x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kelakuan Para Mantan; Belajar dari SBY dan Alex Ferguson

Mantan. Kosakata yang bisa jadi menghantui hidup. Atau, justru ditinggalkan jauh-jauh karena kita ingin terus melangkah tanpa harus menengok ke belakang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mantan. Kosakata yang bisa jadi menghantui hidup. Atau, justru ditinggalkan jauh-jauh karena kita ingin terus melangkah tanpa harus menengok ke belakang. Namun, seberapa jauh kita bisa menghapus kenangan?

Jika kenangan itu ditanya kepada pendukung fanatik klub Inggris Manchester United, tentu tak semuanya berhasil ‘move-on’ dari sosok Sir Alexander Chapman Ferguson atau populer disapa Alex Ferguson saja. Selama 26 tahun melatih ‘Setan Merah’, julukan klub asal kota Manchester, Sir Alex menghadirkan 38 gelar di  berbagai kompetisi. Sebelumnya, saat melatih klub Skotlandia Aberdeen, ia juga sudah menghadirkan 11 gelar dan mematahkan dominasi raksasa asal Glasgow, Celtics dan Rangers.

Ferguson memilih pensiun pada 2013 lalu. Ia menutup karier panjangnya sebagai manager United dengan mempersembahkan gelar Liga Primer Inggris ke-20. Semua bertepuk tangan, haru,   menangis. Si ‘Boss’ pergi –dan mungkin, tak kembali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Persoalan bagi United, tentu soal regenerasi. Siapa pengganti Sir Alex di Old Trafford –markas United? Meski meninggalkan pemain-pemain hebat bagi pendahulunya, tapi betulkah jaminan bagi United untuk berprestasi sepeninggalnya? Seperti kita tahu, pilihan itu jatuh ke David Moyes yang sebelumnya menangani klub papan tengah Everton. Keduanya sama-sama memiliki akar yang sama: Skotlandia. Moyes dianggap piawai membangun tim.

Moyes kurang beruntung. Ia didepak karena dianggap tidak mampu memenuhi ekspetasi tinggi. Belum genap semusim menangani United ia diputus kontrak oleh Ed Woodward, petinggi United. Ke mana Sir Alex, orang yang bertanggung jawab atas pemilihan Moyes kala itu? Sir Alex tidak pernah benar-benar “pensiun”. Sosoknya masih tampak di tribun, menyaksikan tim yang dibangunnya seperti kehilangan “ruh”. Di balik layar, mungkin ia bersedih, memaki, dan menyesal, tapi di depan publik, ia selalu berada di belakang Moyes.

Apa daya, meski memiliki jabatan baru di Manchester United sebagai direktur dan duta klub, ia tak sanggup mempertahankan Moyes. Tampak tak adil. Sir Alex diberi kesempatan enam tahun untuk membangun tim. Jatuh-bangun, sebelum akhirnya meraih gelar Liga Utama Inggris pertama pada 1992.  Begitu pula ketika Louis van Gaal menggantikan Moyes. Aura kehebatan United belum juga pulih. Namun, Sir Alex masih bersikukuh di belakang pelatih asal Belanda itu. Meski, sebuah rekaman video pertandingan, Sir Alex tertangkap kamera mengumpat, “Dia selesai!” Ucapan yang diduga ditujukannya pada Van Gaal yang gagal mengangkat performa tim.

Beribu kilometer dari Manchester, setahun setelah Ferguson pensiun, seorang pemimpin negara bernama Indonesia pun purnabakti setelah sepuluh tahun berkuasa. Ia mundur karena menegakkan aturan konstitusi, bahwa seorang Presiden di negeri ini, tak boleh menjabat lebih dari dua periode. Pada 2014, genap ia sudah menduduki jabatan orang nomor satu di Indonesia selama sepuluh tahun. Jika melewati limit itu, bukan tak mungkin, pernyataan Lord Acton menjadi kenyataan, Powers tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Hal itu terjadi pada masa pendahulunya, bernama Sukarno dan Suharto. Sukarno menjabat 20 tahun. Suharto, menjabat hampir seumur saya hidup, 32 tahun.

Lelaki yang berpurnajabat itu bernama gagah, Susilo Bambang Yudhoyono. Pelafalannya agak-agak mirip dengan Alexander Chapman Ferguson. Namanya pun terdiri dari tiga suku kata. Apa yang membuat Presiden keenam Republik Indonesia itu hebat? Tak lain, adalah bertahan di tengah  kritik dan berisiknya demokrasi selama sepuluh tahun.

Tentu, mengelola sebuah klub sepak bola tidak bisa disamakan dengan mengatur sebuah negara. Betulkah sebuah klub sepak bola sebesar Manchester United semata “entitas” bisnis yang berfondasi fanatisme? Lalu, benarkah sebuah negara bernama Indonesia tidak dibangun dengan hal yang sama? Jangan salah, bangsa ini dibangun atas perputaran uang juga fanatisme yang disebut ‘NKRI harga mati’.

Presiden Yudhoyono adalah sosok yang mampu menerjemahkan “politik keseimbangan” yang dulu malah menjadi bumerang bagi Sukarno. Di saat yang sama, Yudhoyono dipilih kembali oleh rakyat Indonesia melalui mekanisme pesta demokrasi yang relatif demokratis dengan perolehan suara di atas 50 persen. Cukup satu putaran, lho!

Di sisi lain, Yudhoyono mampu menerjemahkan apa yang tidak bisa dilakukan oleh Suharto dengan kata “Stabilitas dan Pembangunan”. Bagi Orde Baru, pembangunan harus dibangun di atas stabilitas keamanan, meski dengan menebar ancaman dan teror kepada rakyatnya.  Pada era SBY, singkatan yang populer selama satu dekade, tak ada lagi penembakan misterius (Petrus), juga Daerah Operasi Militer di Aceh. Ekonomi stabil, meski politik riuh.

Pada masa Yudhoyono pula, kita melihat bagaimana besannya, seorang deputi gubernur Bank Sentral, dijebloskan dalam penjara. Bisakah kita melihat hal itu di era Orde Lama atau Orde Baru? Melihat kroni dan lingkaran dalam Cendana tersentuh hukum? Jawab sendiri.

Begitulah kiranya kehebatan Susilo Bambang Yudhoyono. Di pengujung jabatannya, ia tidak mengutak-atik konstitusi untuk berkuasa kembali. Ia menghormati hukum dan ingin mundur baik-baik dari tahta. Ia mengantar pesta demokrasi, sebuah pertarungan fair, untuk mencari penerusnya.

Bersyukurlah, bahwa masyarakat Indonesia cepat lupa. Rakyat ini akan menempatkan Yudhoyono dalam lemari kaca kenangan dengan sebuah piala kemenangan “Telah Memimpin Indonesia Demokratis Selama 10 Tahun”. Kami, rakyat, lambat-laun akan melupakan Century, Korupsi kader Partai yang dipimpinnya, atau masalah-masalah pelik lain yang belum selesai dalam sepuluh tahun kepemimpinan Yudhoyono.

Dengan segenap prestasi mentereng itu, apa yang harus dilakukan oleh pria tua yang memasuki masa pensiunnya? Jika Ferguson sesekali masih menonton United di tribun, Yudhoyono juga berhak menyaksikan negeri yang dibangunnya selama sepuluh tahun ini di posisi yang sama dengan Ferguson. Tribun.

Apa arti tribun? Posisi yang berjarak dengan arena pertandingan. Mereka, para manager, tak lagi berada di sisi lapangan. Teriakan mereka tak lagi didengar jelas para pemain karena berbaur dengan suara-suara lain dari seluruh stadion.

Sesekali, Ferguson memberikan kuliah umum tentang manajemen klub. Salah satunya, Sir Alex membagi pengalamannya sekolah bisnis terbaik dunia di Harvard pada 2014. Begitu pula Yudhoyono. Ia sering diundang berceramah di sana-sini, berbagi pengalaman. Posisinya tak lagi administratur melainkan seorang begawan. Sayangnya, ceramah terakhir di Universitas Al-Azhar Indonesia menghujam kritik kepada Pemerintahan Joko Widodo –penerusnya.  

Yudhoyono dan Sir Alex punya penerus yang sama: seteru di masa lalu. Mourinho adalah rival bagi Sir Alex. Di mata Sir Alex, pelatih asal Pertugal itu semacam cermin diri. Konon, Sir Alex pula yang akhirnya merestui Mou membenahi United yang tenggelam pasca pensiunnya. Jokowi, mantan gubernur Jakarta, yang menyalip popularitas Yudhoyono di akhir kekuasaannya. Keduanya sempat bersilang opini terkait kebijakan.  

Intensitas kritik yang terus-menerus justru membahayakan pencitraan Yudhoyono sendiri. Bukankah pencitraan itu penting bagi beliau selama 10 tahun berkuasa? Sebagaimana Imam As Syafi’i pernah berujar, “Nasihati aku ketika sendiri, jangan nasihati di kala ramai, karena nasihat di kala ramai itu bagai sebuah hinaan yang melukai hati.” Sir Alex yang bukan pembaca Sang Imam mungkin selangkah lebih maju dalam hal ini....

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler