x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memanjakan Konsumen dengan Design Thinking

Desain bukan sekedar unsur pemanis suatu produk atau jasa agar terlihat menarik, tapi dasar untuk merancang produk atau jasa tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebagai pelaku bisnis, apa yang Anda andalkan dalam menghadapi kompetisi yang ugal-ugalan? Harga atau tarif murah (tapi pertarungannya bisa membuat perusahaan berdarah-darah)? Produk yang sangat beragam sehingga pelanggan punya banyak pilihan? Pengiriman yang cepat agar hasrat instan konsumen segera terpuaskan? Barangkali Anda sudah menyodorkan semua itu, tapi apa yang Anda tawarkan lagi bila para pesaing berbuat hal yang sama? Apa yang Anda lakukan tatkala bisnis Anda mengalami komoditasi?

Sebagian orang mungkin menyebut “desain” sebagai pembeda. Desain dijadikan penyelamat dalam persaingan. (Sebagai catatan: Dalam Sciences of the Artificial, Herbert Simon mendefinisikan desain sebagai “transformasi dari kondisi yang ada ke kondisi yang lebih disukai”; sedangkan Ellen Lupton, desainer, mengatakan bahwa desain adalah “art people use”).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila mendengar kata desain, orang barangkali membayangkan kursi (desain produk), kaos (desain busana), ruang tamu (desain interior) atau iklan (desain grafis). Sejak beberapa tahun lalu, kata desain memperoleh konteks yang lebih luas dalam manajemen ketika istilah “design thinking” jadi populer. Dalam hal ini, desain tidak lagi sebagai “nilai tambah” dari suatu produk (“Wah, desainnya keren ya!”), melainkan sebagai cara berpikir dalam memecahkan persoalan, sebagai cara menciptakan nilai bagi konsumen. Dalam pemahaman David Burney, orang penting di Red Hat, desain adalah “cara menciptakan strategi dengan mengalaminya daripada sekedar menjadikannya intellectual exercise”.

Di masa lampau, ketika hendak mengembangkan suatu produk, pelaku bisnis meletakkan unsur desain di tahap belakangan. Mereka berpikir terutama mengenai fungsinya dulu. Dalam suatu kegiatan inovasi, desainer tidak memainkan peran awal dengan mengerjakan sesuatu yang substantif. Desainer hanya bertugas memberi “bungkus yang indah” terhadap suatu gagasan. Ia bertugas membuat suatu produk jadi lebih menarik secara estetis di mata konsumen. Dalam konteks ini, ia bertindak sebagai desainer produk.

Nilai kompetitif desain memang makin disadari. Produk-produk elektronik didesain lebih menarik. Misalnya, fungsi ponsel bisa sama, tapi desain yang dibuat berbeda menjadikan ponsel tertentu memiliki nilai yang lebih tinggi. Mobil dirancang lebih atraktif. Banyak barang yang kemasannya dipikirkan sungguh-sungguh agar lebih enak dilihat. Betapapun, umumnya, desain masih dipikirkan belakangan.

Cara berpikir seperti itu tidak bisa dipertahankan lagi dan digeser oleh pemahaman bahwa spektrum aktivitas inovasi berpusat pada manusia. Maksudnya, inovasi dilandasi oleh pemahaman menyeluruh dan melalui observasi yang penuh empati mengenai apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh manusia dalam hidup mereka. Bukan hanya berkaitan dengan bagaimana produk itu dibuat, tapi juga bagaimana dikemas, dipasarkan, dijual dan dibeli, digunakan, dan memperoleh support bila timbul masalah ketika produk sudah di tangan konsumen.

Para inovator mengembangkan suatu produk dengan pertama-tama melihatnya dari sisi konsumen sebagai pengguna (ini seiring dengan apa yang selalu ditekankan oleh guru manajemen Peter Druckter ihwal outside-in, berpikir dari sudut pandang konsumen). Yang menarik, obyektifnya bukan lagi produk fisik semata, melainkan juga proses, layanan, interaksi, kolaborasi, serta komunikasi sebagai suatu rangkaian. Desain sebagai cara berpikir bertitik tolak dari bagaimana konsumen “merasakan pengalaman saat memakai suatu produk atau jasa”. Titik tolaknya bukan sekedar fungsi, tapi juga kenyamanan, kemudahan, keamanan, hingga kebiasaan konsumen yang diakomodasi oleh produsen.

Perusahaan yang menerapkan design thinking lazimnya melibatkan betul pelanggan dalam co-creation produk atau jasa mereka. Apa yang memungkinkan penerapannya membuahkan keberhasilan ialah sudut pandang bahwa design thinking lebih dari sekedar metodologi, tapi cara berpikir kultural yang melibatkan nilai-nilai yang dikembangkan bersama oleh perusahaan dan konsumen. Apakah Anda sudah berpikir seperti ini ketika hendak memulai bisnis restoran, pengantaran atau kurir, ataupun jasa kebersihan untuk apartemen? (sumber ilustrasi: wiredroots.org) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB