x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menanti Pemimpin yang Melayani

Beberapa bulan lagi, warga Jakarta akan memilih gubernurnya—tipe pemimpin seperti apa yang mereka butuhkan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Banyak orang merasa gemas bahwa Jakarta belum tertata seperti yang diharapkan oleh sebagian besar orang—baik yang menetap di ibukota ini maupun yang tinggal di wilayah lain yang memandang Jakarta sebagai cerminan bangsa karena posisinya sebagai ibukota negara.

Melihat kompleksitas persoalan yang dihadapi kota besar ini, kepemimpinan seperti apa yang diperlukan? Menunjukkan jalan dan memimpin di depan merupakan syarat yang sudah jamak. Ada yang lebih dibutuhkan dari itu, yakni kemauan untuk melayani. Meminjam istilah yang ditemukan Robert K. Greenleaf, Jakarta membutuhkan pemimpin yang melayani, seorang servant leader.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Istilah servant leader mungkin terkesan kontradiktif. Kesan ini agaknya lebih dilatari oleh pemahaman bahwa pemimpin harus diistimewakan atau mengistimewakan diri. Pemimpin yang melayani mempunyai motivasi utama melayani orang lain, bukan mengistimewakan diri sendiri. Dalam esainya, The Servant as Leader, Greenlaf—pernah menjadi eksekutif perusahaan AT&T di AS—bahkan menyebut motivasi melayani ini sebagai perasaan alamiah, sesuatu yang dibawa dalam hati.

Seorang ‘pemimpin yang melayani’ mula-mula adalah seorang pelayan, baru kemudian pemimpin. Inilah yang dikerjakan oleh pemimpin-pemimpin besar. Pertama-tama, mereka memikiran bagaimana memecahkan persoalan masyarakatnya, menolong mereka keluar dari kesukaran hidup. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, adalah contoh riilnya. Soekarno dan Hatta adalah contoh tak terbantahkan.

Mereka pertama-tama melayani, baru kemudian menjadi pemimpin. Mereka menjadi pemimpin bukan untuk berkuasa atau meraup kekayaan material. Prioritas pertama dan utama mereka adalah mendorong dan mendukung anak buah, pengikut, rakyat agar mampu mengungkapkan potensi dan kemampuan mereka. Prinsip ini berlaku bukan hanya di wilayah kenegaraan, tapi juga dalam lingkup perusahaan. Dan prinsip inilah yang membedakan antara manajer dan pemimpin di dalam perusahaan.

Dalam esainya, Larry C. Spears, yang pernah menjabat Presiden Robert K. Greenleaf Center for Servant Leadership, memaparkan karakteristik pemimpin yang melayani. Pemimpin-yang-melayani berusaha memahami dan berempati kepada orang lain—memahami kesukaran, keinginan, harapan, dan merasakan apa yang dirasakan rakyat.

Pemimpin-yang-melayani lebih senang menggunakan pendekatan persuasif ketimbang memakai otoritasnya dalam membuat keputusan maupun bertindak. Ia akan berusaha meyakinkan warganya, menunjukkan tujuan baik di balik rencananya, dan menghindari penggunaan wewenang untuk memaksa (koersif) sebab ia percaya warganya harus diajak berbicara.

Kepemimpinan-melayani mengasumsikan pertama dan terutama berkomitmen untuk melayani kebutuhan orang banyak, bukan segelintir orang atau sekelompok orang. Didasari keyakinan bahwa setiap orang memiliki potensi baik, pemimpin jenis ini berkomitmen bagi pertumbuhan warganya dengan memberdayakan kemampuan mereka. Pemimpin ini mendorong perkembangan komunitas-komunitas warganya—ini cara yang lebih sukar ketimbang menggusur.

Kesadaran akan sekeliling dan kesadaran akan diri sendiri (self-awareness), khususnya, akan memperkuat pemimpin bertipe melayani. Kesadaran ini akan membantunya memahami kesukaran warganya, berempati, dan berusahan mencarikan jalan keluar dengan bersikap persuasif. Kepemimpinan-melayani memiliki potensi hebat dalam menyembuhkan orang lain—mampu mengobati derita dan kesukaran hidup rakyat, serta membangkitkan kembali harapan mereka.

Dibandingkan semua itu, kemauan untuk mendengarkan secara sungguh-sungguh suara warganya adalah karakteristik terpenting pemimpin-yang-melayani. Pemimpin ini menaruh perhatian terhadap keinginan dan kebutuhan warga yang tidak terucapkan. Dalam kalimat guru manajemen Peter Drucker, para pemimpin ini memiliki pemahaman tentang “betapa tidak penting diri saya dibandingkan dengan tugas yang harus saya tunaikan”. Mendiang Drucker menempatkan kemauan untuk mendengar di urutan teratas dalam daftar kompetensi pemimpin yang baik. “Yang harus Anda lakukan ialah menutup mulut Anda,” ujar Drucker. Lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler