x

Iklan

Iwan Setiawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aksi Pengisap Rokok Belia

Pemandangan pelajar yang mengisap rokok jamak kita jumpai. Jumlah perokok berseragam sekolah ini mencapai 18,3 persen, merujuk hasil sebuah survey.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ditemani dua rekannya, sebut saja ia Raka, mengisap rokok di sebuah kios. Kemeja putih dan celana biru mereka kenakan. Tas yang tersampir di bahu dan sepatu “wariors” ketiganya mengesankan bila mereka berstatus pelajar sebuah SMP swasta di Bandung. Pagi itu mereka terlihat menikmati kepulan asap yang berhembus dari mulut. Sambil menunggu bel tanda masuk, mereka “menghangatkan” diri dengan membakar lintingan tembakau.

Lalu lalang orang tak  membuat mereka jengah. Teman-teman yang melihat mereka pun tak meyurutkan aksi. Keramaian suasana sepertinya menjadi penambah rasa percaya diri. Mungkin hanya bunyi lonceng sekolah yang dapat memadamkan nyala rokok di sela-sela jari Raka dan dua kawannya. Atau mungkin langkah sigap guru yang melakukan inspeksi mendadak.

Apa yang dilakukan Raka jamak kita temui. Fenomena pelajar yang mengisap sigarret seakan telah jadi pemandangan umum. Pada lokasi yang masih sepelemparan batu saja dari sekolah mereka berani melancarkan aksinya. Bisa dibayangkan bagaimana alotnya mereka mengisap batangan, yang merusak kesehatan, itu di tempat-tempat yang tak terawasi orang tua maupun guru. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merokok bukanlah hal yang dilarang. Karena itu, jumlah perokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah perokok mencapai angka 58.750.592 berdasarkan survey Riset Kesehatan Dasar 2013. Kuantitas yang mendekati angka 60 juta ini setara dengan 10 kali penduduk Singapura! Jumlah perokok yang fantastis ini  menandakan langgengnya kebiasaan merokok masyarakat. Peringatan bahaya merokok dalam berbagai media baru sebatas slogan.

Di kalangan pelajar, kebiasaan merokok dikhawatirkan  mengarah menjadi semacam budaya. Survey yang dilakukan Global Youth Tobacco 2014 mencatat angka  18,3 persen pelajar Indonesia kecanduan tembakau. Jumlah yang membuat miris ini selaras dengan pemandangan yang biasa kita temui di kalangan anak didik. Seperti Raka, mulanya para pelajar itu hanya mencoba. Lingkungan yang mendukung berupa mudahnya mendapatkan batang-batang rokok mengubah perilaku mencoba itu menjadi satu kebiasaan baru.

Para pelajar yang telah akrab dengan rokok biasanya kurang serius dalam belajar. Dalam pergaulan mereka cenderung eksklusif, yang berinteraksi dengan teman-teman “sealiran” saja. Burung berkumpul dalam kumpulan dengan warna bulu yang sama kata pepatah.  Sedangkan bila di kelas banyak diantara mereka yang sering bikin ulah. Tentu keadaan ini sangat disayangkan, mengingat anak-anak seusia mereka adalah generasi emas yang diharapkan menjalani kedudukannya sebagai pelajar dengan baik; Belajar dengan tekun, berperilaku sopan dan berkarakter baik.

Perlu langkah segera untuk mengalihkan perhatian para pelajar dari godaan udut ini. Promosi rokok yang “mengisi” hampir tiap sisi kehidupan sudah saatnya dibatasi. Iklan rokok dalam acara music, olah raga maupun pemutaran film di televisi sebaiknya diperketat. Papan-papan nama jalan di permukiman,  yang secara tersirat disponsori merek rokok tertentu, ditiadakan. Tak jarang papan nama itu terpampang di lokasi yang berdekatan dengan keberadaan sebuah sekolah; tempat yang menjadi pasar potensial mereka.

Membatasi ruang gerak para perokok perlu lebih ditingkatkan. Lebih dari sebatas upaya pencegahan, tindakan nyata dalam keseharian selayaknya dicoba. Menumbuhkan kesadaran akan dampak buruk rokok perlu digalakkan. Para bapak yang biasa merokok alangkah baiknya menyediakan tempat khusus di rumah. Tidak di teras,  namun di tempat berudara terbuka sehingga asap rokok tak mencemari seisi rumah. Biarlah teras rumah yang asri tetap nyaman bagi anggota keluarga yang tidak merokok J. Barangkali dengan langkah ini, para bapak mengurangi kebiaasaan merokoknya.

Rencana pemerintah yang akan menaikan harga jual rokok merupakan kabar gembira bagi kita. Dengan harga jual yang cukup tinggi, para perokok berpikir ulang untuk membelanjakan uangnya menebus sebungkus rokok. Keluarga pun akan lebih sehat dengan asap rokok yang berkurang di lingkungan keluarga. Dan tentu saja, para pelajar kesulitan untuk mendapatkannya.

Dengan harga yang tak ramah kantong itu,  pelajar seperti Raka tidak lagi menghabiskan waktunya di kios-kios rokok. Kesehatan masyarakat secara luas akan terwujud. Penyakit jantung yang berkelindan dengan kebiasaan buruk merokok akan berkurang. Dan pesan peringatan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin, lambat namun pasti, semakin disadari masyarakat. Semoga.

(tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis blog dengan tema “Gaya Hidup Sehat untuk Jantung Sehat”)

 

 
 

 

 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Iwan Setiawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu