x

Iklan

purwanto setiadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Maartje, Sepeda, dan Bandung

Pencanangan program untuk menjadikan suatu kota sebagai kota sepeda, seperti di Bandung, bolehlah disambut gembira, meski tak perlu berlebihan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada suatu masa, pada 1950-an dan 1960-an, ketika pesepeda di Belanda menghadapi ancaman besar tersingkir dari jalanan kota-kota di sana akibat pertumbuhan pesat jumlah mobil. Jika kemudian yang terjadi justru sebaliknya, faktor terpenting yang memungkinkan hal itu bukanlah pemerintah yang tiba-tiba mendeklarasikan dan bertekad menjadikan kota-kota di sana sebagai kota sepeda. Di balik itu, sebetulnya, ada aktivisme yang gigih dan sejumlah peristiwa yang menentukan.

Pencanangan program yang hendak menjadikan Bandung sebagai kota sepeda baru-baru ini mau tak mau akan mengingatkan hal itu. Di Belanda, aktivisme sepeda timbul pada 1970-an, segera setelah kematian akibat kecelakaan lalu lintas meningkat pesat: pada 1971 angkanya mencapai 3.300, 400 di antaranya adalah anak-anak. Ketika itu jumlah mobil bertambah secara besar-besaran seiring dengan tingginya laju pertumbuhan ekonomi Belanda pasca-perang. Dan pengambil kebijakan pun melihat mobil sebagai moda bepergian masa depan; jalanan dibangun untuk mendukung visi ini.

Angka korban kecelakaan yang dianggap kelewat tinggi itu menimbulkan protes yang meluas. Di antara kelompok-kelompok demonstran yang sangat dikenal adalah Stop de Kindermoord (“hentikan pembunuhan anak-anak”). Kelompok ini dipimpin Maartje van Putten.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perempuan yang pernah menjadi anggota Parlemen Eropa itu kini berusia 63 tahun. Suatu kali dia mengisahkan pengalamannya terlibat gerakan yang memperjuangkan kembalinya sepeda sebagai sarana transportasi di negeri itu.

Dia mengaku, sebagai ibu muda yang tinggal di Amsterdam, kerap menyaksikan beberapa kecelakaan lalu lintas di lingkungan tempatnya tinggal yang menyebabkan anak-anak terluka. Selain itu, “Saya melihat bagaimana bagian-bagian dari kota dirubuhkan untuk membangun jalan. Saya sangat khawatir terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat--hal itu mempengaruhi kehidupan kami. Jalan tak lagi milik warga setempat, tapi arus besar lalu lintas. Itu membuat saya marah,” katanya.

Di Belanda, aktivisme dan pembangkangan sipil seperti menemukan surganya kala itu. Jalur-jalur ke pemerintah sangat mudah diakses. Aktivis, misalnya, bisa menemui anggota parlemen sambil minum teh; para wakil rakyat itu juga benar-benar mau mendengarkan. Menurut van Putten, suatu kali sekelompok aktivis pergi bersepeda dengan memboyong seorang pemain organ jalanan ke kediaman Perdana Menteri Joop den Uyl. Di sana mereka menyanyi dan meminta keamanan jalan yang lebih baik bagi anak-anak. “Dia [Perdana Menteri] keluar rumah dan mendengarkan tuntutan kami,” katanya.

Selain kelompok-kelompok seperti Stop de Kindermoord, yang perlahan-lahan memperoleh dukungan politikus, ada kekuatan lain yang ikut menyuburkan gagasan mereka: tradisi bersepeda yang sudah berakar kuat dan bahwa sepeda tak pernah benar-benar terpinggirkan seperti yang terjadi di banyak negara.

Satu hal yang juga tak kalah pentingnya adalah krisis minyak pada 1973--ketika negara-negara produsen minyak mengembargo Amerika, Inggris, Kanada, Jepang, dan Belanda karena mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Harga minyak berlipat empat kali. Tak punya pilihan lain, Perdana Menteri Joop den Uyl meminta rakyat Belanda mulai sungguh-sungguh menghemat energi, juga mengadopsi gaya hidup baru. Pemerintah lalu mencanangkan serangkaian hari bebas mobil setiap Ahad.

Sejak itu, perlahan-lahan, dengan kesadaran yang kian tertanam di kalangan politikus bahwa banyak manfaat bersepeda, kebijakan transportasi di Belanda pun bergeser. Mobil tak lagi dianggap sebagai moda masa depan. Pada 1980-an kota-kota di sana mulai memperkenalkan langkah-langkah yang targetnya adalah menjadikan jalan lebih ramah sepeda.

Apa yang terjadi selebihnya telah masuk ke dalam buku sejarah. Kini Belanda sudah dianggap sebagai ibu kota sepeda dunia, dengan prasarana yang sangat maju--jalur sepedanya saja mencapai 35 ribu kilometer, melayani perjalanan yang merupakan seperempat dari seluruh kepergian di sana.

Jauh tertinggal, Indonesia bukannya tak bisa menjadi seperti Belanda. Tapi harus diakui jalan untuk mencapainya jauh dari mudah karena kondisi awal yang dihadapi tak serupa, bahkan boleh dibilang lebih pelik: di sini tak ada aktivisme yang sama agresifnya, tak ada tradisi bersepeda, mobil (juga sepeda motor, tentunya) sudah telanjur merajai jalanan, dan tak ada krisis minyak yang serius. Karena itu, pencanangan program yang diharapkan bakal menjadikan suatu kota sebagai kota sepeda, seperti di Bandung, bolehlah disambut gembira, meski tak perlu berlebihan.

Bukan mau menyangsikan, skeptisisme itu semata bertumpu pada kenyataan yang justru kelihatannya belum sepenuhnya ditangani supaya sepeda menjadi pilihan sarana transportasi untuk bepergian: bahwa orang masih merasa nyaman bersepeda motor atau bermobil, karena memang hampir tak ada rintangan atau disinsentif apa pun untuk menggunakannya.

Tetapi mungkin hal itu sudah diperhitungkan dan akan masuk ke dalam program yang, rupa-rupanya, detailnya sejauh ini masih disusun. Ya, siapa tahu. Dan, tentu saja, harapannya adalah, sementara mereka yang bukan warga Bandung akan bertanya-tanya, “Kenapa tak ada program yang sama di kota saya?”, pesepeda di Bandung memang lebih beruntung.

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler