x

Iklan

Rakyat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Uang Kerohiman untuk Petahana

Sering pemahaman umum mengenai cuti ini adalah GAJI UTUH. Salah kaprah. Yang betul cuti petahana itu adalah DI LUAR TANGGUNGAN NEGARA.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Saya tidak ingin kampanye,"

"Saya ingin menjaga APBD dari ancaman para garong"

"Saya sudah dikontrak 5 tahun," seru seorang petahana (incumbent).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbagai alasan ia ketengahkan untuk menuntut Mahkamah Konsitusi agar memberi tafsiran baru (atau tafsiran lain) bagi aturan yang mewajibkan cuti bagi Petahana yang nyalon lagi.

Saya kutipkan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pasal 70 ayat 3 :

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:

a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan

b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.

Dapat disarikan bahwa isi pasal itu adalah: selama MASA KAMPANYE HARUS CUTI DI LUAR TANGGUNGAN NEGARA dan DILARANG MENGGUNAKAN FASILITASNYA SEBAGAI PEJABAT. 

Perhatikan, SELAMA MASA kampanye, bukan PADA SAAT kampanye.

Kapan cuti harus diambil? Untuk kasus DKI, sebagaimana yang ditetapkan KPU DKI masa kampanye dan debat publik adalah 26 Oktober 2016 s.d 11 Februari 2017. Menurut penerawangan primbon maka itu adalah 108 hari atau 3 bulan 16 hari.

Sering pemahaman umum mengenai cuti ini adalah GAJI UTUH. Salah kaprah. Yang betul cuti petahana itu adalah DI LUAR TANGGUNGAN NEGARA. Artinya,

GAJI = Rp 0.0,-

TUNJANGAN = Rp 0.0,-

DANA OPERASIONAL = N/A (Not Available)

TOTAL = Rp. 0.0,-

Sebagai ilustrasi, berikut daftar pendapatan para gubernur menurut Fitra (2013) dalam kondisi tidak cuti di luar tanggungan negara:

1. DKI Jakarta. Dengan penghasilan Gubernur Rp 1,759 miliar, Wakil Gubernur Rp 1,740 miliar

2. Jawa Barat. Gubernur Rp 710 juta, Wakil Gubernur Rp 691 juta

3. Jawa Timur. Gubernur Rp 670 juta, Wakil Gubernur Rp 665 juta

4. Jawa Tengah. Gubernur Rp 489 juta, Wakil Gubernur Rp 474 juta

Nah kita kalkulasikan secara kasar seorang petahana di DKI akan kehilangan 1,759 miliar X 3.5 = 6,16 Miliar. Bukan angka yang kecil ditinjau dari sudut pandang Bapak-bapak maupun Emak-emak!

Belum lagi akses terhadap fasilitas negara, material dan immaterial, yang susah dihitung tapi jelas sangat besar.

Tujuan UU itu memang untuk "melucuti" akses seorang petahana dari uang negara dan fasilitas negara sampai ke akar-akarnya. Sehingga ia kembali menjadi warga biasa yang sama dan sejajar dengan calon lain. Equalizer. Ibarat seorang petarung sudah diambil jimatnya sehingga harus main tenaga otot saja  sehingga ia setara dengan petarung lain.

Semangatnya sangat baik, tapi ada unsur yang agak sadis, bagaimana mungkin orang tiba-tiba kehilangan pendapatan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. UU ini baru diundangkan pada bulan Juli 2016. Tidak ada waktu untuk menyiapkan alternatif pemasukan lain.

Memang sih, ada pilihan lain yaitu tidak maju saja, sehingga pendapatan aman. Tapi masa depan bagaimana?

Dengan pelucutan ini bisa-bisa posisi pertandingan malah tidak sejajar karena lawannya bisa saja pengusaha, dosen, walikota kota dsb, yang masih punya sambilan. Maka menurut hemat penulis, seharusnya MK memberikan sedikit pelipur lara dengan memberi tafsiran yang lunak bagi seorang petahana. Hak-hak dasarnya harus dipenuhi.

Yaitu selama cuti tersebut diberi uang kerohiman sebesar 1X UMK (Upah Minimum Kota), misal untuk DKI Jakarta sebesar Rp. 3.1 juta per bulan. Konon, UMK tersebut sudah dihitung masak-masak supaya mencukupi kebutuhan sebuah keluarga di suatu kota baik makan, pakaian, transportasi, pulsa listrik dan handphone. 

Memang angkanya tidak terlalu besar tapi berhubung diberikan pada orang yang tidak bekerja toh dalam hal ini negara sudah cukup generous.

Sesekali supaya seorang pemimpin merasakan bagaimana menjadi warga biasa. Kan bisa menimbulkan fenomena "andai aku menjadi". Itung itung blusukan ruhani,  secara sosial dan ekonomi.

Terimakasih

(Diposting juga di Kompasiana. Sumber gambar: Tempo)

Ikuti tulisan menarik Rakyat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler