasi mereka untuk menjual hasil kerajinan dan hasil pertanian mereka di berbagai daerah agar mereka punya kesempatan berhubungan dengan orang lain, sehingga mereka sadar bahwa membaca, menulis dan berhitung itu penting yang akhirnya bisa menjadi salah satu cara untuk memberdayakan mereka. Mungkin hasil pertanian suku Baduy lebih punya nilai jual dibanding hasil kerajinan. Dari cerita yang serba sepotong tersebut, kita juga layak berkaca kepada suku Baduy seperti ketika dialog dengan salah seorang Baduy dalam, tempat saya menginap ada kalimat  yang sangat mengagetkan saya yaitu “kenapa orang modern selalu pusing ingin punya rumah bagus, mobil bagus sekalipun dengan segala cara” katanya. Merekapun tahu di negeri ini banyak korupsi. Sudahkah mereka merdeka?

Hambali

hambali7@gmail.com

 

Ikuti tulisan menarik Hambali lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu