x

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tingkat SMP se-Surabaya menggelar aksi Save Indonesia di depan gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, 20 Januari 2016. Aksi damai tersebut merupakan bentuk aksi simpatik mereka terhadap peristiwa terorisme di Jakarta,

Iklan

Sabartain Simatupang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi Sebagai Ancaman

Jika korupsi diletakkan pada konteks ancaman, maka fenomena korupsi saat ini bisa dikatakan sudah menjadi ancaman yang bersifat nasional

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengantar:

Ironisnya saat ini dampak korupsi semakin mencemaskan, karena sudah mengancam semua lembaga pemerintahan dan sendi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain kejahatan korupsi dewasa ini semakin menjadi ancaman nyata di Indonesia, yang perlu diatasi secara serius dan komprehensif.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ancaman Nasional        

Menarik data terakhir yang dilansir Lembaga Transparency International (TI) menunjukkan adanya peningkatan Indonesia yang “sedikit” membaik, dari segi Indeks Persepsi Korupsi (CPI). Meskipun demikian faktanya tetap memprihatinkan bahwa korupsi masih saja merajalela justru di sektor penegakan hukum dan sektor politik. (berbagai Koran Nasional, 28 Januari 2016). Menurut hemat penulis sulitnya mengatasi korupsi sampai saat ini, disebabkan situasinya telah terjebak pada sistem hukum dan politik yang dibangun. Seyogianya sistem hukum dan politik yang terbentuk diharapkan dapat merespon fenomena korupsi bukan sekadar problem biasa lagi, tetapi sudah merupakan ancaman nasional yang serius.  

Apabila isue korupsi diletakkan pada konteks hakekat ancaman, maka eskalasi fenomena korupsi sampai saat ini bisa dikatakan sudah menjadi ancaman yang bersifat nasional. Prof Dr Tb Ronny R Nitibaskara menyebutkan bahwa dilihat dari segi eskalasinya dan pihak yang terlibat, tidak salah jika pada saat ini korupsi menjadi salah satu ancaman nasional, yaitu ancaman yang dapat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara dalam spektrum nasional. Meskipun korupsi bersifat kekuatan lunak (soft power), ternyata daya rusaknya tidak kalah dari ancaman kekuatan keras (hard power), seperti konflik kekerasan kolektif yang berkelanjutan, separatisme atau perang (Nitibaskara: 2009).

Sesuai dengan paradigma negara yang demokratis,  ancaman nasional kini secara sederhana dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara dan ancaman terhadap warga negara. Ancaman terhadap kedaulatan negara dapat datang dari dalam dan dari luar negeri. Sedangkan ancaman terhadap warga negara adalah keamanan yang mengancam kehidupan sehari-hari (human security), antara lain kualitas lingkungan hidup yang rendah, tingginya angka kriminalitas, kondisi kesehatan yang rapuh, korupsi yang merajalela, narkoba yang merusak generasi muda dan terjadinya bencana alam.

Dalam sejarahnya di Indonesia, korupsi yang mulai merajalela di masa Orde Lama dan Orde Baru ternyata semakin membudaya di era Reformasi dewasa ini. Satu dekade lebih kita menjalani masa di mana rakyat menginginkan perubahan mendasar dalam pemberantasan korupsi. Tragisnya malah secara faktual upaya pemerintah di era awal Reformasi belum membuahkan hasil yang optimal.  Kalau sebelumnya korupsi melanda aparat pemerintah pusat saja, maka di masa Reformasi bahkan sudah merata (“terdesentralisasikan”) hampir di semua pemerintahan daerah (Rianto, 2009). Bahkan di masa pemerintahan SBY dan sekarang, DPR, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung juga tidak luput diwarnai skandal korupsi yang sangat memalukan.

 

Kondisi Sistem Politik

Maraknya tendensi korupsi yang sampai melibatkan lembaga tinggi negara itu, tidak terlepas dari sistem politik/pemerintahan yang terbentuk di era Reformasi ini. Lewat upaya Amandemen UUD 1945 tersebut, sistem pemerintahan di Indonesia direformasi untuk tetap melaksanakan sistem presidensial. Hanya saja untuk mencegah kecenderungan dominasi presiden dalam masa Orde Baru, dilakukan perubahan untuk membatasi masa jabatan presiden, memperluas kekuasaan DPR sebagai lembaga legislatif, serta ditetapkan agar  presiden dan wakil presiden serta anggota-anggota DPR/DPD dipilih  secara langsung melalui pemilu yang demokratis.

Dengan adanya perubahan konstitusi tersebut ternyata telah membawa implikasi yang sebaliknya terhadap praktek pemerintahan. Faktanya yang terjadi dalam praktek hubungan kekuasaan antara Presiden dan DPR sejak Reformasi sampai sekarang, tampak adanya dominasi kekuasaan yang ditunjukkan DPR. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Prof Dr Miriam Budiardjo, bahwa tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 membawa banyak perubahan terhadap pelaksanaan check and balances kekuasaan di Indonesia. Salah satunya adalah penataan kembali peran dan fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi sayangnya, penataan peran dan fungsi ini berakibat pada terjadinya legislative-heavy (Budiardjo: 2008).

Dalam mengamati hubungan Presiden dan DPR di masa Reformasi, sebagai realitas praktek sistem pemerintahan, tentunya tidak terlepas dari sistem kepartaian yang mendukungnya. Menurut  Prof Dr Burhan Magenda, sejak Pemilu 1999 dengan peserta 48 parpol ternyata tidak ada yang berhasil mencapai mayoritas sederhana (melebihi 50 persen). Hal ini menyebabkan fragmentasi politik yang mengharuskan perlu dibentuknya koalisi antar partai. Presiden-presiden setelah Habibie, yakni Abdurrahmad Wahid, Megawati dan SBY juga menghadapi masalah yang sama, dalam hubungannya dengan DPR sebagai lembaga legislatif. Pengelolaan koalisi merupakan kriteria utama kelancaran pelaksanaan tugas-tugasnya sebagai presiden (Magenda: 2007).

Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa dengan adanya sistem kepartaian (multi-partai) yang dibangun sejak awal Reformasi hingga kini secara faktual selalu menyulitkan efektifitas pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial. Kondisi sistem sepertilah inilah yang menyebabkan munculnya kemungkinan peluang bagi anggota DPR untuk menyalahgunakan kekuasaannya (power tends to corrupt). Demikian juga implikasinya terhadap sistem politik dan pemerintahan yang diterapkan di seluruh daerah.

Selanjutnya dapat dipahami bahwa kecenderungan ini jelas sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan publik sebagai akibat orientasi dominasi kekuasaan DPR (legislative-heavy) pada periode 2004-2009 dan 2009-2014. Lebih kurang gambarannya persis sama dengan hubungan kekuasaan yang terdapat di setiap pemerintahan daerah (KDH dan DPRD).  Di sinilah letak urgensinya mengapa perlu peninjauan kembali tujuan dari praktek hubungan kekuasan antara Presiden dan DPR, serta kondisi yang sama pada  praktek pemerintahan di seluruh daerah di Indonesia.  

Saat ini peta politik hasil Pemilu 2014 menunjukan adanya peluang bagi Presiden Joko Widodo untuk menggalang kembali penguatan sistem presidensial. Meskipun demikian sistem kepartaian belumlah kondusif bagi kemungkinan terjaminnya check and balances di antara presiden dan DPR.  Karena budaya politik, pola rekruitmen dan kaderisasi partai yang dibangun melalui sistem multi partai yang demikian tidak menjamin kualitas keanggotaan DPR yang baru. Di satu sisi tampak bahwa pola interaksi kekuasaan tersebut akan mendukung terciptanya sistem presidensial yang efektif, tetapi di sisi lain bisa saja menggoyahkan kondisi check and balances.

Kondisi inilah yang dikuatirkan para akademisi yang apabila tidak disadari akan memberi peluang munculnya “oligarki baru” dalam penguatan sistem presidensial. Oleh karena itulah  semua pihak perlu melakukan pengkajian ulang yang mendasar terhadap sistem politik (termasuk sistem kepartaian dan pemilu) yang dipraktekkan selama ini. Bila hal ini tidak terlaksana tampaknya upaya pemberantasan korupsi akan tetap sulit dilakukan pada masa pemerintahan sekarang dan akhirnya dikuatirkan dapat mengancam semua sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Untuk itulah pemerintah sekarang sudah saatnya menyadari bahwa korupsi di Indonesia merupakan ancaman nasional yang serius! ***

 

Oleh : Sabartain Simatupang

*Penulis adalah Alumnus Magister KSKN Universitas Indonesia dan akademisi Universitas Pertahanan.

Ikuti tulisan menarik Sabartain Simatupang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB