x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membedah Disertasi Santri yang Dua Kali Menang Pilkada

Tak hanya dua kali memenangkan pilkada, disertasi Dr Tubagus Iman Ariyadi juga menjadi rujukan strategi pemenangan pilkada di banyak daerah di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Foto: Dr H Tubagus Iman Ariyadi, Walikota Cilegon (www.surosawanonline.com)

Politisi kawakan Akbar Tanjung pernah berkata, disertasi Dr Tubagus Iman Ariyadi yang berjudul “Peran Kiai Dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Banten” dapat digunakan sebagai analisa untuk pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah di Indonesia. Akbar menyebutkan, Kiai atau ulama sebagai pewaris para nabi tentu punya konstituen yang jelas dan ucapannya dapat diikuti dengan sangat patuh.

Teori Akbar ini mengingatkan kita akan pandangan Clifford Geertz dalam buku legendarisnya “The Religion of Java.” Geertz mengungkapkan adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi -dimana kiai masuk dalam subordinasi santri dan priyayi dalam masyarakat Jawa- memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hubungan antara agama dan budaya, maupun antara agama dan politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Iman Ariyadi, Walikota Cilegon jebolan pesantren Daar el-Qolam Gintung, Tangerang, Banten ini, nampaknya memahami betul akan teori ini. Sebelum menjabat walikota, Iman juga pernah terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Banten dan DPR-RI dari Partai Golkar.

Dalam disertasinya guna meraih gelar doktor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI), Iman menyampaikan bahwa  dalam struktur sosial masyarakat Banten, kiai menempati posisi terhormat. Pada masa Kesultanan Banten, kiai pernah menjadi bagian dari elit yang memerintah. Karena itulah, kiai menjadi sumber rujukan dan sumber legitimasi dukungan bagi seseorang yang berorientasi pada kepentingan politik, sehingga menjadi kekuatan besar, termasuk pada perhelatan politik di Banten. 

Kiai tidak hanya memiliki pengaruh di kalangan masyarakat bawah, tetapi juga di kalangan pejabat birokrasi dan politisi. Karenanya, tidak mengherankan jika kiai dianggap memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakt Banten. Hal ini juga yang melandasi pemerintah Orde Baru melakukan pendekatan koordinasi dengan KH Ali Jaya dan para kiai Al-Khairiyah lainnya, ketika akan melaksanakan program industrialisasi pabrik besi baja Krakatau Steel di Cilegon.

Para kiai, bersama kaum jawara, merupakan pelopor utama berbagai gerakan sosial yang marak di Banten abad ke-19. Mereka juga menjadi bagian penting dalam revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan. Di Banten terdapat dua golongan elite tradisional yang memiliki pengaruh di masyarakat, yaitu kiai dan jawara. Kiai dan jawara merupakan dua subkultur, karena masing-masing memiliki nilai, norma, perilaku, dan lokus kepentingan tersendiri.

Ketika Banten memisahkan diri dari Jawa Barat tahun 2000-an, peran politik kaum jawara semakin menguat, terutama dilihat dari dua peristiwa penting: proses pengisian anggota DPRD Banten dan proses pemilihan Gubernur Banten tahun 2001. Sedangkan kedudukan dan peran kiai di Banten tidak sepenting dan sebesar masa-masa sebelumnya. Peran mereka sekarang terbatas sebagai guru mengaji, guru tarekat, guru ilmu hikmah, dan mubalig. Perkembangan zaman yang antara lain ditandai dengan tuntutan spesialisasi dan profesionalisme dalam segala bidang, serta komersialisasi dalam pelbagai aspek kehidupan, telah membuat peran kiai sebatas kegiatan sosial keagamaan semata.

Meskipun demikian, kiai masih dijadikan sebagai tokoh panutan. Masyarakat Banten yang dikenal sangat kuat pendirian agamanya memang sangat menghormati para kiai. Karena itu, dalam perhelatan politik seperti pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden, kiai dianggap atau menganggap diri sebagai sumber dukungan penting bagi para calon. Penelitian Iman tentang peran politik kiai dalam pilgub Banten 2011 menemukan, tidak ada satu pun bakal calon gubernur atau wakil gubernur di Banten yang tidak mencari dukungan dari para kiai.

Pemilihan Gubernur Banten merupakan pertarungan politik yang tidak luput dari mobilisasi dukungan kekuatan tradisional Banten, terutama para jawara. Di masa Orde Baru, selama hampir tiga dekade, sebagian besar jawara tersubordinasi di bawah kepentingan ideologi-politik Orde Baru yang mengibarkan bendera kesuksesan pembangunan dan mengembalikan kekuatan sipil sebagai penyangga utama ideologi "developmentalisme". Kembalinya pengaruh para jawara di arena politik karena di tangan mereka mobilisasi sumber daya politik bertumpu, setidaknya pada dua level pengaruh. Pertama, para jawara adalah mereka yang bergumul, tumbuh dan besar di lingkungan massa rakyat (grass root). Secara praktis, mobilisasi massa dan perluasan konstituensi politik nyaris tidak dapat dilepaskan dari para jawara sebagai simpul utamanya.

Di sisi lain, politik Orde Baru nyaris menumpas habis mata rantai kepemimpinan tradisional. Di sini, para jawara pasca-tumbangnya Soeharto bermetamorfosis menjadi jaringan politik baru yang penting untuk turut menstabilkan rezim politik Banten berikut sejumlah kepentingan ekonomi-politiknya. Struktur kesempatan baru politik Banten ini pula turut meredupkan pengaruh dan peranan politik kiai vis a vis jawara di Banten.

Sebagai sebuah subkultur, kiai seakan hidup di bawah bayang-bayang dominasi subkultur jawara. Keadaan inilah tampaknya yang menimbulkan semacam ketegangan antara subkultur kiai dan subkultur jawara yang berada di pusat kekuasaan Banten. Dominasi subkultur jawara bukan hanya telah memberikan konotasi pejoratif kepada Banten, melainkan juga makin menjauhkan Banten dari impian mereka tentang sebuah negeri yang pernah mengalami kejayaan di masa lalu.

Kenyataan bertambah pahit jika dihadapkan dengan merosotnya "prestise" para kiai ini, terutama di bidang ekonomi-politik yang didominasi para jawara. Kekalahan kultural ini, dalam pandangan sebagian kiai, bisa ditebus melalui kemenangan politik, dengan mendukung calon pemimpin Banten yang diyakini bisa melakukan perubahan.

Pilkada Banten 2011 diikuti oleh tiga pasangan calon, yaitu Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno, Wahidin Halim-Irna Narulita dan Jazuli Juwaini-Makmun Muzaki. Dari ketiga pasangan itu, Ratu Atut Chosiyah memiliki basis dukungan politik dan dukungan finansial yang lebih besar, serta jaringan pendukung lebih luas, termasuk dari para kiai. Hal inilah yang menjadi faktor utama kemenangan Atut pada Pilkada Gubernur Banten 2011.

Berbeda dengan komunitas kiai pendukung Ratu Atut Chosiyah, kelompok kiai pendukung Wahidin Halim dan Jazuli Juwaini merupakan cause group, karena gencar mensosialisasikan keyakinan yang dianut, yakni tentang diharamkannya perempuan menjadi pemimpin dan cita-cita dikembalikannya peran ulama untuk memimpin Banten, seperti pada masa lampau.

Dari hasil studi tentang peran politik kiai di Banten Iman itu, beberapa kesimpulan awal bisa ditarik, antara lain: Pertama, dalam era pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata memberikan peran dan peluang politik yang luas bagi pemimpin keagamaan untuk terlibat aktif. Keterlibatan kiai dalam politik tersebut bersifat supply and demand dan simbiosis mutualisme. Artinya, kiai terlibat dalam politik praktis karena ada penawaran dan permintaan dari masyarakat (civil society) dan kandidat atau partai politik (political society). Keterlibatan kiai tersebut ternyata menguntungkan kedua pihak.

Kedua, pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat bagi kiai sebagai pialang politik (political broker), bahkan memanfaatkan status sebagai political broker bagi kepentingan yang bersifat sosial-keagamaan maupun pribadi. Dengan kiai aktif dalam politik, dengan memberikan dukungan terhadap kandidat atau partai, memberikan keuntungan secara finansial terhadap diri kiai dan pesantren atau organisasi sosial yang dipimpinnya.

Ketiga, pilkada langsung mencairkan faktor ideologis-keagamaan. Dampak kiai sebagai political broker dan pragmatis, kiai tidak lagi bersifat ideologis dalam mendukung kepala daerah. Dukungan sebagian kiai terhadap kandidat perempuan sebagai kepala daerah menunjukkan fakta tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan ''menggugurkan'' pendapat yang mengatakan bahwa perempuan haram hukumnya menjadi pemimpin politik.

Iman juga memisahkan kiai pada pilkada Banten menjadi lima kategori, yakni kiai sebagai pemberi legitimasi keagamaan, kiai sebagai fasilitator dan pelobi, kiai sebagai pemuka pendapat, kiai sebagai juru kampanye dan penggerak massa, serta kiai sebagai bagian dari tim advokasi juga pendampingan. Peran ini tampak dari langkah-langkah yang ditempuh oleh sejumlah kiai yang melaporkan Gubernur Ratu Atut Chosiyah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tudingan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Disertasi “Peran Kiai Dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Banten” ini banyak mendapat apresiasi dari kalangan akademisi dan praktisi politik. Prof Amir Santoso sendiri yang menjadi Promotor Doktor Iman Ariyadi mengatakan dalam pidatonya, Iman Ariyadi tercatat sebagai Doktor ke-60 di FISIP UI, Kampus Depok.

“Berkat kecerdasan dan keuletannya, saudara Tubagus Iman Ariyadi lulus menjadi doktor dengan nilai sangat baik,” demikian Prof Amir Santoso mengakhiri pidatonya.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler